Tak Hanya Logistik, Penyintas Gempa Sulbar Pun Berbagi ASI
Gempa Mamuju dan Majene di Sulawesi Barat tak hanya tentang reruntuhan bangunan dan penderitaan. Di sana ada kebangkitan solidaritas tanpa batas, termasuk sesama penyintas.
Oleh
RENY SRI AYU/VIDELIS JEMALI/IKHSAN MAHAR/RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Sabtu (16/1/2021) pukul 03.00, dua hari pascagempa Majene-Mamuju, salah seorang pengungsi, Dewi (18), melahirkan anak pertamanya. Di salah satu pengungsian di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, sesama penyintas gempa membantu persalinan yang tak mudah itu.
Berdasar perkiraan, Dewi baru akan melahirkan beberapa hari lagi. Namun, gempa bermagnitudo 5,9 pada Kamis (14/1), disusul gempa M 6,2 selang 10 jam kemudian, membuatnya shock. Ditambah kondisi lemah dan trauma, ia melahirkan lebih cepat.
Di dekat tenda pengungsian, ada rumah kayu yang bagian dapurnya terbilang aman. Di sanalah pengungsi membawa Dewi untuk bersalin. Seusai melahirkan, kondisinya kian lemah dan harus dibantu cairan infus. Ada pengungsi lain yang juga tenaga kesehatan memberikan infus.
Persoalan lain muncul karena Dewi tak bisa menyusui bayinya. Hingga pagi, ASI-nya tak kunjung keluar, sedangkan bayi perempuan mungilnya itu terus menangis, mulai dehidrasi. Tak ada susu formula karena toko dan pasar tutup ditinggal mengungsi.
Adalah Asnawati (32), ibu bayi 19 hari di pengungsian sama, yang menolong. Ia yang masih kerabat Dewi itu akhirnya menyusui bayi mungil tersebut.
Jadilah sepanjang hari Asnawati bolak-balik menyusui dua bayi. Saat ia menyusui bayi satu hari itu, pengungsi lain bergantian menggendong bayinya. Asnawati sempat pucat kurang makan, kurang tidur, sekaligus harus menyusui dua bayi. Satu per satu pengungsi berbagi makanan supaya Asnawati tetap cukup energi.
Kondisi itu mereka alami di tengah masih minim dan belum meratanya bantuan. Sementara pemenuhan kebutuhan mandiri tidak memungkinkan karena harta musnah atau tak sempat terbawa. Kalaupun ada uang, sulit memenuhi kebutuhan karena aktivitas perniagaan banyak yang lumpuh.
Serba gratis
Di tengah keterbatasan dan kebingungan, inisiatif saling membantu sesama penyintas gempa di Majene dan Mamuju bermunculan. Solidaritas spontan merebak di tengah situasi sama-sama kesusahan itu. Sejumlah warga menyisihkan energi dan materi.
Trisnawati (60), misalnya. Pemilik warung nasi Mama Wati NS di depan Rumah Tahanan Kelas IIB, Mamuju, itu menutup usaha sejak Jumat (15/1). Meski begitu, aktivitas di warung itu tak berhenti. Justru ia bertambah sibuk.
Dibantu dua anaknya, Trisnawati membuka warungnya untuk berbagi makan dan minum gratis kepada siapa pun yang singgah. Mereka sukarela memasak nasi, mi, telur, tahu, hingga sambal. Semuanya digratiskan.
”Selama saya sehat, saya bisa masak untuk membantu warga karena saya tahu sulit mencari makan sekarang. Saya tidak butuh dibayar, buat apa uang di kondisi saat ini?” katanya.
Minggu pagi, Trisnawati memasak 2 liter beras, puluhan tahu, sekitar 20 telur, dan empat mi instan yang memang disediakan bagi siapa saja. Ia juga menyediakan kopi dan teh. Untuk semua pasokan bahan makanan itu, ia dibantu warga dan lembaga swadaya masyarakat.
Setiap hari ada saja pihak-pihak yang memasok bahan makanan menggunakan becak dan motor. ”Yang mulai sulit itu mencari gas dan bahan bakar kendaraan. Semoga segala kebutuhan dasar masyarakat segera terpenuhi kembali agar kami bisa tetap saling membantu di sini,” ucapnya.
Wujud solidaritas berbeda ditunjukkan Alfian (34). Bapak dua anak itu mempersilakan beberapa pengungsi di kawasan Stadion Manakarra, Mamuju, mengambil air bersih di sumur depan rumahnya. Pasokan air bersih dari pemerintah daerah belum sepenuhnya pulih.
”Kondisi air di sumur saya mungkin terbatas, tetapi bisa membantu kebutuhan masyarakat untuk mandi dan berwudu. Saya bersyukur rumah berada di wilayah agak tinggi dan tidak rusak parah akibat gempa,v tutur Alfian.
Lain lagi dengan Safar (43) dan istrinya, Nisriani (40). Dua hari terakhir mereka ”bergerilya” meringankan beban penyintas gempa di Mamuju. Dengan dana urunan keluarga besar, keduanya menyalurkan kebutuhan pokok beras, air minum, sayur, dan obat.
Keduanya berangkat dari Kabupaten Mamuju Tengah, sekitar 50 kilometer dari Mamuju. Dari tenda ke tenda, mereka berbagi menggunakan kendaraan pribadi.
Safar dan istrinya juga penyintas gempa. Rumah mereka di Kecamatan Simboro, Mamuju, reta-retak. Namun, hal itu tak membuat mereka larut dalam kesedihan. ”Kami ingin berbagi. Kalau kami bisa, kenapa hanya diam di rumah,” ujar Safar.
Panggilan kemanusiaan merambat ratusan kilometer jauhnya. Belasan orang di Maiwa Breeding Centre, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulsel, menyiapkan 1 ton pangan siap santap daging ayam dan sapi.
Bersama mahasiswa dan dosen, Dekan Fakultas Peternakan Unhas Lellah Rahim ikut mengemas dan menyiapkan bantuan. Makanan tersebut akan didistribusikan ke daerah yang belum banyak menerima bantuan di Majene dan Mamuju.
Ketua panitia, Hikmah, mengatakan, donasi itu disiapkan dalam waktu dua hari. Olahan pangan dikemas menjadi 4.000 paket. ”Kami berharap bantuan ini bisa meringankan beban masyarakat yang sedang membutuhkan,” katanya.
Di antara reruntuhan dan retak bangunan pascagempa Majene-Mamuju, sisi kemanusiaan justru bangkit. Dari berbagi logistik hingga air susu ibu.