Rupa-rupa Solidaritas Penyintas Gempa Sulawesi Barat
Bencana mengajarkan banyak hal. Tak hanya tentang pedih dan penderitaan, tetapi juga sisi lain manusia, seperti solidaritas berbagai dan melayani sesama penyintas gempa Mamuju dan Majene. Rupa-rupa cara dan bentuknya.
Nasi kotak isi lauk ikan bawal goreng dan tumis wortel itu asupan utama perdana Syuaib, perawat di RSUD Sulawesi Barat di Mamuju, Minggu (17/1/2021). Ia tetap menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD). Hanya penutup kepala yang ia lepas dan masker yang diturunkan ke dagu.
”Kami manfaatkan sebaik mungkin waktu istirahat satu jam per hari. Karena sulitnya beristirahat, APD ini yang di waktu normal kami gunakan 8-12 jam, kini baru kami lepas APD setelah dikenakan 24 jam,” ucap Syuaib.
Siang itu, ia makan di belakang mobilnya. Pascagempa, ia ajak istri, anak, menantu, dan cucunya. Mereka tinggal di mobil yang diparkir di halaman RS. Di sana, mereka merasa lebih aman.
Baca juga: Persediaan Makanan Penyintas Gempa Sulbar Menipis
Sejak gempa berkekuatan Magnitudo 6,2 menimpa Mamuju dan Majene, Jumat (15/1/2021), Syuaib belum pernah meninggalkan RSUD Sulbar. Tugas para tenaga kesehatan (nakes) di rumah sakit itu pun tidak sepele. Sejak Covid-19 dideteksi di Sulbar, April 2020, rumah sakit itu rujukan utama penderita Covid-19.
Alhasil, ketika gempa terjadi, Syuaib dan puluhan tenaga medis di RSUD Sulbar harus menyiasati diri agar ikhtiarnya menangani korban gempa bumi tidak menjadi bumerang. ”Di situasi darurat ini, kami semakin sulit mengantisipasi mana pasien bebas atau terjangkiti Covid-19. Tidak hanya sekali kami menangani korban gempa yang ternyata mengidap Covid-19. Situasi itu membuat kami khawatir, tetapi tidak bisa kami hindari,” ujarnya.
Perawat yang telah mengabdi lebih dari dua dekade itu mencoba menikmati tugas padatnya itu. Satu-satunya jalan menghindari Covid-19 ialah menjaga kesehatan diri dengan tidak merasa tertekan dan tidak memforsir tenaga.
Perawat lain di RSUD Sulbar, Sirajuddin, sudah ”tidak peduli” ancaman Covid-19. Jika sebelumnya RSUD Sulbar memiliki tim khusus pasien Covid-19, di masa darurat ini semua pasien menjadi prioritas.
”Tak lagi kami pusingkan mereka Covid-19 atau tidak. Terpenting kami masih menjalani protokol kesehatan dengan mengenakan APD dan memakai masker ketika menangani pasien,” katanya.
Demi memastikan bekerja dengan tenang, Sirajuddin membawa anak dan istrinya. Mereka berada di mobil sejak pascagempa, Jumat lalu. Mobil menjadi rumah selama gempa.
Kondisi gedung
Meski begitu, pasien korban gempa dan penderita Covid-19 di RSUD Sulbar ditempatkan di lokasi berbeda. Para korban gempa menjalani tindakan medis di gedung utama rumah sakit yang berlantai tiga. Gedung utama itu tidak mengalami kerusakan sehingga bisa digunakan merawat penyintas luka ringan hingga sedang, seperti patah tulang.
Baca juga: Korban Luka dan Pengungsi Gempa Sulbar Diterbangkan ke Makassar
Adapun ruangan perawatan yang memiliki lima lantai di sisi barat gedung utama rentan digunakan. Mayoritas temboknya retak parah. Atas dasar itu, pasien dirawat inap di tujuh tenda di halaman rumah sakit. Hingga Minggu sore, RSUD Sulbar telah menangani 111 korban gempa, yang 7 korban di antaranya telah meninggal.
Akibat kekurangan ruangan, RSUD Sulbar memanfaatkan masjid menjadi ruangan khusus isolasi tujuh pasien Covid-19 yang telah menjalani perawatan dalam satu pekan terakhir.
Hari itu, salah satu nakes di RSUD Sulbar, Ika, meneteskan air mata ketika tak semua nakes dan sukarelawan mendapatkan jatah makan siang itu.
”Saya sudah atur makanan untuk semua petugas di sini, ternyata belum semua dapat jatah nasi kotak,” ucap Ika sambil terisak. Ia dan sejumlah nakes lainnya berusaha keras membagi waktu bertugas sekaligus menyiapkan logistik bagi dokter, perawat, dan 176 sukarelawan di rumah sakit itu.
Direktur RSUD Sulbar dr Indahwati Nursyamsi mengungkapkan, ketiadaan dapur umum membuat ia perlahan mengatasi masalah makanan itu. Rumah sakit memang telah menerima sumbangan 300 karung beras, bahan lauk-pauk, serta makanan instan dari sejumlah pihak, tetapi RSUD Sulbar secara swadaya menyiapkan peralatan memasak dan tenaga memasak.
”Kami hanya ada dua ahli gizi sehingga semua petugas di rumah sakit ini bahu-membahu memasak sekitar 300 porsi untuk makan pagi, siang, dan malam setiap hari. Karena itu, kami sangat mengharap dapur umum yang dapat membantu persediaan makanan bagi para nakes dan sukarelawan,” ujar Indahwati.
Penyintas berbagi
Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, para penyintas bekerja sukarela melayani sesama penyintas. Panggilan kemanusiaan mengepul di dapur umum untuk memastikan kebutuhan penyintas terpenuhi.
Dengan celana digulung, Zulkifli (29) mengaduk nasi di dandang. Tiga adukan terakhir itu pertanda nasi sebentar lagi matang.
Menunggu nasi matang, ia bergeser ke dandang lebih tinggi di utara untuk memperhatikan nyala api kompornya. Api menyala baik. Ia lalu memperhatikan nasi di dalam dandang sembari memberi tanda jempol ke dalam dandang.
Begitu nasi dandang lebih kecil matang, ia mencedoknya dengan piring untuk disimpan di termos nasi. Selanjutnya, nasi dibungkus dibagikan kepada pengungsi. Waktu makan siang memang telah lewat, tetapi masih saja ada pengungsi datang di dapur umum.
Baca juga: Pengungsian di Sulsel Disiapkan, Logistik bagi Penyintas Gempa Sulbar Terus Mengalir
Satu dari 10 pekerja di dapur umum Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) itu adalah Zulkifli. Dapur umum ada di kompleks Masjid Fastabiqulkhaerat Muhammaddiyah di Kecamatan Mamuju.
Ia baru bergabung Minggu (17/1) setelah mengurus keluarga besar. Mereka mengungsi keluar dari Sulawesi Barat, sedangkan Zulkifli memilih memenuhi panggilan hatinya menjalankan misi kemanusiaan di dapur umum.
”Saya ingin berbagi dengan para penyintas dengan aktif di dapur umum meskipun saya juga terdampak gempa. Ini panggilan hati untuk melayani sesama,” ucap pria yang sering aktif di dapur umum saat bencana, seperti gempa di Palu, Sulawesi Tengah, dua tahun lalu.
Berbekal pengalaman bekerja di restoran hotel, ia bisa mengerjakan semua pekerjaan dapur, dari mencuci perabot, memasak, menggoreng telur atau ikan, hingga menyajikan sayur. ”Saya sudah terbiasa dengan pekerjaan di dapur. Jadi, dibawa enak saja,” katanya sambil mengusap wajah yang berpeluh di tengah hujan.
Dapur umum MDMC aktif sesaat setelah gempa, Jumat. Saat itu penyintas sudah mengungsi di sekitar masjid dan jalan-jalan tak jauh dari masjid. Intensitas kesibukan dapur umum terjadi Minggu seiring menipisnya stok makanan pengungsi.
Nurul Mutriza (21), sukarelawan bagian pendataan dapur umum MDMC, menuturkan, mereka melayani sekitar 1.500 penyintas. Penyintas yang dilayani juga yang di pinggir jalan dan teras rumah sekitarnya.
Lihat juga: Penyintas Gempa Mamuju Bertahan di Tenda Pengungsian
Sejauh ini, bantuan berasal dari kader Muhamaddiyah di Mamuju, jaringan MDMC dari Sulawesi Tengah, dan kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. ”Kami akan terus melayani penyintas sampai pada saat memang semuanya bisa berangsur pulih,” kata Nurul, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Mamuju.
Rizal Syahrir (41), penyintas yang terlayani dapur umum, tiga hari ini kebutuhan makanannya terpenuhi dengan baik. ”Alhamdulillah sampai saat ini kami tidak kekurangan apa pun dari layanan dapur umum,” ujar pria yang mengungsi bersama tiga anggota keluarganya itu.