Pelepasan Ternak di Penyangga TNGL Picu Konflik Harimau Berkepanjangan
Kebiasaan warga menggembalakan ternaknya di hutan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat menciptakan konflik berkepanjangan. Dalam setahun, sudah 22 lembu milik warga dimangsa harimau sumatera.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kebiasaan warga menggembalakan ternaknya di hutan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menciptakan konflik satwa berkepanjangan. Dalam setahun, sudah 22 lembu milik warga dimangsa harimau sumatera. Penyangga yang seharusnya tegakan hutan kini menjadi kebun sawit dan penggembalaan ternak.
”Warga seharusnya memahami kalau area itu semestinya menjadi tegakan hutan yang menjadi habitat harimau sumatera. Saat ini, area itu justru menjadi kebun, di sana ada pula ratusan ternak yang dilepas,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Hotmauli Sianturi, di Medan, Senin (11/1/2021).
Konflik harimau sumatera dengan warga desa penyangga TNGL kembali terjadi sejak Desember hingga Januari. Pada Senin dini hari, lima lembu milik warga dimangsa sekaligus di Desa Batu Jongjong, Kecamatan Bahorok. Sebelumnya, konflik di Bahorok sudah terjadi sejak 19 Desember setelah harimau sumatera memangsa satu lembu dan kemudian pada 25 Desember dua lembu lagi.
Di awal tahun, konflik pun terjadi lagi dengan ditemukannya dua lembu yang mati dimangsa di Desa Lau Damak, Kecamatan Bahorok, Rabu (6/1/2021). Dua hari kemudian, di sekitar lokasi itu juga ditemukan satu lembu yang sedang bunting mati dimangsa harimau sumatera.
Hotmauli mengatakan, warga desa penyangga di daerah konflik satwa itu saat ini sangat takut dengan semakin banyaknya ternak mereka yang dimangsa. Warga kini waswas bepergian ke kebun yang berdekatan dengan hutan. Sejumlah warga pun mengancam akan menangkap harimau sumatera itu.
”Karena itu, kami memilih jalan terakhir, yakni dengan memasang kandang jebak untuk menangkap harimau dan merelokasinya. Langkah ini juga kami ambil untuk menenangkan warga,” kata Hotmauli.
Hotmauli mengatakan, relokasi satwa seharusnya tidak perlu dilakukan karena area itu memang habitat harimau sumatera. Namun, BBKSDA Sumut mengantisipasi agar harimau tidak menjadi korban. Dalam beberapa konflik, warga membunuh harimau dengan menaruh racun di bekas bangkai lembu yang dimangsa.
Menurut Hotmauli, seharusnya ternak wargalah yang direlokasi ke sekitar permukiman. Ternak pun sebaiknya dibuatkan kandang agar aman dari ancaman harimau. Petugas BBKSDA Sumut bersama mitra konservasi lainnya sudah berulang kali meminta warga memindahkan ternaknya.
”Namun, ketika konflik sudah mulai reda, warga kembali mengangonkan ternaknya ke daerah penyangga TNGL,” kata Hotmauli.
Hotmauli mengatakan, konflik harimau sumatera dengan masyarakat yang terjadi sepanjang satu tahun terakhir hampir semuanya terjadi di penyangga TNGL yang berstatus sebagai hutan produksi terbatas (HPT). Lokasi lembu yang dimangsa berada 1-2 kilometer dari batas TNGL. Lokasi itu seharusnya masih merupakan tegakan hutan. Namun, warga mendudukinya dan menjadikannya kebun.
Munculnya ternak lembu di sekitar kawasan menggiring satwa ke pinggir habitatnya. (Hotmauli Sianturi)
Dalam beberapa tahun belakangan ini, konflik satwa semakin tinggi sejak warga mulai beternak. Saat ini, bahkan ada ratusan lembu yang dilepaskan di kawasan hutan penyangga tersebut dan dibiarkan pada malam hari.
Menurut Hotmauli, ketersediaan pakan atau mangsa untuk harimau sumatera di kawasan TNGL sebenarnya masih cukup. Namun, munculnya ternak lembu di sekitar kawasan menggiring satwa ke pinggir habitatnya.
Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA Sumut Teguh Setiawan mengatakan, pihaknya bersama mitra konservasi lainnya masih akan terus memantau konflik harimau di Langkat. Pihaknya pun sudah memasang kamera jebak untuk memantau pergerakan dan mengidentifikasi harimau.
Secara terpisah, Ketua Forum Harimau Kita Ahmad Faisal mengatakan, penanganan konflik harimau sumatera sangat penting di tengah ancaman kepunahan yang dihadapinya. Dengan status konservasi kritis, populasi satwa kunci di hutan Sumatera itu kini diperkirakan hanya sekitar 600 individu. Di Sumut, populasinya 45-50 individu.
”Pemasangan kandang jebak dan relokasi harimau pun memang seharusnya menjadi pilihan terakhir. Namun, melihat konflik yang terjadi, langkah itu kadang harus diambil,” kata Faisal.
Faisal pun berharap warga desa penyangga TNGL bisa hidup selaras dengan satwa. Pemerintah pun diharapkan bisa terus memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat agar bisa beternak dengan cara dikandangkan. Satu-satunya cara beternak di sekitar habitat harimau sumatera harus menggunakan kandang.
Faisal pun mengingatkan, harimau sumatera juga menghadapi sejumlah ancaman lain, seperti perburuan, perdagangan ilegal, dan kerusakan habitat. Ia juga mendorong agar pemerintah segera mengesahkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera tahun 2020-2029. Dokumen itu sangat penting sebagai peta jalan untuk menyelamatkan harimau sumatera dari ancaman kepunahan.