Adaptasi kebiasaan baru membuat bangsa Indonesia mampu bertahan dari pandemi Covid-19. Namun, tantangan masih ada sehingga bangsa ini harus terus saling mendukung.
Oleh
CIP/DIV/ERK/FAI/OKA/VIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat tahun ini menjadi periode amat berat bagi Indonesia. Namun, banyak orang bersyukur karena mampu bertahan dan beradaptasi.
Masa sulit antara lain dialami La Udin (20), siswa paket C di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia positif Covid-19, Senin (28/12/2020), sehingga diisolasi di Embarkasi Haji Balikpapan. La Udin sementara waktu tak bisa bekerja sebagai peracik minuman di salah satu kedai di Balikpapan.
”Saya harus sembuh supaya bisa kembali sekolah dan bekerja. Tahun 2021 saya lulus paket C dan berharap bisa melanjutkan kuliah,” ujarnya, Rabu (30/12/2020).
Sementara bagi Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk Covid-19 Zubairi Djoerban, tahun 2020 adalah masa ujian. Ia harus bertugas di tengah pandemi Covid-19. Padahal, ia termasuk kelompok berisiko tinggi tertular karena berusia 73 tahun dan penyintas penyakit jantung.
Karena itu, Zubairi harus tetap sehat agar bisa bertugas. Ia juga harus terus memastikan keluarganya terlindungi dari risiko penularan yang mungkin dibawanya dari kegiatan di rumah sakit. ”Setelah melalui tahun luar biasa ini, saya bersyukur karena Tuhan masih memberi kesehatan dan kemampuan untuk bisa bekerja baik di rumah sakit ataupun di rumah besar IDI,” ujarnya.
Kendati kenaikan kasus di Indonesia terus meningkat dari hari ke hari, ia optimistis, vaksin Covid-19 yang akan bisa didistribusikan ke masyarakat tahun mendatang akan memberi harapan. ”Kita masih akan menghadapi perjalanan panjang. Oleh karena itu, pandemi ini harus tetap membuka mata kita agar saling tolong-menolong tanpa melihat latar agama, suku, dan politik,” ujarnya.
Mengabdi
Irfiyanti Ramadhani (29), perawat di salah satu rumah sakit swasta di Bandar Lampung, mengatakan, ia harus lebih ekstra menjaga kesehatan saat bertugas di masa pandemi Covid-19. Apalagi, sembilan bulan terakhir, dia bekerja dalam kondisi hamil. ”Jujur ada rasa cemas, tetapi saya harus berpikir positif. Niat untuk menolong orang sudah kewajiban para tenaga kesehatan,” ujarnya.
Niat mengabdi juga membuat Septhianti Mangundap (26), guru TK swasta di Manado, Sulawesi Utara, tetap mengajar. Padahal, sejak pertengahan tahun, yayasan tempatnya mengajar kesulitan menggalang dana yang nantinya dialokasikan sebagai gajinya.
Septhianti pernah ingin berhenti. Walakin, panggilan untuk mengajar terlalu kuat baginya. ”Saya yakin mengajar adalah tugas mulia. Meski harus mengajar online tanpa tunjangan pulsa dari sekolah, saya tidak mungkin meninggalkan anak-anak didik saya. Pembelajaran jarak jauh saat pandemi memang sebuah tantangan tersendiri. Akan tetapi, saya bersyukur bisa bertahan hingga kini. Tidak mungkin kalau bukan karena anak-anak didik saya,” tuturnya.
Adaptasi
Adapun dari sisi pelajar, kesulitan antara lain dialami Adriansyah Yasin Sulaeman (22). Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 seketika berdampak pada masa magang dan laporan skripsinya.
Mahasiswa Jurusan Tata Kota Breda University of Applied Science, Belanda, itu tidak bisa melakukan riset lapangan. Ia kesulitan menemukan ide untuk meneruskan penelitian atau mengganti tema skripsi yang telanjur digarap. Akhirnya, ia merombak rancangan skripsi hanya dalam sebulan.
Masalah warga Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tersebut tidak hanya itu. Ia pun dihantui kecemasan karena mendengar sejumlah kolega yang terpapar Covid-19. ”Masa-masa awal pandemi itu memusingkan buat saya. Pandemi sedang merebak dan saya tidak bisa lagi melanjutkan riset lapangan. Untungnya, dosen saya di Belanda cukup pengertian dengan kondisi sekarang. Akhirnya, skripsi dirombak semua, cari judul baru yang dapat diselesaikan selama pandemi,” katanya di Jakarta.
Adriansyah akhirnya menyelesaikan skripsi dan menjalani wisuda secara daring di tahun ini. Penyelesaian skripsi dilakukan sembari melakoni aktivitas lain.
Selama 2020, pegiat Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) ini turut mengampanyekan bersepeda aman di jalan. Dia juga membuat panduan umum terkait adab bersepeda di jalan raya. Selain itu, dia juga aktif membantu pembuatan penunjuk arah untuk fasilitas di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Masa-masa sulit juga dijalani Achmad Jati Santoso (27). Pegawai perusahaan aksesori otomotif ini tidak menyangka pandemi berdampak begitu besar terhadap penjualan. Kinerja perusahaan yang sedang gemilang pada Februari 2020 seketika merosot menjelang April. Akibatnya, separuh pegawai perusahaan tempat dia bekerja diberhentikan. Adapun separuh lagi, termasuk Achmad, tetap bekerja dengan gaji yang berkurang.
Karena penghasilan berkurang, ia harus mencari sumber pendapatan pengganti. Karena itu, ia berdagang ikan cupang bersama kakaknya. Bisnis yang berjalan sejak September itu perlahan meraih untung sekitar Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per hari. Hal tersebut juga menghidupi sejumlah saudara dan tetangga yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi.
”Bisnis ikan hias yang saya kembangkan bersama kakak itu turut mengembalikan hubungan di keluarga. Kami pun terpancing untuk mencari celah usaha baru setelah ini,” ujar pemilik bisnis ikan hias Sairin Betta Farm itu.
Adaptasi juga dilakukan Sarah Adipayanti (27), Manajer Program Edukasi untuk Kebun Kumara. Ia mencari cara menyelenggarakan pelatihan berkebun secara daring. ”Saat pembatasan sosial berskala besar, saya berpikir keras dalam mengeksplorasi format video edukasi. Kalau dulu Kebun Kumara fokus ke pelatihan secara langsung, ini benar-benar dituntut agar bisa melakukan pelatihan daring yang tetap interaktif,” ujarnya.