Front Pembela Islam Sumatera Selatan masih menunggu arahan dari pengurus pusat terkait pembubaran organisasi itu oleh pemerintah. Pembubaran dikhawatirkan memunculkan benih radikalisme baru.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·2 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Front Pembela Islam Sumatera Selatan masih menunggu arahan dari pengurus pusat mereka terkait pembubaran organisasi itu oleh pemerintah. Pembubaran dinilai tidak akan menyurutkan langkah organisasi.
Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Sumsel Mahdi Syahab, Rabu, (30/12/2020), mengatakan, pembubaran tidak akan menghentikan perjuangan FPI. Menurut dia, FPI merupakan kendaraan untuk mencapai tujuan. Ketika kendaraan yang satu dihentikan, masih ada kendaraan yang lain.
Mahdi mengatakan, pelarangan aktivitas FPI tidak akan membuat anggotanya patah arang, sebaliknya akan membuat pihaknya semakin bersemangat. ”Dalam berjuang di medan perjuangan, kami tidak pernah patah arang. Karena istilah patah arang hanya berlaku bagi pecundang,” kata Mahdi. Namun, dia meyakini, dalam setiap keputusan yang dibuat pemerintah pasti ada konsekuensinya.
Terkait sikap yang akan diambil FPI Sumsel, pihaknya akan mengikuti kebijakan dari FPI pusat. ”Karena kami tegak lurus dengan keputusan pusat,” ucapnya.
Radikalisme
Menurut pengamat politik dan sosial dari Universitas Sriwijaya, Ardiyan Saptawan, pembubaran FPI dikhawatirkan akan menimbulkan benih-benih radikalisme baru karena ketidaksetujuan sejumlah pihak terhadap keputusan pemerintah. Semestinya perlu ada mediasi terlebih dulu sebelum keputusan ini diterapkan.
”Memang, secara hukum, pembubaran organisasi adalah hak dari pemerintah, apalagi dengan alasan izin yang tidak lagi diperpanjang. Namun, langkah mediasi harus dikedepankan,” kata Saptawan.
Pembubaran FPI dikhawatirkan akan meimbulkan benih-benih radikalisme baru.
Menurut dia, pembubaran kental dengan nuansa politis. ”Dalam penegakan hukum kali ini, sangat kentara sekali pemerintah bersikap keras, bukan tegas,” ucap Saptawan. Hal itu terlihat dari sejumlah kejadian, seperti pemberian sanksi akibat kerumunan, penangkapan Rizieq, dan pembubaran organisasi yang dilakukan dalam waktu yang singkat.
Kejadian beruntun ini, ujar Ardiyan, dikhawatirkan akan memunculkan sikap radikal lantaran ada pihak yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah yang dianggap arogan. Di Sumsel, menanggapi penangkapan Rizieg, massa berunjuk rasa ke kantor polisi dan Polda Sumsel, menentang penangkapan itu, termasuk menuntut pengusutan kematian enam pengawalnya.
Selain FPI, kata Ardiyan, ada ormas lain yang berkecimpung dalam dunia politik atau izin sudah habis masanya, tetapi tidak dibubarkan. Hal itu akan memunculkan kesan bahwa pemerintah bersikap diskriminatif dan hanya keras terhadap FPI.
Pemerintah perlu mengedepankan asas musyawarah dengan mengundang berbagai pihak. ”Ada etika dan estetika politik yang harus dikedepankan agar keputusan yang dibuat tidak memicu konflik baru,” ujar Ardiyan. Apalagi, FPI adalah organisasi besar yang tersebar di beberapa daerah.
Dalam situasi pandemi dan kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil seperti saat ini, keputusan untuk membubarkan ormas besar tentu sangat berisiko. ”Sebaiknya keputusan ini bisa dilakukan nanti ketika kondisi benar-benar kondusif,” ucapnya.