Penolakan nelayan tradisional terhadap penggunaan cantrang yang tidak ramah lingkungan semakin lantang di Kepri. Belakangan, sejumlah elite politik lokal di Anambas dan Natuna juga mulai menyuarakan hal yang sama.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Penolakan nelayan tradisional terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, terutama cantrang, semakin lantang di Kepulauan Riau. Belakangan, sejumlah elite politik lokal di Kepulauan Anambas dan Natuna juga mulai terlibat menyuarakan jeritan para nelayan tersebut.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Natuna Wan Arismunandar, Sabtu (26/12/2020), mengatakan, langkah pemerintah mengizinkan penggunaan cantrang di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), Laut Natuna Utara, akan sangat merugikan kehidupan nelayan setempat. Pemerintah diharap segera meninjau ulang peraturan itu.
Yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Dalam Pasal 23 Ayat 4 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan ZEEI di WPP 711, Laut Natuna Utara.
”Semua nelayan di Natuna menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, seperti pancing ulur dan pancing tonda. Jika nelayan dari luar daerah menggunakan cantrang di zona tangkap yang sama dengan nelayan lokal, itu akan rawan memancing konflik ,” kata Aris saat dihubungi melalui telepon dari Batam.
Pada 23 Desember, nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna melakukan aksi serentak untuk mendesak pemerintah kabupaten masing-masing agar ikut menyuarakan jeritan nelayan tradisional. Di Natuna, lebih kurang 50 nelayan menemui perwakilan anggota DPRD untuk menyampaikan keluhan mereka terkait cantrang.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri menyatakan, perairan 0-12 mil tidak mengandung sumber daya ikan yang bernilai tinggi. Sejak dulu, nelayan Natuna harus melaut paling tidak hingga 30 mil untuk menangkap ikan tongkol dan berbagai jenis ikan karang. Oleh karena itu, perairan 0-30 mil harus bebas dari segala jenis pukat, termasuk cantrang.
”Penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing terjadi di perairan yang berjarak 50 mil ke atas. Jika tujuan mobilisasi kapal cantrang dari pantai utara Jawa adalah mengisi kekosongan Laut Natuna Utara, mereka harus beroperasi di laut lepas itu,” ujar Hendri.
Pada akhir April 2020, sebanyak 30 kapal cantrang dari Kota Tegal, Jawa Tengah, yang dimobilisasi pemerintah untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara memilih pulang karena merugi. Para nelayan cantrang itu mengaku, hasil tangkapan tidak sesuai yang diharapkan. Modal yang diperlukan satu kapal cantrang untuk beroperasi di Natuna berkisar Rp 700 juta-Rp 800 juta, sedangkan hasil tangkapan yang didapat hanya sekitar Rp 200 juta-Rp 300 juta.
Penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing terjadi di perairan yang berjarak 50 mil ke atas. Jika tujuan mobilisasi kapal cantrang dari pantai utara Jawa adalah mengisi kekosongan Laut Natuna Utara, maka mereka harus beroperasi di laut lepas itu. (Hendri)
”Cantrang memang tidak efektif digunakan di perairan yang dalamnya lebih dari 50 meter. Maka, sudah pasti mereka akan beroperasi di pinggir dan bersinggungan dengan wilayah tangkap nelayan tradisional,” kata Hendri.
Menanggapi hal itu, Aris berjanji akan segera meneruskan keluhan nelayan Natuna tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Natuna dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Kami akan mengirim surat kepada Bupati agar mendiskusikan hal ini dengan Menteri KP agar persoalan bisa segera diselesaikan,” katanya.
Keresahan yang sama juga menghantui nelayan di Kepulauan Anambas. Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra menegaskan, akan memperbanyak rumpon di perairan yang berjarak hingga 20 mil dari garis pantai untuk mencegah kapal cantrang masuk ke zona tangkap nelayan tradisional.
Sebelumnya, Bupati Kepulauan Anambas Abdul Haris menyatakan, keputusan pemerintah pusat yang tidak konsisten terkait pengunaan cantrang itu sangat merugikan nelayan tradisional. Kini, nasib nelayan Anambas sangat bergantung kepada keputusan selanjutnya yang bakal diambil pemerintah pusat terkait pemberlakuan Permen KP No 59/2020.
”Pemerintah Kabupaten dan masyarakat nelayan Kepulauan Anambas memohon kepada Menteri KP yang baru supaya tidak mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang yang tidak ramah lingkungan. Laut kami memang kaya, tetapi hal itu tidak akan ada artinya jika masyarakat lokal tidak diberi kesempatan untuk memanfaatkannya,” kata Abdul, Rabu (23/12/2020).