Gereja Ayam, Simbol Kehidupan Jemaat Kristen Mula di Palembang
Gereja Ayam (Haantjes Kerk) atau GPIB Immanuel merupakan saksi sejarah panjang perkembangan dan pemeliharaan iman jemaat Kristen Protestan di Palembang, Sumatera Selatan.
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Palembang merupakan saksi sejarah panjang perkembangan jemaat Kristen Protestan di Sumatera Selatan.
GPIB Immanuel Palembang juga dikenal dengan sebutan ”Gereja Ayam” (Haantjes Kerk). Gereja ini tertua di Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, yang tersohor sebagai bumi kelahiran makanan otentik amat lezat pempek.
Pada awalnya, gereja dibangun untuk memenuhi kebutuhan spiritual para pegawai VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), kongsi dagang Belanda, dan tentara dari ”Negeri Kincir Angin tersebut yang bermukim di Palembang. Hampir seabad, bangunan itu tetap gagah berdiri menjadi tempat ibadah terkemuka bagi jemaat Kristen Protestan di Palembang.
Baca juga: Gubuk Budak Cikal Bakal Gereja Tertua
Papan hitam berukuran 2 meter x 2 meter terpampang di ruang konsistori GPIB Immanuel Palembang. Di papan itu tertera 49 nama pendeta yang pernah menjadi pemimpin jemaat. Paling awal tercatat ialah Domine (Ds) Heinrich Julius Berger, pendeta dari Belanda yang datang untuk membangun dan membina jemaat kurun 1836-1938.
Davijani EA Rumengan, penyusun buku sejarah GPIB Immanuel Palembang, Rabu (23/12/2020), menuturkan, keberadaan gereja menjadi salah satu bukti sejarah perkembangan jemaat Kristen Protestan di Palembang. Gereja yang terletak di Jalan PAK Abdurochim, Talang Semut, Bukit Kecil, Palembang, dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan jemaat yang saat itu masih didominasi oleh ekspatriat Belanda.
Masuknya umat Kristen Protestan di Palembang berawal saat VOC alias Persatuan Perusahaan Hindia Timur Belandadatang pada 1610. Saat itu, VOC membangun kerja sama dengan Kesultanan Palembang Darussalam perihal misi dagang. Kemitraan ini pada awalnya berkembang baik dan menguntungkan kedua belah pihak. Namun, lambat laun, kerja sama berubah menjadi ”kudeta” dari VOC yang kemudian berbalik menguasai Palembang.
Cengkeraman VOC membuat Kesultanan Palembang Darussalam berupaya merebut kembali kekuasaan dengan beragam peperangan. Untuk diketahui, pada 1799 Kerajaan Belanda membubarkan VOC yang bangkrut karena korupsi teramat parah. Pemerintah Belanda kemudian menyita semua aset VOC untuk pembayaran utang sekaligus mengambil alih wilayah-wilayah kongsi dagang tersebut di Nusantara (kepulauan Indonesia masa silam).
Dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah karya Gertrudes Johannes Resink, wilayah Nusantara kemudian dijadikan daerah otonomi yang disebut Nederlands-Indie atau dalam bahasa Indonesia kini ialah Hindia-Belanda. Penguasa Nusantara mewakili Kerajaan Belanda disebut gubernur jenderal. Dari sanalah kemudian disebut masa penjajahan ”resmi” oleh Kerajaan Belanda sekaligus memunculkan perlawanan atau perang dari masyarakat.
Di Palembang, perlawanan mulai meletus pada 1811 saat Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II memimpin pasukan untuk menyerang pos-pos Hindia-Belanda. Serangan yang hebat dan telak mengakibatkan kekuatan militer Hindia-Belanda di Palembang hancur lebur. Musuh terpaksa mundur. Belanda kalah.
Peristiwa memalukan itu pun membuat pasukan Belanda geram. Pada 1818, sekitar 4.000 tentara didatangkan untuk merebut kembali Palembang. Perang yang dikenal sebagai Perang Menteng itu berakhir pada 1821 dengan penangkapan SMB II. Di masa kini, SMB II diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Palembang.
Walau perang berakhir, banyak tentara dan pegawai Hindia-Belanda yang telah tinggal dan seolah menyatu dengan kehidupan di Palembang. Mereka jelas membutuhkan bimbingan spiritual. Untuk itu, Pemerintah Hindia-Belanda mendatangkan Ds (dominus/pendeta) dari Belanda.
Baca juga: Peninggalan Jejak Para Perintis
Berdasarkan catatan Ds WC De Jong, pendeta pertama yang datang ke Palembang adalah Ds Hendrik Marnstra. Dia melayani para jemaat Kristen Belanda pada 1844 atau 23 tahun setelah berakhirnya Perang Menteng.
Pelayanan dimulai dengan membentuk komunitas dan peribadatan di rumah-rumah jemaat. Ketika itu, mereka belum memiliki tempat ibadah (gereja). Kedatangan Hendrik membawa angin segar bagi jemaat. Setelah empat tahun di Palembang, Hendrik menghadap Residen Palembang Kapitein Carl Philip Conrad Steinmetz (1848-1850).
Hendrik meminta agar persekutuan Kristen di Palembang menjadi bagian dari tanggung jawab Pemerintah Hindia-Belanda. Atas permintaan itu, ditetapkan keberadaan jemaat Kristen Protestan di Palembang berikut yang ada di Muntok, Kepulauan Bangka Belitung, dan Riau sebagai tanggung jawab Pemerintah Hindia-Belanda. Demikian tertuang dalam Keputusan Residen Palembang Nomor 34 bertanggal 11 Maret 1848.
Sejak ditetapkan menjadi jemaat Kristen oleh pemerintah, ujar Davijani, perkembangan persekutuan terus berkembang. Awalnya, mereka harus beribadah dengan berpindah-pindah. Namun, lama-kelamaan jemaat memiliki kerinduan untuk beribadah di gereja sendiri. Wacana pembangunan gereja pun muncul tahun 1910 di bawah kepemimpinan Ds Wilhelm Andreas Wasch.
Rencana ini muncul disaat kota Palembang berkembang semakin pesat dan pertumbuhan jemaat yang semakin banyak.
Terinspirasi dari kartu pos
Pada tahun 1921, ditetapkan lokasi gereja yakni di Jal Talang Semut 28 Ilir, Palembang. Namun, pembangunan baru terealisasi tiga tahun kemudian. Anggota jemaat bernama H Mulder ditugaskan sebagai arsitek. Dalam rancang bangun, Mulder terinspirasi dari kartu pos. Dalam kartu dimaksud terpampang gambar Gereja Vredeskerkje (Perdamaian), Bergen Aan Zee, kota kecil di pantai utara Belanda. Gereja Perdamaian itu dibangun pada 1909.
Dari segi struktur, Gereja Ayam di Palembang nyaris identik dengan Gereja Vredeskerkje. Semangat yang diambil juga serupa yakni semoga Gereja Ayam bisa membawa misi perdamaian. Adapun pembangunan gereja dilaksanakan oleh kontraktor asal Palembang, yakni Aboe Bakar. Pembangunan gereja menghabiskan biaya 24.262,70 gulden.
Pada 29 Juli 1924 berlangsung peletakan batu pertama. Dari sana, pembangunan hanya butuh waktu kurang dari enam bulan. Tepat pada Natal 1924, gereja itu mulai digunakan untuk beribadah. Peribadatan dalam gereja itu akhirnya terwujud setelah 76 tahun jemaat Kristen Protestan terbentuk di Palembang.
Davijani mengutarakan, gereja ini dinamakan Gereja Ayam karena di bagian pucuk banguan bertengger dekorasi ayam yang terbuat dari baja. Banyak jemaat mengira lambang ayam ini sebagai bentuk pengkhianatan Petrus kepada Yesus seperti kisah dalam Alkitab.
Namun, sebenarnya, ujar Davijani, keberadaan ayam memiliki makna mendalam, yakni awal bangunnya ciptaan untuk memulai hari. Ayam dilambangkan sebagai tanda kehidupan ketika ayam berkokok, maka segala ciptaan akan bangun dan memulai aktivitas.
Baca juga: Gereja Tua Saksi Kaum Merdeka
Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumsel, Retno Purwanti, menuturkan, pembangunan gereja di Palembang baru ada di masa kolonial Belanda. Itu karena pada masa Kesultanan Palembang Darussalam hanya masjid yang berdiri.
Alasan lain adalah di masa itu hanya keluarga sultan dan warga etnis Arab yang boleh tinggal di darat, sedangkan etnis lain hanya boleh tinggal di bantaran atau di aliran sungai. Saat itu, para ulama dari Arab sangat dekat dengan keluarga kesultanan.
Terkait letak gereja di kawasan Talang Semut, menurut Retno, karena di masa kolonial menjadi tempat tinggal para kaum elite. Tidak hanya gereja, di sana dibangun tempat tinggal dan sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup warga setempat. Melihat dari sejarah panjang dan usia, Gereja Ayam bisa diajukan sebagai cagar budaya.
”Saat ini pun Gereja Ayam sudah terdaftar dalam sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya,” ujar Retno yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palembang.
Namun, untuk mewujudkannya butuh persetujuan dari pemilik bangunan, dalam hal ini komunitas Kristen yang menempati gereja tersebut. Walau menyandang gelar sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang baru memiliki satu bangunan cagar budaya, yakni Pasar Cinde.
Baca juga: Laksanakan Protokol Kesehatan Gereja Batasi Kedatangan Umat
Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Palembang Pendeta Agustina Laheba menuturkan, sampai saat ini terhitung 358 keluarga yang terdaftar sebagai jemaat. Mereka berasal dari beragam suku. Bahkan, ada jemaat simpatisan yang datang untuk sekadar beribadah.
Sejak berdiri pada 1924, terhitung sudah ada 51 pendeta yang membina jemaat di gereja ini. Bangunan ini pun sudah mengalami renovasi besar sebanyak dua kali, yakni 1970 dan 2020. Walau berapa kali direnovasi, tujuan bangunan ini tidak pernah berubah, yakni untuk tetap memelihara iman umat.
Jumat (25/12/2020), genap 96 tahun gereja ini berdiri. Syukur, perayaan Natal masih bisa digelar di gereja tua ini walau dibatasi pandemi. Dari situasi ini, ujar Agustinia, jemaat diajar untuk tetap rela berbagi di tengah keterbatasan, menjaga toleransi dan perdamaian, serta merekatkan hati walau tidak bisa berdekatan.
Karena seperti potongan syair di Kidung Jemaat 257, ’Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula menaranya. Bukalah pintunya, lihat didalamnya, gereja adalah orangnya’. Ya umat Kristen diharapkan bisa membawa damai dan sukacita di tengah masyarakat. Selamat merayakan Natal.