Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memilih menambah ketersediaan alat tes cepat antigen pada awal tahun 2021 ketimbang memperbanyak tes usap. Keterbatasan anggaran dijadikan alasan utamanya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memilih menambah ketersediaan alat tes cepat antigen pada awal tahun 2021 ketimbang memperbanyak tes usap. Keterbatasan anggaran dijadikan alasan utamanya.
”Untuk saat ini belum ada rencana pengadaan mesin tes usap lagi. Seperti kita tahu, anggaran terbatas. Karena itu, kita akan perbanyak alat swab antigen,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sultra Usniah di Kendari, Rabu (23/12/2020).
Pengadaan alat uji usap antigen, menurut Usniah, diprioritaskan awal tahun depan. Alat itu diharapkan bisa menjadi penapis tahap awal bagi mereka yang teridentifikasi Covid-19 atau juga tergolong kontak erat.
Sejauh ini, ia melanjutkan, jumlah alat uji usap antigen milik Pemprov Sultra sebanyak 4.000 buah. Alat ini pengadaan beberapa waktu lalu dengan anggaran sekitar Rp 500 juta. Jumlah ini masih jauh dari permintaan awal yang sekitar 30.000 buah.
Menurut dia, keterbatasan pengadaan alat tes antigen ini juga disebabkan minimnya anggaran daerah saat ini. Anggaran yang ada digunakan untuk kegiatan lain.
”Alat ini memiliki tingkat akurasi yang cukup baik. Dari hasil uji ini, nanti kami tingkatkan ke alat PCR. Kami berharap awal tahun bisa tambah banyak. Kalau bisa sampai 100.000 buah akan lebih bagus,” ucapnya.
Dengan kondisi alat yang terbatas, Usniah melanjutkan, pihaknya berharap kabupaten dan kota melakukan pengadaan mesin tes usap di wilayah masing-masing. Dengan demikian, sampel dari daerah tidak perlu lagi dikirim ke Kendari. Ia mengakui, jumlah tes di Sultra masih sangat rendah karena keterbatasan alat.
”Selain Konawe Utara, beberapa daerah lain sudah mengajukan alat ini, seperti Bombana dan Baubau. Mudah-mudahan segera ada di semua wilayah untuk memperbanyak jumlah tes,” katanya.
Hingga Selasa (22/12), jumlah kasus positif di Sultra mencapai 7.602 kasus. Sebanyak 127 orang meninggal dunia, 971 orang dalam perawatan, dan 6.504 orang telah sembuh.
Sementara itu, jumlah tes usap yang telah dilakukan baru sebanyak 26.500 sampel. Jumlah ini hanya 0,9 persen dari total penduduk lebih kurang 2,7 juta. Jumlah tes dalam sehari sekitar 150 spesimen. Dalam satu pekan hanya ada 1.050 sampel.
Padahal, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah tes spesimen yang direkomendasikan minimal 1.000 per 1 juta penduduk. Dengan standar ini, tes sepekan di Sultra tidak sampai setengahnya.
Tes usap dilakukan di RS Bahteramas, Kendari, satu-satunya RS rujukan di belasan kabupaten/kota. Namun, alat di RS itu juga kerap bermasalah sehingga spesimen harus dikirim ke Sulawesi Selatan. Beberapa daerah, seperti Konawe, Kolaka, dan Kolaka Utara, sejak beberapa bulan lalu memiliki alat tes sendiri, tetapi dengan jumlah terbatas.
Padahal, sejak awal, akademisi dan masyarakat sipil terus mendorong Pemprov Sultra agar memperbanyak tes usap di daerah. Terlebih lagi, dengan anggaran realokasi penanganan Covid-19 sebesar Rp 400 miliar sangat memadai untuk membeli alatnya.
Akan tetapi, anggaran penanganan Covid-19 tersebut tidak dialokasikan untuk pembelian alat tes yang masif. Dana ratusan miliar rupiah disebar di 27 organisasi perangkat daerah yang dialokasikan untuk berbagai macam kegiatan, baik pembangunan fisik, pembelian barang dan jasa, penyuluhan, maupun perjalanan dinas.
Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sultra Kisran Makati menyesalkan sikap Pemprov Sultra tidak mengalokasikan anggaran pada tiga model penanganan utama, yaitu penanganan Covid-19, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi. Anggaran tersebut malah digunakan untuk alokasi yang tidak sesuai dengan penanganan dan kebutuhan masyarakat.
”Sampai sekarang pun tidak terlihat mana bentuk penanganannya, tetapi anggaran menguap tidak tahu ke mana. Seharusnya, dari awal pengadaan alat dilakukan provinsi yang disebar ke kabupaten/kota. Jadi, tes lebih masif dan anggaran tepat sasaran,” ujarnya.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo, Ramadhan Tosepu, berpendapat serupa. Dalam delapan bulan pandemi, persoalan mendasar serupa memperbanyak tes seharusnya tidak lagi menjadi kendala. Jumlah tes yang banyak bisa menunjukkan kasus sebenarnya di masyarakat.
Ramadhan menduga, angka kasus yang terjadi di masyarakat jauh lebih besar dari apa yang tercatat. Terlebih lagi, pilkada serentak membuat kerumunan massa di daerah itu tidak terkontrol. Kerumunan massa terjadi mulai dari pendaftaran hingga setelah pemilihan berlangsung.
”Paling tidak, yang terburuk itu memperbanyak tes uji cepat antigen. Itu sudah paling baik daripada tidak berbuat apa-apa,” ujar Ramadhan.