Hasil pemilihan gubernur Sumatera Barat digugat ke Mahkamah Konstitusi atau MK menyusul permohonan gugatan yang diajukan paslon bupati di Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, dan Padang Pariaman.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Hasil pemilihan Gubernur Sumatera Barat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Komsi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Barat masih mempelajari pokok gugatan itu serta menunggu keputusan MK. Sebelumnya, gugatan hasil pemilihan kepala daerah juga diajukan ke MK oleh paslon bupati di Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, dan Padang Pariaman.
Permohonan gugatan perselisihan hasil Pilgub Sumbar itu didaftarkan oleh paslon Gubernur Nasrul Abit-Indra Catri pada Rabu (23/12/2020) pukul 13.15. Adapun akta pengajuan permohonan pemohon Nomor 132/PAN.MK/AP3/12/2020 dibuat dan ditandatangani panitera Muhidin pada Rabu pukul 13.41.
Kuasa hukum Nasrul-Indra, Vino Oktavia, Rabu, mengatakan, ada dua poin yang menjadi pokok gugatan paslon ini ke MK, yaitu dugaan pelanggaran oleh KPU Sumbar dan dugaan kecurangan oleh salah satu paslon gubernur.
Vino menjelaskan, dugaan pelanggaran yang dilakukan KPU adalah terkait proses pemungutan dan rekapitulasi hasil. Di Pariaman, pemungutan suara tidak dilaksanakan di RSUD Pariaman; di Padang, ada pemilih yang mencoblos lebih dari satu surat suara; dan di Sawahlunto, ada pemilih mencoblos menggunakan pena, tidak sesuai aturan yang mestinya menggunakan paku.
Sementara itu, lanjut Vino, dugaan pelanggaran terkait proses rekapitulasi, yaitu hasil rekapitulasi dari tingkat kabupaten/kota yang diserahkan ke KPU provinsi hanya dibungkus map, tanpa menggunakan kotak suara yang disegel dan digembok. Kasus ini terjadi di Kabupaten Solok Selatan, Kota Solok, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Pariaman.
”Ini pelanggaran peraturan perundang-perundangan. Akibat hukumnya adalah kami meminta pembatalan penetapan hasil rekapitulasi oleh KPU Sumbar,” kata Vino, ketika dihubungi, Rabu.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Sumbar, paslon nomor urut empat Mahyeldi-Audy Joinaldy yang diusung PKS dan PPP meraih suara terbanyak dengan perolehan 726.853 suara (32,43 persen). Paslon nomor urut dua Nasrul-Indra yang diusung oleh Gerindra menempati urutan kedua dengan perolehan 679.069 suara (30,30 persen).
Sementara itu, paslon nomor urut satu Mulyadi-Ali Mukhni yang diusung Demokrat dan PAN meraih 614.477 suara (27,42 persen). Adapun pasangan calon nomor urut tiga Fakhrizal-Genius Umar yang diusung Golkar, PKB, dan Nasdem meraih 220.893 suara (9,86 persen).
Kemudian, kata Vino, salah satu paslon gubernur diduga curang dalam membuat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). Paslon itu dinilai tidak jujur membuat LPPDK karena pada rincian pengeluaran biaya pertemuan tatap muka dan pertemuan terbatas serta pengeluaran biaya iklan paslon tersebut tertulis Rp 0.
Pada rincian pengeluaran biaya pertemuan tatap muka dan pertemuan terbatas serta pengeluaran biaya iklan paslon tersebut tertulis Rp 0. (Vino Oktavia)
Menurut Vino, tidak mungkin paslon itu tidak mengeluarkan biaya untuk pertemuan tatap muka dan pertemuan terbatas. Sebab, setahu tim paslon Nasrul-Indra, paslon tersebut banyak melakukan kampanye di 19 kabupaten/kota di Sumbar. Selain itu, tidak mungkin biaya paslon itu Rp 0 karena tim Nasrul-Indra mengetahui mereka punya banyak kontrak kerja sama dengan media massa.
”Mereka tidak melaporkan sumbangan dana kampanye dan tidak memberikan keterangan yang benar terkait pengeluaran dana kampanye. Kami meminta paslon tersebut didiskualifikasi,” ujar Vino.
Ketua KPU Sumbar Yanuk Sri Mulyani mengatakan, komisi baru mendapatkan informasi paslon Nasrul-Indra mendaftarkan permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan ke MK. Komisi mempelajari terlebih dahulu pokok gugatan serta menunggu putusan dari MK.
”Sesuai aturan, gugatan yang diajukan ke MK itu terkait dengan perselisihan (perolehan) suara. Kami tidak tahu nanti bagaimana keputusan MK terhadap gugatan itu (dilanjutkan atau tidak). Kami menunggu keputusan dan informasi resmi dari MK,” kata Yanuk.
Terkait empat kabupaten/kota yang menyerahkan hasil rekapitulasi tanpa kotak, Yanuk mengatakan, hal itu telah dijelaskan ketika rapat rekapitulasi di provinsi. Menurut Yanuk, pengadaan kotak hanya sampai pada tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) sehingga di tingkat kabupaten tidak ada kotak.
Yanuk melanjutkan, secara subtansi, hasil rekapitulasi yang dikirimkan empat KPU kabupaten/kota tanpa kotak itu tidak ada perubahan. Hasil rekapitulasi di tingkat provinsi sesuai dengan hasil rekapitulasi di tingkat kabupaten.
”Bawaslu kabupaten/kota, ketika ditanyakan apakah hasil rekapitulasi itu masih sama dengan yang di tingkat kabupaten/kota, mereka mengatakan masih sama. Artinya, apa yang diserahkan, meskipun tanpa kotak, tetap sama persis dengan yang diserahkan ke KPU provinsi,” ujar Yanuk.
Ditambahkan Yanuk, hingga Rabu ini, total ada lima pilkada di Sumbar yang digugat ke MK, yaitu pilkada di Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Padang Pariaman, dan Sumbar. KPU Sumbar sudah mengadakan rapat koordinasi dengan KPU kabupaten/kota untuk persiapan menghadapi gugatan pilkada ke MK.
Secara terpisah, ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, setiap paslon punya hak untuk menggugat hasil pilkada ke MK. Namun, tidak semua gugatan yang didaftarkan ke MK ditindaklanjuti. MK akan melakukan saringan terhadap gugatan yang didaftarkan.
Secara umum, kata Khairul, MK mengacu pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Dalam pasal ini diatur syarat pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara, yaitu selisih perolehan suara maksimal 0,5 persen hingga 2 persen tergantung jumlah penduduk.
Jika mengacu ke Pasal 158 ini, gugatan di lima pilkada, hanya pilkada Solok yang masuk kriteria. Berdasarkan data KPU, dalam pilkada Solok selisih suara paslon penggugat dan paslon peraih suara terbanyak sebesar 0,48 persen. Sementara itu, di pilkada lainnya selisih suara lebih dari 2 persen.
”MK memang membuka ruang untuk memeriksa sengketa hasil pemilu yang selisihnya lebih dari ambang batas yang diatur dalam Pasal 158. Namun, itu hanya untuk kasus-kasus yang memang pelanggaran serius dan tidak tertangani dalam mekanisme hukum pemilu yang ada. Jika mekanisme yang ada sudah ditempuh, biasanya MK tidak akan mengambil itu sebagai bagian dari sengketa hasil yang mereka periksa,” kata Khairul.
Jika melihat selintas kasus yang digugat Nasrul-Indra, Khairul mengatakan, itu termasuk bagian pelanggaran administrasi dan ada mekanisme penyelesaian tersendiri. Kecuali apabila pelanggaran itu berkorelasi langsung dengan perolehan suara. Jika tidak, biasanya MK akan selektif untuk memeriksanya.
”Dari aspek peluang (dikabulkannya gugatan oleh MK), untuk pilkada Sumbar kecil. Sejauh ini, proses pilkada di Sumbar lumayan berjalan baik. Tidak ada hal-hal begitu signifikan yang dianggap sebagai pelanggaran serius dalam penyelenggaraan pilkada. Mekanisme penegakan hukum pilkada sejauh ini kan berjalan, terlepas dari terbukti atau tidaknya,” ujar Khairul.