Sayuran Pengganti Uang, Pengikat Kebersamaan
Sayuran bagi warga Desa Nangka, Kuningan, Jawa Barat, adalah sumber ekonomi sekaligus pengikat silaturahim. Selalu ada jalan bagi mereka yang tak mau menyerah meski di tengah kondisi yang berat sekalipun.
Di Desa Nangka, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sayuran menjadi alat tukar baru, ”menggantikan” uang. Dengan sayuran yang ditanam di pekarangan, warga juga turut merajut silaturahim.
Merlin (24) berjalan membawa baskom berisi sawi segar yang baru dipanen di depan rumahnya di Desa Nangka, Kecamatan Kadugede, Kamis (17/12/2020) siang. Ia melintasi jalan beraspal yang di sisi kiri dan kanannya terhampar aneka jenis sayuran dalam polybag.
”Ceu, beli bakso dua, tetapi bayarnya pakai sayur, ya,” ucap Merlin sambil menyerahkan sawi kepada Siti Nurlaela (36), pedagang bakso. Setelah ditimbang, sawi tersebut seberat 2 kilogram. Siti pun langsung meracik dua bakso pesanan Merlin.
Begitu salah satu cara warga memanfaatkan sayuran yang ditanam dalam polybag di halaman, trotoar, hingga teras rumah. Sayuran itu kini jadi alat tukar yang disepakati warga. Untuk beli seporsi bakso, misalnya, butuh 1 kg sawi. Di pasaran, sawi seharga Rp 6.000 per kg.
Bagi Merlin, sistem barter itu cukup praktis. Ia tidak mesti ke pasar desa menjual panennya. Biasanya, setiap panen sepekan, ia bisa meraup sedikitnya Rp 20.000 dari sekitar 200 polybag. Isinya, tomat, pakcoi, sawi, hingga selada bokor.
Untuk Siti, sayuran dari warga membuatnya tidak lagi ke pasar untuk membeli sayuran. Sebenarnya, ia juga menanam sayuran dalam sekitar 150 polybag. Namun, itu belum cukup memenuhi kebutuhannya, sekitar 3 kg per hari. Makanya, ia tidak keberatan saat warga membayar dengan sayuran untuk beli bakso, telur, tempe, bahkan bumbu masak di warungnya.
”Sayuran dari warga juga lebih bagus, masih fresh (segar),” ucapnya.
Baca Juga: Daya Petani Desa Menjaga Kota
Suryana (51), aparat desa setempat, menjamin sayuran warga tidak memakai bahan kimia. Di polybag warga, tampak sekam dan kotoran kambing. Warga yang beternak biasanya menjual kotoran kambing seharga Rp 10.000 untuk satu karung ukuran 50 kg.
Suryana bahkan membuat pupuk kompos cair di dalam ember besar. Isinya, antara lain, air beras, kotoran kambing, dan mikroorganisme. Namun, pupuk itu belum mampu mengantisipasi potensi kerusakan tanaman akibat hujan yang mengguyur beberapa hari terakhir.
Selain pupuk dari tangan sendiri, Suryana juga membuat bibit dan tatakan tanaman dari bambu. Untuk membuat 84 polybag ukuran 25 sentimeter, ia hanya mengeluarkan duit Rp 16.000. ”Selama 8 bulan menanam, saya sudah dapat Rp 4,6 juta dari 1.350 polybag,” ucapnya.
Saking semangatnya, bapak tiga anak ini menyimpan polybag berisi selada bokor dan sawi di lantai dua rumahnya yang masih beralas semen dan tanpa atap. Sebuah tangga terpasang di sampingnya.
Sayuran warga tidak memakai bahan kimia. Di polybag warga, tampak sekam dan kotoran kambing.
Bangkit dari pandemi
Sebelum saat ini, Desa Nangka minim sayuran. Seperti namanya, daerah itu dikenal dengan pohon nangka. ”Dulu, di sini banyak nangkanya dan gede-gede. Saat 1990-an, pohonnya ditebang untuk dijadikan kuseng. Saat itu, harga kayu sepanjang 1,5 meter saja bisa Rp 200.000,” kenang Sekretaris Desa Nangka Dani Arianto.
Akibat penebangan masif itu, Desa Nangka tak lagi menjadi sentra nangka. Kini, desa dengan luas tanah 184 hektar dengan luas permukiman hanya 14 hektar ini mencoba menciptakan identitas baru.
Kehadiran sayuran di rumah warga dimulai sejak Februari 2020 dari program Pemerintah Desa Nangka. ”Kami memberikan 25 polybag dan bibit sayurannya untuk setiap rumah. Kami juga memberikan pelatihan,” kata Kepala Desa Nangka Sukmana.
Kehadiran sayuran di rumah warga dimulai sejak Februari 2020 dari program Pemerintah Desa Nangka.
Untuk kebutuhan bibit, pemdes punya Kebun Bibit Desa yang dikelola Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Mulya. KWT tersebut juga mengolah sayuran jadi keripik hingga brownies. Namun, pembuatannya tidak rutin, tergantung pesanan atau acara tertentu.
Setiap pekan, warga bisa menjual hasil panennya ke kelompok tani sebelum dijual lagi ke pasar. Ia memperkirakan, sedikitnya Rp 500.000 berputar dari hasil sayuran tersebut. Sayuran itu berasal dari hampir 225 rumah atau 304 keluarga.
Ketekunan itu membawa hasil manis. Di tengah pandemi, banyak warga bisa tetap berpenghasilan. Pasangan suami istri, Juned (56) dan Atin Rohatin (51), warga lainnya, adalah yang merasakan bukti nyatanya.
Sayuran yang ditanam di depan rumahnya turut menolong mereka di tengah lesunya ekonomi. Sebelum pandemi, bapak tiga anak ini bisa menjual 10-20 kg buah markisa setiap pekan. Harganya, Rp 10.000 per kg.
”Akan tetapi, waktu pandemi, harganya jatuh sampai Rp 3.000 per kg. Bahkan, sekarang, (bakul) sudah tidak menerima markisa,” kata Juned yang tak tahu penyebab anjloknya harga komoditas itu. Beruntung, hasil dari warung kecil yang dikelola Atin masih membuat dapurnya mengepul.
Baca Juga: Digitalisasi Membantu Mereka Menjajakan Dagangan Pasar
Sayuran lantas jadi harapan terbesar. Sejak awal tahun, Juned mulai serius menanam aneka sayuran di polybag. Berbeda dengan markisa, harga sayuran malah naik. Seperti Rabu (16/12), ia menjual 7 kg bawang daun seharga Rp 7.000 per kg. Padahal, biasanya, harganya hanya Rp 3.000-Rp 4.000 per kg.
Ia bahkan pernah meraup Rp 700.000 dari hasil panen sayurnya selama dua bulan. Ini termasuk penjualan sejumlah polybag berikut tanamannya seharga Rp 25.000 per buah.
”Bu Bupati Kuningan (Ika Acep Purnama) juga beli,” kata Juned yang memiliki 600 polybag.
Menariknya, tidak hanya menghasilkan rupiah, sayuran pun mempererat kerbersamaan warga. ”Kalau kerja bakti, saya bikin bakwan. Isinya, selada bokor dan bawang daun yang ditanam di depan rumah. Jadi, hasil panen dinikmati sama-sama,” kata Atin.
Geliat warga menanam sayuran pun mengundang kebersamaan dan silaturahim dari warga di dalam dan luar Kuningan.
Geliat warga menanam sayuran pun mengundang kebersamaan dan silaturahmi dari warga di dalam dan luar Kuningan. Sejumlah pemerintah desa dari Kecamatan Kadugede hingga Kecamatan Cibingbin telah berkunjung ke Desa Nangka, sekitar 4,8 kilometer dari Kantor Bupati Kuningan.
Bahkan, lanjut Sukmana, Komisi III DPRD Salatiga dari Jawa Tengah turut belajar ke desanya. ”Mereka mau memastikan, benar enggak warga di desa ini menanam sayuran di rumahnya. Alhamdulilah, sayuran bisa menjadi mata pencarian warga sekaligus meningkatkan silaturahim,” katanya.
Lewat sayuran, warga Desa Nangka membuktikan kreativitas tak pernah meninggalkan orang-orang yang setia menekuninya. Selalu ada jalan bagi mereka yang tak mau menyerah meski di tengah kondisi yang berat sekalipun.