Ombudsman RI: Pandemi Covid-19 Mengubah Pola Pengaduan Warga
Pandemi Covid-19 mendorong masyarakat mengurangi kontak fisik dan bergerak cepat. Hal ini turut mengubah perilaku masyarakat dalam membuat laporan terkait pelayanan publik kepada Ombudsman.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengubah cara masyarakat dalam melaporkan keluhan pelayanan publik kepada Ombudsman. Masyarakat kini lebih ingin berkonsultasi terlebih dahulu dalam menyelesaikan permasalahannya, ketimbang membuat aduan secara langsung ke Ombudsman.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Alamsyah Saragih, dalam acara ”Refleksi Akhir Tahun: Produktif di Masa Pandemi”, Senin (21/12/2020), mengatakan, hampir 30 persen layanan yang masuk ke ORI merupakan kategori konsultasi, bukan lagi laporan masyarakat.
Dia melihat situasi pandemi Covid-19 mendorong masyarakat mengurangi kontak fisik dan bergerak cepat. Alhasil, publik lebih proaktif menyelesaikan langsung masalah di pelayanan publik dengan dukungan langsung Ombudsman.
”Tampaknya ada perubahan perilaku masyarakat. Kalau dulu senang melapor untuk hal yang biar Ombudsman proaktif. Tetapi, selama pandemi mungkin karena urgensi banyak orang, konsultasi dan memanfaatkan Ombudsman lebih untuk menjadi jembatan komunikasi,” ujar Alamsyah.
Alamsyah juga menyampaikan, dalam upaya optimalisasi pelayanan kepada publik, saat ini ORI tengah mengembangkan skema pantauan laporan yang diintegrasikan dengan pelacakan virtual (online tracking). Dengan begitu, ke depan, pelapor tak hanya mengetahui sampai mana laporan ditangani di ORI, tetapi juga bisa melihat sejauh mana laporan ditindaklanjuti di instansi terlapor.
Sementara itu, anggota ORI, Adrianus Eliasta Meliala, menambahkan, situasi pandemi mendorong ORI hingga perwakilan Ombudsman di daerah-daerah untuk berinovasi. Ini tidak hanya dalam konteks melayani publik, tetapi juga mempertahankan produktivitas pegawai.
”Perubahan teknologi luar biasa sekarang. Sekarang semua tak bisa males-malesan. Tanpa melalui reformasi digital, tidak akan ada akselerasi. Kunci dalam ruang yang baru ini adalah kreativitas. Kreativitas menjadi penentu apakah kita bisa keluar dari masalah atau tidak,” tuturnya.
Inovasi
Untuk tetap memberikan wadah pelaporan kepada publik, Kepala Perwakilan Ombudsman Nusa Tenggara Timur (NTT) Darius Beda Daton telah berinisiatif menggagas spot pelaporan (vocal point) sejak 2014. Spot yang dipilih biasanya adalah di depan loket unit pelayanan publik sehingga publik mudah melihatnya.
Di spot itu terdapat sebuah pigura yang bertuliskan ”Kring Ombudsman” serta nomor telepon seluler pribadi kepala perwakilan dan asisten Ombudsman NTT.
Hingga saat ini, spot pelaporan ada di 104 unit layanan yang tersebar di lima kabupaten/kota. Adapun Ombudsman NTT membawahi 22 kabupaten/kota.
”Siang dan malam masyarakat boleh menghubungi kami. Banyak laporan terselesaikan saat pelapor masih di luar loket,” ujar Darius.
Sebelum ada spot pelaporan itu, Darius menyebut, masyarakat yang melapor langsung ke kantornya hanya 10-15 laporan setiap semester. Namun, setelah ada spot pelaporan tersebut, jumlah laporan yang masuk ke Ombudsman NTT selalu teratas dibandingkan dengan daerah lain. Jumlahnya bisa 300-500 laporan setiap semester.
”Masyarakat kami mungkin dulu itu mau melapor keluhan pelayanan publik, tetapi tidak tahu ke mana. Bukan karena pelayanan publik sudah bagus. Jadi, kami mendekatkan akses Ombudsman ke seluruh pulau sehingga mereka tak perlu ke kantor. Mereka cukup telepon atau mengirim SMS (pesan singkat), lalu kami tindak lanjuti,” kata Darius.
Melihat masih banyak daerah yang belum memiliki spot pelaporan, Darius berharap, ke depan, inovasi ini mendapat bantuan dari ORI atau pemerintah pusat. Sebab, selama ini, setiap pengembangan inovasi masih memakai anggaran Ombudsman NTT yang sangat terbatas.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Utara Abyadi Siregar juga membeberkan inovasi yang telah ia gagas sejak 2017. Ia mendirikan program kelas pelayanan publik agar publik bisa ikut berpartisipasi dalam pengawasan.
Sekolah pelayanan publik ini, lanjut Abyadi, didasari atas kondisi Ombudsman Sumut yang serba keterbatasan, baik sumber daya manusia maupun anggaran.
Ombudsman Sumut hanya memiliki lima asisten, sedangkan daerah yang harus diawasi mencapai 34 kabupaten/kota. Dengan kesadaran itu, Abyadi merasa membutuhkan mitra dalam mengawasi pelayanan publik.
”Jadi, lebih banyak pegawai kelurahan daripada pegawai Ombudsman. Sangat tidak mungkin, sangat tidak rasional bagi kami mengawasi semua itu,” ucapnya.
Kelas pelayanan publik itu terbuka secara sukarela bagi masyarakat umum, entah mahasiswa, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, atau jurnalis. Namun, mereka yang ingin bergabung harus diseleksi terlebih dahulu dengan mengirimkan tulisan. Jika terpilih, di dalam kelas, mereka akan diberi pemahaman mengenaik hak-hak dalam pelayanan publik.
”Tujuan kami, kan, agar mempunyai jaringan untuk membantu mengawasi pelayanan publik. Masalahnya, kalau mereka tidak mengerti apa itu pelayanan publik, ya, tidak bisa juga. Karena itu, penting dibuat sekolah ini, kami berikan penjelasan soal pelayanan publik. Saya melihat sebetulnya ini keinginan dan kesadaran mereka untuk mengawasi pelayanan publik,” ujar Abyadi.