Harimau ”Corina” Dilepasliarkan di Semenanjung Kampar
Seekor harimau sumatera asal Provinsi Riau, ”Corina”, kembali dilepasliarkan ke habitatnya setelah delapan bulan lebih menjalani rehabilitasi di Dharmasraya, Sumatera Barat.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Provinsi Riau, ”Corina”, kembali dilepasliarkan ke alam liar di Semenanjung Kampar setelah delapan bulan lebih menjalani rehabilitasi di Dharmasraya, Sumatera Barat. Harimau betina ini sebelumnya dievakuasi oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau karena mengalami luka serius akibat terkena jerat.
Corina dilepasliarkan di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER), Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau, Minggu (20/12/2020) pukul 09.00. Sebelum dilepasliarkan, Corina ditempatkan di kandang habituasi milik RER sejak 14 Desember 2020. Corina diterbangkan dengan helikopter dari Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Arsari di Dharmasraya ke Riau pada 14 Desember 2020.
Pelepasliaran Corina dipimpin oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno. Kegiatan diikuti pula oleh tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, tim PRHSD Arsari, dan tim APRIL/RER dari PT Gemilang Cipta Nusantara. Penentuan lokasi lepas liar dilakukan berdasarkan hasil kajian kesesuaian habitat oleh tim pakar yang dipimpin Profesor Satyawan Pudyatmoko dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
”Hari (Minggu) ini kami sudah mengembalikan Corina ke kampungnya. Kami mengharapkan Corina bisa menjadi indukan, beranak-pinak di kampungnya, dan bisa terjaga kelestarian harimau sumatera di Semenanjung Kampar, Riau, dan seluruh Sumatera,” kata Suharyono, Kepala BBKSDA Riau, dalam diskusi daring yang disiarkan akun Youtube BBKSDA Riau, Minggu.
Menurut Suharyono, pada 17 Desember 2020 dilakukan pemasangan GPS Collar dengan Satelit Iridium kepada Corina untuk keperluan pemetaan wilayah jelajahnya. Ini juga bermanfaat dalam mengantisipasi terulangnya satwa tersebut kembali terjerat. Pemantauan dilakukan melalui aplikasi Africa Wildlife Tracking (AWT), yang saat ini sudah dapat dipantau. Umur baterai maksimal 2 tahun dan alat akan lepas secara otomatis pada bulan Oktober 2022.
”Selain itu, untuk memudahkan pemantauan pada saat coverage satelit GPS terbatas, dipasang pula transmitter radio yang dapat dipantau langsung menggunakan receiver radio tracking dengan sistem trianggul,” kata Suharyono.
Berdasarkan catatan Kompas, Corina dievakuasi dari area konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT RAPP Blok Meranti, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, pada 29 Maret 2020. Kaki kanan depan Corina terjerat kawat baja dan terluka dalam. Di awal masa perawatan di PRHSD Arsari, kondisi kesehatan Corina sempat naik turun, tetapi akhirnya bisa melewati masa kritis.
Suharyono menjelaskan, saat dievakuasi dari Pelalawan, usia Corina sekitar 3 tahun dan berat sekitar 77,8 kilogram. Corina dievakuasi oleh tim BBKSDA Riau pada 29 Maret 2020 dan tiba di PRHSD Arsari pada 30 Maret 2020 dengan menempuh perjalanan darat sekitar 300 kilometer untuk menjalani perawatan intensif dan rehabilitasi. Sekarang beratnya sekitar 89 kilogram.
Ditambahkan Suharyono, jerat merupakan ancaman sangat berbahaya bagi satwa, tak terkecuali harimau sumatera. BBKSDA Riau dan mitra terus melakukan kampanye Operasi Sapu Jerat, terutama di wilayah kawasan konservasi dan di seluruh habitat harimau sumatera, termasuk di seluruh Semenanjung Kampar.
Manajer Operasional PRHSD Arsari, Kartika Amarilis, mengatakan, tidak mudah merawat dan menyembuhkan Corina sampai dikembalikan ke habitatnya. Luka yang didapat Corina adalah luka serius dan mulai mengalami infeksi. ”Perjalanan untuk menyembuhkan Corina sampai lukanya tertutup sekitar tiga bulan. Lukanya benar-benar sembuh pada 24 Juli 2020 dan akhirnya kami berani melepaskan Corina ke kandang habituasi kami,” kata Kartika.
Kartika melanjutkan, selama masa rehabilitasi, PRHSD Arsari menjaga agar Corina tetap memiliki sifat liar. Setelah lukanya sembuh, Corina ditempatkan di kandang habituasi guna menjalani proses untuk lepas liar. ”Benar-benar kami jaga fisik dan psikisnya agar memang benar-benar siap untuk dilepasliarkan,” ujarnya.
Wawan Gunawan dari RER mengatakan, dalam mempersiapkan pelepasliaran Corina, RER dan BBKSDA Riau terus berkoordinasi untuk melakukan survei lokasi lepas liar. Selain kecocokan habitatnya, RER dan BBKSDA Riau memastikan lokasi pelepasliaran bebas dari segala macam jerat.
Secara terpisah, Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, pengelola PRHSD Arsari, mengatakan, pihaknya sangat bahagia karena upaya pelepasliaran harimau kali ini adalah kerja sama banyak pihak. Ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Menurut Catrini, banyak dukungan dari pihak swasta. Selain PRHSD Arsari, RER juga terlibat. Begitu pula dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada yang terlibat meneliti kelayakan lokasi lepas liar. ”Selain itu, Corina berbeda dengan harimau lain. Dia langsung melompat keluar begitu pintu dibuka,” kata Catrini.
Profesor Satyawan mengatakan, untuk proses pelepasliaran atau translokasi harimau, ada beberapa persiapan. Pertama, kesiapan satwa dari segi fisik dan psikis. Kedua, aspek habitat, apakah habitatnya cukup atau tidak. Menurut Satyawan, harimau mempunyai wilayah jelajah (homering) sangat luas. Habitat yang cukup tetapi terlalu sempit akan berdampak buruk bagi populasi yang ada.
”Kajian kami menunjukkan bahwa di Semenanjung Kampar ini, habitat tersedia dengan kualitas bagus, masih cukup luas. Lebih menggembirakan lagi, masih ada koneksi di antara habitat-habitat yang sesuai (cocok) itu,” kata Satyawan.
Ke depan, menurut Satyawan, BBKSDA dan pemangku kepentingan di Riau punya tugas untuk meningkatkan kualitas dari habitat-habitat yang marjinal. Satyawan juga mengidentifikasi habitat marjinal yang cukup luas di kawasan tersebut. Paling tidak, habitat marjinal ini ditingkatkan agar menjadi habitat sesuai dengan kebutuhan satwa.
”Setelah harimau dilepasliarkan, kita dituntut agar harimau tidak sekadar selamat, tetapi juga bisa berkembang biak. Agar dapat berkembang biak, satwa perlu habitat, apalagi kalau nanti populasinya terus bertambah. Tingkat okupansi harimau di Riau masih rendah, jadi masih banyak ruang tersedia. Tinggal pemangku kebijakan memperbaiki ruang itu menjadi ruang nyaman dan bisa menghidupi harimau sumatera,” tutur Satyawan.
Dirjen KSDAE Wiratno mengatakan, ditjen mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam proses pelepasliaran Corina. Upaya penyelamatan Corina dan pelepasliarannya kembali adalah simbol bahwa negara dan pemerintah bertanggung jawab menjaga marwah dan kebanggaan bangsa. ”Satwa liar adalah harta karun nasional,” kata Wiratno.