Tingkatkan Produksi Budidaya Lele di Sangatta dengan Pendampingan dan Teknologi Tepat Guna
Pembudidaya Lele di Sangatta, ibu kota Kabupaten Kutai Timur, mampu meningkatkan produksi lele dengan menerapkan teknologi tepat guna. Cuaca yang tak tentu menjadi tantangan untuk memaksimalkan produksi.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pembudidaya Lele di Sangatta, ibu kota Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, mampu meningkatkan produksi lele dengan manajemen yang tepat dan teknologi tepat guna. Cuaca yang tak tentu menjadi tantangan untuk memaksimalkan produksi.
Mereka adalah 10 pembudidaya di enam desa di Sangatta, 116 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kecamatan Sangatta Utara, dan 21 UMKM di Sangatta Selatan. Semula, jumlah produksi ikan air tawar di Sangatta sedikit. Untuk memenuhi permintaan pasar lokal saja belum cukup dan harus memasok dari luar daerah, seperti Kota Samarinda dan Kutai Kartanegara yang berjarak hampir 200 kilometer.
Sejak 2015, mereka mendapat pendampingan dari Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) dan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Pama Banua Etam. Dalam penelusuran awal, ternyata banyak pembudidaya lele yang belum menerapkan manajemen budidaya dengan baik.
”Seperti pemberian pakan kuning telur pada bibit. Itu berpotensi membuat jamur sehingga tingkat kematian benih tinggi dan panen tidak maksimal,” ujar Hendra, Koordinator LPB Pama Banua Etam, dalam diskusi daring Penerapan Teknologi Tepat Guna kepada UMKM Perikanan Sangatta, Kamis (17/12/2020).
Masalah lain yang dihadapi adalah indukan lele yang tidak besertifikat. Akibatnya, daging lele terlalu kenyal dan berlendir setelah dimasak. Selain itu, mengolah lele menjadi produk dengan nilai tambah dan pemasaran masih menjadi masalah pembudidaya dan UMKM.
Dengan didampingi praktisi dan ahli, para pembudidaya dan pelaku UMKM diberikan pengetahuan mengenai manajemen keuangan, manajemen pakan, peningkatan kapasitas, akses bibit berkualitas, pemasaran, dan dibantu untuk mendapatkan pembiayaan modal usaha ke perbankan.
Tingkat kematian benih jadi rendah setelah pembudidaya menggunakan pakan alami, yakni cacing sutra. Sebelumnya, tingkat kehidupan benih hingga siap jual tidak pernah mencapai 70 persen. Setelah pendampingan pada 2017-2020, tingkat kehidupan benih mencapai 80 persen.
Hal itu membuat produksi lele jadi maksimal. Dari satu kilogram benih lele, bisa dihasilkan 45.000-55.000 ekor lele. Hal itu membuat kebutuhan pasar lokal di Sangatta bisa terpenuhi hingga 70 persen. Dengan benih besertifikat dan pemasaran yang baik, para pembudidaya bisa menyesuaikan kebutuhan konsumen, yakni 1 kilogram berisi 7-8 ekor lele.
Tren penjualan ikan konsumsi di Sangatta juga turut meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2015 penjualan ikan konsumsi tercatat hanya 459 kilogram, pada 2016 meningkat menjadi 926 kilogram, dan pada 2017 penjualan mencapai 1.569 kilogram. Peningkatan drastis terjadi pada 2019, yakni dari 2.669 kilogram pada 2018 menjadi 8.744 kilogram.
Yohanis, pembudidaya lele di Sangatta, mengatakan, manajemen biaya dan pakan menjadi masalah utama yang kerap ia hadapi dalam membudidayakan lele. Budidaya lele adalah kegiatan sampingannya selain menjadi pengajar sehingga ia hanya memberi makan benih hingga besar tanpa memberi perlakuan khusus.
Setelah mendapat pelatihan dan pendampingan, ia jadi memahami bahwa benih perlu dipisahkan berkala, yakni setiap 14 hari. Benih yang besar perlu dipisahkan dengan benih yang lebih kecil. Itu berfungsi agar tingkat kehidupan benih tinggi dan mendapatkan lele dengan besar merata saat panen. Jika dicampur, benih kecil bisa kalah saat diberi pakan.
”Selain itu, tidak ada manajemen pakan. Jadi, antara biaya yang dikeluarkan dan hasil tidak sesuai. Sekarang kami bisa menciptakan bank pakan cacing sutra 25 kilogram per bulan. Yang semula hobi, jadi bisa menambah penghasilan,” ucap Yohanis.
Sekarang kami bisa menciptakan bank pakan cacing sutra 25 kilogram per bulan. Yang semula hobi, jadi bisa menambah penghasilan. (Yohanis)
Di akhir tahun 2020 ini, para pembudidaya lele seperti Yohanis di Sangatta bisa lebih memaksimalkan produksi dengan teknologi kolam bioflok dan bank cacing sutra. Bioflok adalah teknik budidaya lele untuk meningkatkan kualitas air dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri heterotrof dan fitoplankton.
Mikroorganisme itu membantu menjaga kualitas air dari feses yang dihasilkan oleh ikan lele. Feses itu akan menggumpal dengan bantuan mikroorganisme di dasar kolam sehingga kualitas air tetap bersih dan tak berbau. Pembudidaya tidak perlu mengganti air terlampau sering.
Adapun untuk pakan, mereka akan mulai memaksimalkan untuk membudidaya cacing sutra guna mengurangi biaya pakan. Menurut perhitungan mereka, cacing sutra dibeli Rp 150.000 per kilogram. Dengan membudidaya sendiri, biaya itu bisa ditekan. Mereka hanya perlu membeli cacing sutra seharga Rp 50.000 untuk dikembangbiakkan sebagai pakan.
Dengan teknologi tepat guna itu, mereka menargetkan bisa memenuhi 90 persen permintaan pasar di Sangatta maupun pelaku UMKM yang memproduksi produk olahan lele pada tahun 2021. Hal itu juga diharapkan mampu secara perlahan membangkitkan ekonomi pembudidaya lele di tengah pandemi yang belum berakhir.
Tantangan cuaca
Salah satu tantangan untuk memaksimalkan budidaya lele di Sangatta adalah cuaca. Wilayah Kalimantan Timur yang berada di sekitar garis ekuator membuat matahari amat terik. Selain itu, hujan yang kerap datang tiba-tiba saat terik juga dapat memengaruhi suhu air.
Salah satu peternak lele di Sangatta, Sudirman, mengatakan, kondisi cuaca yang demikian membuat kualitas air mudah turun dan tidak stabil. Dalam budidaya lele, agar hasilnya maksimal, pH air perlu dipastikan stabil.
Level pH air pada budidaya lele berkisar 5,5-7,5. Jika pH air di bawah 6, artinya air dalam keadaan asam dan membuat jamur serta bakteri mudah berkembang biak. Jika demikian, benih atau lele di dalamnya berpotensi tidak tumbuh maksimal dan berpenyakit.
”Untuk mengantisipasi faktor cuaca, kami memberi atap plastik ultraviolet (UV) untuk menghindari pH mudah menurun. Kami juga memastikan untuk mengganti air yang baru ketika kualitas air menurun,” ujar Sudirman.
Plastik UV dipasang para pembudidaya di atas kolam-kolam lele menyerupai atap. Plasting bening itu dapat membantu mengurangi intensitas sinar matahari yang sampai ke dasar air di kolam lele. Dengan demikian, penguapan air tidak terlampau cepat dan suhu tidak naik drastis.