Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Siber Terjadi Saat Pandemi Covid-19
Jumlah pengaduan kekerasan seksual berbasis siber meningkat selama pandemi Covid-19. Penggunaan gawai untuk menyebarkan konten tidak semestinya menjadi lebih intens seiring dengan anjuran untuk berdiam diri di rumah.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Jumlah pengaduan kekerasan seksual berbasis siber meningkat selama pandemi Covid-19. Penggunaan gawai untuk menyebarkan konten tidak semestinya menjadi lebih intens seiring dengan anjuran untuk berdiam diri di rumah. Keterbatasan layanan pendampingan selama pandemi hingga belum adanya payung hukum juga menjadi tantangan besar yang dihadapi.
Komnas Perempuan menerima laporan kekerasan jender berbasis siber per Oktober 2020 sebanyak 659 kasus. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2019, yakni 281 kasus. Mayoritas kekerasan seksual yang ditemui berbentuk ancaman penyebaran hingga penyebaran konten intim nonkonsensual yang bersifat seksual, merugikan, dan menjatuhkan mental korban.
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, Minggu (13/12/2020), mengatakan, faktor yang memicu peningkatan kasus kekerasan seksual siber selama pandemi adalah banyak aktivitas harian anggota keluarga bergeser ke daring, misalnya bekerja dan sekolah. Sebelum pandemi, orangtua masih bisa membatasi penggunaan gawai oleh anak hanya untuk keperluan tertentu.
Tidak mudah bagi orangtua untuk menerapkannya dalam situasi sekarang sebab ruang gerak anak-anak terbatas karena tidak bisa bertemu dengan teman bermainnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, orangtua akan memberikan gawai sebagai hiburan kepada anaknya. Adapun keterbatasan ruang gerak dan rutinitas yang sama berpotensi menimbulkan ketegangan dan konflik yang berujung melakukan kekerasan seksual.
”Banyak orangtua yang merasa kewalahan untuk membatasi anak dalam mengakses internet lewat gawai. Di satu sisi, ada oknum yang memanfaatkan kecenderungan untuk melakukan kekerasan seksual lewat siber,” ucapnya dalam webinar Dialog Komnas Perempuan dengan Forum Pengada Layanan Jawa Barat.
Direktur SAPA Institute: Pusat Pendidikan, Informasi, dan Komunikasi Perempuan Sri Mulyati menyampaikan, ada kebijakan diskriminatif di Jawa Barat yang menjadi hambatan bagi korban untuk berani melaporkan kasus yang dialaminya. Kebijakan pembatasan jam malam dan cara berpakaian dapat membuat korban menjadi khawatir dirinya disalahkan oleh aparat penegak hukum, masyarakat, dan keluarga setelah bercerita.
Pertanyaan ”kenapa kamu perginya malam hari dan tidak ditemani orang lain” atau ”kenapa cara berpakaianmu seperti itu” seolah menyudutkan korban. ”Tanpa disadari kebijakan diskriminatif ini berdampak pada terhambatnya layanan bagi korban. Mereka khawatir ketika melaporkan kasus yang dialaminya akan dianggap menjadi pemicu kekerasan,” katanya.
Selama pandemi, mayoritas korban yang mengalami kekerasan seksual berbasis siber adalah anak-anak. Banyak korban datang ke lembaga layanan untuk berbagi cerita sendirian tanpa mengajak keluarganya. Sebab, mereka tidak ingin keluarga mengetahui kekerasan seksual yang dialami. Padahal, tanpa wali dari keluarga, korban tidak bisa mengadukan kasusnya ke aparat penegak hukum.
”Ketika korban mau membawa kasus kekerasan seksual berbasis siber ke jenjang lebih tinggi, mereka rentan mengalami kriminalisasi. Mereka disudutkan karena dianggap menyimpan konten pornografi,” ucap Sri.
Sri menilai, belum adanya payung hukum membuat korban rentan dikriminalisasi karena aturan lain yang berlaku. Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak disahkan segera, belum ada aturan hukum yang bisa memastikan korban kekerasan seksual berbasis siber tidak dijerat aturan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Ketika korban mau membawa kasus kekerasan seksual berbasi siber ke jenjang lebih tinggi, mereka rentan mengalami kriminalisasi.
Layanan pendampingan untuk korban kekerasan seksual dinilai belum maksimal pada situasi normal. Terlebih saat pandemi, beberapa layanan publik dibatasi jumlah dan jam operasionalnya. Kendala lainnya, tidak semua layanan bisa diberikan melalui daring dan tingkat risiko terpapar Covid-19 sangat tinggi bagi para pendamping.