Rapuhnya Tembok Pertahanan ”Jogo Tonggo” di Jawa Tengah
”Jogo Tonggo” yang digulirkan Pemprov Jawa Tengah mengajak warga untuk saling menjaga tetangga dari ancaman Covid-19. Adapun pelaksanaannya belum optimal. Hal itu berdampak pada penularan di Jateng yang semakin masif.
”Jogo Tonggo” atau menjaga tetangga diusung Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sejak April 2020 guna membangun kesadaran warga dalam mencegah penularan Covid-19 dari tingkat terbawah. Delapan bulan berlalu, tembok pertahanan Jogo Tonggo mulai rapuh, kasus terus meningkat.
Sebagai program, Jogo Tonggo diterapkan lewat satgas yang dibentuk di tingkat rukun warga. Sebagai konsep, Jogo Tonggo diandalkan agar tumbuh kesadaran warga dari tingkat terbawah. Melihat karakteristik warga, pendekatan ini dinilai lebih tepat ketimbang pembatasan sosial berskala besar.
Meski demikian, pelaksanaannya penuh tantangan. Mulai meningkatnya mobilitas warga, tumbuhnya geliat ekonomi, serta dinamika sosial budaya kemasyarakatan membuat semua serba melonggar. Kurangnya pemahaman warga akan Covid-19 kian memperburuk situasi. Dianggap aib, banyak warga takut dites.
”Kalau di kota masih banyak pakai masker dan cuci tangan. (Protokol kesehatan) Di kegiatan-kegiatan juga relatif ketat. Namun, di desa-desa sudah jarang yang memakai masker dan menjaga jarak. Mereka beralasan tak percaya adanya Covid-19,” kata Intan (26), warga Grobogan, Jateng, Minggu (6/12/2020).
Beberapa bulan terakhir, lanjut Intan, warga tetap menggelar hajatan selama sedang tak ada kasus di wilayahnya. Namun, saat ada kasus aktif di satu desa, biasanya gelaran hajatan tak diperbolehkan. Pengawasan dan operasi yustisi oleh aparat berjalan. Namun, itu belum membuat warga jera.
Baca juga: Kabupaten/Kota di Jateng Diminta Sediakan Tempat Isolasi Terpusat
Erwin Abdillah (33), warga Kabupaten Wonosobo, menuturkan hal serupa. Meski sebagian warga disiplin memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kontak, sebagian lagi tak mengindahkan hal itu. Penerapan protokol kesehatan, seperti di tempat usaha dan perbelanjaan, kurang. Peningkatan aktivitas, seperti masuk-keluar kota, diduga turut memicu hal itu.
”Juga aktivitas warga di tempat makan atau restoran. Pengawasan dan pemberlakuan batas jam buka usaha memang ada, tetapi mungkin perlu ditingkatkan. Mesti ada pendampingan pada pemilik-pemilik usaha,” katanya.
Longgarnya penerapan protokol kesehatan pun terjadi di Desa Blerong, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Bulan-bulan awal Covid-19 merebak di Indonesia, warga merespons dengan serius dan disiplin dalam menjaga jarak. Namun, ada kecenderungan warga jenuh sehingga merasa tak perlu lagi disiplin. Pada saat yang sama, warga enggan mendatangi pusat layanan kesehatan, seperti rumah sakit, karena takut dites cepat Covid-19.
”Saat mau berobat ke rumah sakit atau puskesmas, warga jadi berpikir dua kali. Akhirnya, mereka ke layanan kesehatan seperti klinik kecil atau ke bidan. Saat kondisi sudah buruk baru ke rumah sakit,” ujar Sekretaris Desa Blerong Zainal Arifin.
Khawatir akan ledakan kasus, Pemerintah Desa Blerong tetap berupaya menggencarkan sosialisasi, termasuk bahaya akan Covid-19. Bukan hal mudah untuk meyakinkan warga. Karena itu, tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat pun digandeng untuk ikut serta dalam memberi pemahaman kepada warga.
Ini sebenarnya konsep bagus. Namun, apa semua sudah lakukan? Belum. Di Jateng, total ada sekitar 45.000 RW dan belum semua bisa. Maka, ini harus terus kami perbaiki dan tingkatkan.
Kepala Dinas Kesehatan Jateng Yulianto Prabowo mengakui Jogo Tonggo belum optimal. ”Ini sebenarnya konsep bagus. Namun, apa semua sudah lakukan? Belum. Di Jateng, total ada sekitar 45.000 RW dan belum semua bisa. Maka, ini harus terus kami perbaiki dan tingkatkan,” ujar Yulianto.
Lonjakan
Merapuhnya pertahanan Jogo Tonggo berdampak pada masifnya penularan di sejumlah daerah. Peningkatan kasus signifikan terjadi setelah libur panjang akhir Oktober 2020.
Jateng pun sempat menjadi sorotan setelah Satgas Penanganan Covid-19 pusat mengumumkan ada penambahan 2.036 kasus dalam sehari pada Minggu (29/11/2020). Dari penelusuran Pemprov Jateng, diketahui ternyata ada data masuk yang tertunda dan ratusan data ganda yang dihimpun pusat.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, pihaknya terus berupaya menyinkronkan data dengan Satgas Penanganan Covid-19 pusat. ”Bagian data dinkes selalu berkomunikasi dengan pengelola data di Kementerian Kesehatan dan satgas agar rilis data tidak berbeda terlalu banyak,” ujarnya, Senin (30/11/2020).
Namun, terlepas dari masalah itu, data corona.jatengprov.go.id sendiri menunjukkan adanya lonjakan kasus. Pada periode 1 Oktober-30 November 2020, tercatat penambahan 33.098 kasus positif dengan kasus kumulatif 55.803 kasus. Artinya, separuh lebih angka kumulatif disumbang dalam dua bulan saja.
”Kami tidak memungkiri, memang ada kenaikan,” jelas Ganjar.
Pemprov Jateng pun terus memantau ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, baik ruang isolasi maupun perawatan intensif (ICU). Per Jumat (4/12/2020), jumlah tempat tidur ruang isolasi rumah sakit yang terisi adalah 5.044 unit dari 6.515 unit (77,4 persen), sementara tempat tidur ICU terisi 290 unit dari 488 unit (59,4 persen).
Baca juga: Skenario Jateng Saat Tempat Tidur Isolasi RS Terisi 76 Persen Pasien Korona
Menurut laman corona.jatengprov.go.id yang dimutakhir pada Jumat (4/12/2020) pukul 12.00, terdapat 60.867 kasus positif kumulatif dengan rincian 9.377 orang dirawat, 47.561 orang sembuh, dan 3.929 orang meninggal. Sementara menurut laman informasi dan akun media sosial Covid-19 setiap kabupaten/kota, hingga Minggu (6/12/2020) siang tercatat ada 14 kabupaten/kota di Jateng dengan kasus aktif (dirawat/isolasi) di atas 500 kasus.
Kami tidak memungkiri, memang ada kenaikan.
Daerah itu meliputi Wonosobo (1.443), Kota Surakarta (1.111, per 5/12/2020), Kabupaten Magelang (1.065, per 5/12), Kabupaten Semarang (1.010, per 5/12), Purbalingga (834, per 3/12), Kota Semarang (790), Brebes (738, per 3/12), Banyumas (733, per 5/12), Cilacap (641), Boyolali (599 per 5/12), Temanggung (597, per 5/12), Kendal (590, per 5/12), Kebumen (576), dan Jepara (524, per 5/12).
Kendati ketersediaan tempat tidur ruang isolasi RS di Jateng masih di atas 20 persen, kondisi itu tak merata. Sejumlah RS di daerah dengan kasus aktif tinggi kewalahan menampung pasien Covid-19. Beberapa di antaranya Wonosobo, Kota Surakarta, dan sebagian Kota Semarang.
Adapun Wonosobo memiliki total 167 tempat tidur bagi pasien Covid-19 di tiga rumah sakit, yakni RSUD KRT Setjonegoro, RS PKU Muhammadiyah, dan RS Islam Wonosobo. ”Kapasitas RS tak bertambah. Posisi penuh. Rumah karantina kami arahkan per instansi mandiri,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Wonosobo Jaelan Sulat, Sabtu (5/11/2020).
Direktur Utama Rumah Sakit Nasional Diponegoro, Kota Semarang, Sutopo Patria Jati, Selasa (1/12/2020), menyebutkan, kondisi di tempatnya relatif penuh. ”(Pasien) Keluar-masuk. Memang ada peningkatan. Kami membutuhkan SDM, terutama perawat. Kebutuhan itu dicarikan solusi oleh Pak Gubernur,” kata Sutopo.
Ganjar menuturkan, kondisi keterisian RS di Jateng saat ini, terutama untuk ICU, sudah menjadi peringatan. Penambahan kapasitas disiapkan. Di samping itu, kabupaten/kota diminta memiliki tempat isolasi terpusat bagi pasien Covid-19 tanpa gejala. Dengan demikian, rumah sakit dapat lebih banyak menampung pasien Covid-19 yang disertai gejala.
Kapasitas rumah sakit tak bertambah. Posisi penuh. Rumah karantina kami arahkan per instansi mandiri.
Salah satu yang telah disiapkan adalah Asrama Haji Donohudan di Boyolali untuk wilayah Solo Raya. Sementara di Banyumas, kata Ganjar, bupati setempat telah meminjam tempat milik Pemprov Jateng serta menyiapkan hotel untuk dijadikan tempat isolasi terpusat.
Baca juga: Penularan Covid-19 Masif, Jateng Gencarkan Tes dan Pelacakan
Penularan masif
Peningkatan jumlah kasus Covid-19 di Jateng, menurut Yulianto, tak terlepas dari peningkatan upaya tes dan pelacakan kontak erat pasien Covid-19. Pekan ke-48 atau pekan terakhir November 2020, misalnya, dilakukan tes PCR pada 70.053 sampel dan diklaim melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Gencarnya tes dan pelacakan pada kontak erat pasien-pasien Covid-19 menjadi hal positif. Namun, di sisi lain, dengan banyak ditemukan kasus, artinya penularan virus korona jenis baru di daerah-daerah kian masif. Terlebih, mobilitas warga, bahkan antardaerah, meningkat.
Jaelan Sulat menjelaskan, lonjakan kasus di Wonosobo karena adanya upaya tes dan pelacakan. ”Namun, substansinya bukan di situ. Jumlah kasus yang tinggi di tempat kami, juga di tempat lain, jelas disebabkan proses penularan yang berlangsung masif di tengah masyarakat,” ujarnya.
Gencarnya tes dan pelacakan pada kontak erat pasien-pasien Covid-19 menjadi hal positif. Namun, di sisi lain, dengan banyak ditemukan kasus, artinya penularan virus korona jenis baru di daerah-daerah kian masif. Terlebih, mobilitas warga, bahkan antardaerah, meningkat.
Menurut Jaelan, perlu ada langkah bersama dan terpusat dalam pengendalian Covid-19. Apabila kabupaten/kota mengambil kebijakan sendiri-sendiri dan warga masih bergerak bebas atau berpindah dari satu daerah ke daerah lain tanpa ada pembatasan, kasus sulit terkendali.
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Ari Natalia Probandari juga menyoroti adanya penanganan Covid-19 secara soliter di antara kabupaten/kota. Padahal, dengan peningkatan mobilitas orang, penularan virus tersebut masih akan terus terjadi.
Misalnya, Solo tak membuka tempat publik, tetapi daerah sekitarnya buka, maka orang-orang akan ke daerah itu. Ini perlu komunikasi dan gerakan bersama. Memang ada sistem desentralisasi, tetapi dalam situasi ini perlu ada koordinasi. ”Saya berharap provinsi yang memegang betul fungsi ini,” tutur Ari.
Menurut epidemiolog Universitas Diponegoro, Semarang, Ari Udijono, kedisiplinan masyarakat, termasuk di Jateng, sudah mulai memudar. Tanpa ada kedisiplinan, termasuk di tingkat terkecil dalam masyarakat, kluster keluarga berpotensi akan terus muncul. Kluster keluarga merupakan kluster dengan jumlah terbanyak di Jateng.
Dalam hal ini, kepemimpinan, dari kepala daerah hingga tingkat RW, RT, bahkan keluarga, memegang peran penting dalam menekan laju penambahan kasus. Selain itu, perlu lebih banyak edukasi dari para penyintas Covid-19 yang sudah sembuh kepada masyarakat agar kesadaran akan bahaya Covid-19 tumbuh.
Sesuai artinya, menjaga tetangga, Jogo Tonggo benar-benar perlu diterapkan, bukan sekadar slogan. Kesadaran menjaga diri dan orang-orang sekitar perlu dibangkitkan. Upaya serius pun dibutuhkan, dimulai dari pemimpin yang memberi teladan penerapan protokol kesehatan.