Konflik Zona Tangkap di Natuna, Nelayan Tradisional dan Cantrang Sama-sama Dirugikan
Konflik antarnelayan di perairan Natuna yang terjadi sejak awal 2020 adalah imbas ketidaktegasan pemerintah mengatur penggunaan alat tangkap.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, menangkap satu kapal cantrang asal Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, karena dianggap melanggar zona tangkap. Konflik antarnelayan di perairan Natuna terjadi sejak awal 2020. Penyebabnya adalah ketidaktegasan pemerintah mengatur penggunaan alat tangkap.
Salah satu nelayan di Pulau Serasan, Muhammad Sandi (31), Minggu (6/12/2020), mengatakan, kapal cantrang asal Juwana itu ditangkap pada 4 Desember 2020. Satu hari kemudian, kapal itu dilepas setelah pemiliknya bersedia membayar ganti rugi Rp 60 juta.
”Sudah berminggu-minggu kapal itu menangkap ikan di perairan yang jaraknya hanya 8 mil dari garis pantai Pulau Kepala, Kecamatan Serasan. Warga banyak yang resah karena cantrang mereka bikin rumpon kami rusak,” kata Sandi saat dihubungi melalui telepon dari Batam.
Pergerakan kapal cantrang asal Pati di zona kurang dari 12 mil dari garis pantai pulau-pulau di Kecamatan Serasan itu sebelumnya juga terpantau pada 20 Juli 2020. Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri khawatir hadirnya puluhan kapal cantrang itu cepat atau lambat akan menimbulkan konflik yang berujung pada tindak kekerasan.
Selain itu, Hendri juga khawatir maraknya aktivitas kapal cantrang di perairan kurang dari 12 mil itu akan membuat tangkapan nelayan tradisional di Natuna berkurang. Ia meminta pemerintah segera menindak tegas kapal cantrang yang melanggar zona tangkap.
Secara terpisah, Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto mengonfirmasi, kapal cantrang yang ditangkap di dekat Pulau Kepala itu merupakan kapal dari Pati. Menurut Heri, penangkapan itu bermula dari adanya kesalahpahaman antara nelayan cantrang dari Pati dan nelayan lokal Natuna.
Heri mengatakan, saat penangkapan terjadi, enam kapal cantrang dari Pati dan satu kapal penampung milik sedang berlindung dekat pulau. Satu dari enam kapal itu milik Heri. Menurut dia, kapal-kapal yang sudah sebulan terakhir mencari ikan di perairan Natuna itu memutuskan untuk mendekat ke pulau karena cuaca buruk.
”Di tengah laut anginnya kencang, ombaknya juga cukup tinggi, sekitar 7 meter. Tujuan kami merapat tidak untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan sama sekali, tetapi murni hanya berlindung, mencari keselamatan,” kata Heri saat dihubungi.
Ketika sedang berlindung, sejumlah nelayan dari Natuna menghampiri mereka dan menuduh mereka merusak rumpon. Karena ketakutan, enam kapal lain melarikan diri. Sejumlah orang yang berada di satu kapal yang tetap bertahan diminta untuk menyelesaikan persoalan di darat. Dalam mediasi itu, mereka didampingi oleh TNI dan Polri.
”Awalnya, para nelayan lokal meminta kami membayar Rp 300 juta. Karena tidak punya uang, kami nego sampai akhirnya turun menjadi Rp 60 juta,” ucap Heri.
Heri merasa dirugikan dalam peristiwa ini. Ia berharap agar ke depan aparat keamanan hadir menjaga mereka agar konflik serupa tidak terulang.
”Kami ini ke Natuna, kan, karena tugas negara, menjaga laut. Harusnya, kami dilindungi dong biar ada perasaan aman. Kami juga ingin seperti nelayan-nelayan negara lain yang kalau melakukan aktivitas perikanan dijaga oleh aparat keamanan mereka,” imbuhnya.
Beroperasinya kapal cantrang dari pantai utara Jawa di perairan Natuna bermula pada Februari 2020. Saat itu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memobilisasi ratusan kapal cantrang dari pantura Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam Salman Mokoginta menyatakan akan memperbanyak patroli pengawasan agar kapal cantrang dari pantura Jawa tidak beroperasi di perairan yang kurang dari 12 mil.
”Kami juga sudah koordinasi dengan Kepala Stasiun PSDKP Cilacap agar sebelum kapal cantrang melakukan penangkapan ikan di Laut Natuna, para nakhoda diberikan sosialisasi dan pemahaman terkait dengan jalur penangkapan mereka,” kata Salman.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI disebutkan, alat tangkap cantrang dilarang beroperasi untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Namun, kini, penggunaan cantrang kembali diizinkan karena Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang merevisi 18 peraturan di lingkup sektor perikanan tangkap yang dinilai menghambat dunia usaha. Revisi itu disebut perlu untuk mendorong investasi.
”Terkait hal itu, sebenarnya pemerintah melanggar hukum karena memberikan izin yang bertolak belakang dengan peraturan yang masih berlaku,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim.
Pada 25 November lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijadikan tersangka kasus suap perizinan budidaya lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Abdul menyarankan agar momentum ini dipakai pemerintah untuk melakukan koreksi total atas kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan selama satu tahun terakhir.
”Imbas dari ketidakpastian hukum akibat langkah pemerintah itu akhirnya berujung pada konflik antarnelayan. Dalam konflik zona tangkap seperti di Natuna, baik nelayan tradisional maupun nelayan cantrang sama-sama mengalami kerugian yang tidak sedikit,” ujar Abdul.