Mengembalikan Jember pada Jalur Kesejahteraan
Jember termasyur dengan hasil perkebunannya. Namun kesejahteraan rakyatnya kerap berada di bawah daerah lain di sekelilingnya. Para calon kepala daerah diharap bisa membawa lagi Jember sejahtera.
Sejak zaman Belanda, Kabupaten Jember dirancang sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di daerah ekskaresidenan Besuki. Namun, seiring dengan berjalannya waktu pertumbuhan ekonomi Jember justru kerap berada di bawah daerah lain di ekskarisidenan Besuki.
Di tahun 1800 Karisidenan Besuki (kini Jember, Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso) sengaja dijadikan lumbung tebu dan kopi untuk memenuhi kebutuhan gula dan kopi untuk pasar Eropa. Sebagai kota pelabuhan, Besuki layak menjadi pusat pemerintahan lengkap dengan kantor residen. Namun, geliat perkebunan kopi, membuat pemerintahan Belanda memindahkan kantor residen dari Besuki ke Bondowoso.
Sekitar tahun 1880 kejayaan kopi mulai meredup. Berbagai hal menjadi penyebabnya. Dalam suatu kesempatan wawancara, Prof Nawiyanto Guru Besar Sejarah Ekonomi dan Lingkungan Universitas Jember menyebut, munculnya tembakau sebagai komoditas baru yang menawarkan kesejahteraan baru selain dari kopi dan tebu.
Munculnya tembakau sebagai komoditas baru terjadi pada tahun 1859, saat George Birnie dan Gerhard David Birnie merintis berdirinya perkebunan swasta pertama dengan komoditas tanam tembakau. Bersamaan dengan munculnya perkebunan swasta, tembakau sebagai komoditas baru terus mencuri perhatian.
Baca Juga: Harumnya Wisata Edukasi Tembakau Jember
Lambat laun pasar kopi kalah dengan pasar tembakau. Dampaknya, Jember sebagai lumbung tembakau menjadi lebih ramai dan berkembang dibanding Bondowoso yang masyur dengan kopinya dan Situbondo sebagai penghasil tebu.
“Jember semakin menjadi daerah yang ramai karena ada migrasi pekerja perkebunan dari Bondowoso. Pada awal abad 20, kebun kopi di sentra kopi wringin tak lagi dapat ditanami kopi. Hal ini mamaksa para pekerja perkebunan bermigrasi ke Jember,” ungkap Nawiyanto.
Sejak itu, Jember menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di karesidenan Besuki. Jejaknya masih tampak dari kantor-kantor strategis yang masih berfungsi saat ini. Lihat saja Bank Indonesia dan PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasional 9 yang memilih berkantor di Jember.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Jember seolah justru tertinggal dari beberapa daerah di ekskaresidenan Besuki (Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi). Data BPS dalam 10 tahun terakhir, pun menunjukkan hal beberapa ketertinggalan Jember bila dibandingkan dengan daerah sekitar.
Baca Juga: Edamame Asal Jember Kuasai 7,5 Persen Pasar Dunia
Salah satu indikator ketertinggalan tampak dari Indeks Pertumbuhan Manusia yang mengukur sejauh mana masyarakat dapat mengakses hasil pembangunan untuk memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Hal itu tampak dari data BPS sejak tahun 2010 hingga 2018.
Sejak tahun 2010 IPM Jember selalu berada di bawah Banyuwangi dan Situbondo dan juga kerap berada di bawah Bondowoso. Hanya di tahun 2010, 2011, 2017 dan 2018, IPM Jember unggul bila dibandingkan dengan Bondowoso.
Pun demikian dengan laju pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 2011 hingga 2019, hanya di tahun 2014, Pertumbuhan ekonomi Jember unggul bila dibandingkan dengan Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. Selebihnya, pertumbuhan ekonomi Jember kerap kalah saing bila dibandingkan Banyuwangi.
Pilkada Jember 2020 menyuguhkan tiga pasangan calon Faida-Dwi Arya Nugraha Oktavianto, Hendy Siswanto-Muhammad Balya Firjaun Barlaman, dan Abdus Salam-Ifan Ariadna. Ketiganya diharapkan mampu mengembalikan kejayaan Jember sebagai kota penting di Timur Jawa.
Baca Juga: Presiden Kukuhkan Jember Kota Karnaval
Calon Petahana Faida sebenarnya sudah memiliki kesempatan dalam 5 tahun terakhir untuk mengembalikan kejayaan Jember. Namun, upayanya bersama KH Abdul Muqit Arief belum optimal. Kini Faida menggandeng Dwi Arya Nugraha Oktavianto berbekal 146.687 dukungan untuk jalur persorangan.
Dari visi-misi yang ia sampaikan dalam debat calon Bupati, Faida menyebut bahwa pembangunan di Jember dapat dilakukan dengan membangun sumber daya manusianya. Ia juga menyinggung bahwa upaya membangun Jember dilakukan dengan usaha penurunan angka kemiskinan.
“Harus diakui, pembangunan Jember membutuhkan pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, bila terpilih kami akan fokus pada memperluas lapangan kerja, menaikan pendapatan warga, memperbaiki perekonomian keluarga, penyediaan yang terjangkau dan menuntaskan pembangunan infrastruktur,” ujar Faida.
Adapun beberapa program yang disiapkan oleh pasangan Faida-Vian antara lain, 1 desa 1 lumbung tani, membangun pasar tani dan nelayan yang terintegrasi. Keduanya juga menjanjikan bantuan permodalan bagi 10.000 UMKM dan pendampingan usaha bagi warung-warung.
Baca Juga: Pesta Kemenangan Kreativitas Jalanan di Jember Fashion Carnaval
Gagasan berbeda disampaikan Calon Bupati Nomor urut 2 Hendy Siswanto yang berpasangan dengan M Balya Fijraun Barlaman dengan dukungan Partai Gerinda, Nasdem, PKS, PPP, dan Demokrat. Menurut Hendy, terhambatnya pembangunan di Jember saat ini karena tata kelola pemerintahan yang tidak baik.
“Potensi Jember yang luar biasa ini tidak bisa dikelola dengan baik karena, legislatif dan eksekutif tidak harmonis. Program dan kebijakan pemerintah pusat juga tidak bisa disinergiskan dengan kebijakan daerah,” tuturnya.
Kondisi tersebut lanjut Hendy, membuat layanan publik rendah dan pembangunan terhambat. Oleh karena itu Hendy ingin menawarkan gagasan untuk mengembalikan hak masyarakat Jember.
Menurut Hendy, hal itu dapat diwujudkan dengan tiga langkah, sinergi, kolaborasi, dan akselerasi. Sinergi dilakukan dengan pelibatan para pengampu kebijakan ketika hendak mengambil sebuah keputusan.
Sedangkan kolaborasi ialah melibatkan masyarakat agar pusaran ekonomi kembali berpusat di Jember. Sedangkan upaya akselarisi perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan Jember dari daerah lain di sekitarnya.
“Kami optimistis mampu mengembalikan Jember sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan di ekskaresidenan Besuki. Selama ini Jember kehilangan taji karena tidak ada yang menarik di Jember, perizinan susah dan banyak pengangguran,” ungkapnya.
Baca Juga: Alarm Dari Pertokoan Jompo Di Jember
Gagasan lainnya disampaikan Calon Bupati Abdus Salam yang berpasangan dengan Ifan Ariadna dengan dukungan PDI Perjuangan, PKB, PAN, Perindo, Golkar dan Berkarya. Karut marutnya birokrasi Jember serta perekonomian yang tidak tumbuh menjadi alasan pasangan calon ini terpanggil untuk bertindak bagi Jember.
“Banyak hal yang harus dibenahi. Salah satunya birokrasi. Kalau birokrasi tidak dijalankan dengan baik, ini akan berdampak pada sektor-sektor lainnya. Kami ingin melibatkan semua pihak untuk membangun Jember. Karena itu, visi kami ialah Gotong Royong Membangun Jember,” tutur Salam.
Salam mengatakan, pihaknya ingin menjadikan Jember kembali bermartabat dan berdaulat di bidang pangan. Jember memang memiliki potensi besar di bidang pertanian. Data BPS Jawa Timur tahun 2017 menunjukkan luas lahan persawahan di Jember mencapai 86.098 hektar, tertinggi kedua se-Jawa Timur setelah Lamongan.
Sayangnya, sektor pertanian tak pernah dioptimalkan untuk mengangkat martabat Jember. Salam menilai, minimnya perhatian pemerintah daerah di sektor pertanian membuat para petani semakin tersisih seolah tidak mendapat perhatian. Akibatnya, banyak anak-anak petani enggan lagi menjadi petani.
“Kalau 5-10 tahun lagi, tidak ada petani di Jember, daerah ini akan semakin tertinggal dibanding daerah yang lain. Oleh karena itu, kami ingin menjamin ketersediaan pupuk dan stabilisasi harga untuk mengembalikan kejayaan petani Jember. Dari sektor pertanian inilah, martabat Jember akan kembali dibangkitkan,” ujar Salam.
Selain pertanian, Salam juga menilai sektor UMKM, utamakanya kerajinan kriya sebagai salah satu potensi yang perlu mendapat perhatian. Ia optimistis, UMKM bisa memberi kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian Jember.
Baca Juga: Indonesia dalam Sepetak Kebun
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Rahmat Hidayat memiliki presepsi yang lebih luas tentang apa yang terjadi di Jember. Menurutnya, apa yang terjadi di Jember ialah, kegagalan memanfaatkan potensi dan momentum otonomi daerah.
Undang Undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku pada 1 Januari 2000 menjadi awal mula desentralisasi atau otonomi daerah. Undang Undang ini sebenarnya memberi ruang bagi para pemimpin daerah untuk memajukan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah terebut.
“Jember adalah salah satu contoh kegagalan desentralisasi. Jember gagal memanfaatkan potensi otonomi daerah untuk memacu kesejahteraan daerah dan masyarakatnya. Sejak berlakunya desentralisasi sampai saat ini belum ada kepemimpinan yang berhasil melahirkan gebrakan untuk memajukan Jember,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Rahmat berharap Bupati Jember yang akan datang ialah sosok yang mampu melihat prioritas pembangunan Jember. Saat ini Jember membutuhkan sosok yang mengerti bagaiamana dan ke mana arah Jember ke depan.
Jember adalah salah satu contoh kegagalan desentralisasi. Jember gagal memanfaatkan potensi otonomi daerah untuk memacu kesejahteraan daerah dan masyarakatnya (Rahmat Hidayat)
“Kuncinya ialah paham akan potensi Jember. Selanjutnya ia harus mampu menggandeng masyarakat sipil, swasta dan pemerintahan untuk berjalan beriringan,” ujarnya.
Kesejahteraan Jember sebenarnya tidak hanya bertumpu pada 3 pasangan calon Bupati Jember. Justru 1.825.386 pemilih dalam Pilkada Jember yang punya peran penting menentukan pemimpin seperti apa yang dirasa mampu membawa Jember kembali ke jalur kesejahteraan.