Menghadapi bencana erupsi, warga di lereng Gunung Merapi memilih tunduk kepada alam yang perkasa sembari merapal doa. Semoga gemuruh kawah bukan hanya membawa musibah, melainkan juga berkah melimpah dari Sang Pencipta.
Oleh
KRISTI UTAMI/PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Munculnya penanda bencanatak membuat warga lereng Gunung Merapi histeris ketakutan. Mereka tunduk pada keperkasaan alam sembari merapal doa, semoga gemuruh kawah tak hanya membawa musibah, tapi juga berkah melimpah.
Kabut tipis mengambang menjelang petang di Dusun Trono, kampung teratas di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Berbalut dingin angin gunung, rintik hujan dan gemuruh guntur membuat suasana dusun berjarak 4,5 kilometer dari puncak Merapi ini kian mencekam.
Di sebuah pos ronda, tujuh laki-laki berselimut sarung duduk berdesakan menghadap timur. Pandangan mata mereka tertuju ke puncak Merapi yang samar berpayung mendung. Di malam Jumat Kliwon itu, setiap petir menyambar, Merapi tampak sekilas sebagai bayangan hitam pekat di langit gelap.
”Dulu tahun 2010, Merapi meletus paling besar waktu malam Jumat seperti sekarang. Tetapi, sepertinya malam ini aman saja, kok, karena belum ada tanda-tanda. Buktinya dari tadi gunungnya belum gemludug (bergemuruh),” kata Tukijan (52), warga Dusun Trono, Kamis (19/11/2020).
Malam itu, Tukijan dan enam laki-laki lain sedang mendapat giliran ronda. Sejak status Merapi ditingkatkan menjadi Siaga (Level III) pada 5 November, warga Dusun Trono menambah titik ronda malam, dari tadinya satu lokasi menjadi tiga lokasi.
Mereka berbincang banyak hal. Salah satunya soal kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang turun ke permukiman. Kebanyakan warga dusun lain menganggap itu pertanda erupsi sudah dekat.
Namun, menurut warga Dusun Trono, turunnya kawanan monyet ke permukiman tidak selalu bisa dijadikan penanda erupsi sudah dekat. ”Lha, kalau monyet itu memang kerjanya cari makan, naik turun gunung seperti kami ini,” ucap Tukijan berkelakar.
Hanya sebentar setelah tawa Tukijan reda, dua walkie-talkie di pos ronda mengeluarkan bunyi panjang meliuk-liuk mirip suara teko saat air mendidih. Sekejap, tujuh orang yang berjaga memicingkan mata dan memasang telinga.
Saat itu, Jumat (20/11/2020) sekitar pukul 00.29, hujan baru reda. Dari puncak Merapi, terdengar gemuruh seperti suara batu-batu besar berjatuhan menggelinding ke jurang yang dalam.
”Nah, to, mbah buyute njur nglilir (Merapi terjaga). Makanya jangan dirasani (dibicarakan),” ujar Lik Sri kepada para pria yang berjaga di pos ronda. ”Ssst, menengo to (diam dulu) Lik,” balas para bapak serempak.
Lik Sri, perempuan paruh baya itu, tak memedulikan protes para bapak yang jengkel. ”Nek Merapi erupsi itu tandanya Tuhan memperingatkan manusia untuk memperbanyak perbuatan baik,” lanjutnya dalam bahasa Jawa.
Lik Sri adalah warga Dusun Trono yang terkenal karena keunikannya. Tengah malam itu, ia memakai terusan biru dipadu kerudung kuning. Bermacam gelang melingkar di tangan kiri dan kanan. Ia juga tetap berlindung di bawah payung ungu sekalipun hujan sudah beberapa lama reda.
”Orang-orang bilang saya ini pethuk, error, (dan) stres. Yang tahu itu hanya Allah yang menciptakan saya,” ujarnya enteng sambil menenteng pemutar musik portabel yang terus-terusan berbunyi low battery, please charge.
Meski begitu, kehadiran Lik Sri membuat pos ronda lebih hangat. Ia mengubah malam yang sunyi menjadi riuh. Bapak-bapak yang sebelumnya hampir terlelap dimangsa kantuk mendadak terjaga dan bisa bertahan hingga matahari terbit berkat ocehan Lik Sri yang lebih ”mengganggu” dari gemuruh Merapi.
Dusun Trono kini dihuni 347 jiwa. Kampung itu satu dari sembilan dusun di Kecamatan Dukun, Magelang, yang telah diimbau pemerintah untuk mengungsikan lansia, ibu hamil, dan anak balita. Sejak 6 November, 24 kaum rentan telah mengungsi ke tempat aman. Yang lain, termasuk Tukijan, masih bertahan sambil tetap waspada memantau aktivitas Merapi.
Pengalaman menghadapi beberapa kali erupsi membuat warga Dusun Trono menghapal tanda-tanda alam. Menurut Tukijan, sesaat sebelum Merapi erupsi, biasanya akan ada kawanan burung gagak yang melintas di langit kampung-kampung teratas. Selain itu, juga akan ada gempa yang mengguncang selama tiga hari berturut-turut.
”Merapi itu gempanya khas, guncangannya ngulon-ngetan (barat-timur). Beda dengan gempa yang asalnya dari laut, kalau itu guncangannya ngalor-ngidul (utara-selatan),” ucapnya.
Bagi kebanyakan warga di lereng Merapi, termasuk Dusun Trono, erupsi Merapi tidak dimaknai sebatas musibah, tetapi juga turunnya berkah dari Sang Pencipta.
Bagi kebanyakan warga di lereng Merapi, termasuk Dusun Trono, erupsi Merapi tidak dimaknai sebatas musibah, tetapi juga turunnya berkah dari Sang Pencipta. Di Dusun Trono, erupsi Merapi satu dekade lalu justru membuat lanskap perekonomian masyarakat meningkat.
”Pascaerupsi 2010, tanah menjadi lebih subur. Hasil pertaninan meningkat sekitar 20 persen dari sebelumnya,” kata Kepala Dusun Trono Sumini Adi. Hampir seluruh warga Dusun Trono merupakan petani sekaligus peternak. Biasanya, mereka menanam palawija dan sayur-mayur. Sementara ternak yang dipelihara, antara lain, sapi dan kambing.
Sumini yang akrab disapa Kendil itu mengatakan, sebelum erupsi Merapi 2010, petani cabai hanya mampu panen sebanyak enam kali dalam empat bulan. Setelah erupsi, mereka mampu panen hingga sembilan kali dalam empat bulan.
Tidak hanya tanah yang semakin subur, warga juga mendapatkan limpahan material seperti pasir dan batu dari erupsi Gunung Merapi. Material itu kemudian ditambang dan dijual warga sekitar.
”Sejak awal sudah ada perjanjian, yang boleh menambang batu dan pasir di Kali Senowo hanya warga Dusun Trono. Kalau ada warga dari luar yang ingin menambang, kami larang,” ujar Kendil.
Untuk menghindari konflik, Kendil membagi warga menjadi enam kelompok dan mengatur jadwal menambang. Satu kelompok terdiri dari 18-20 penambang dan hanya boleh menambang sekali dalam seminggu.
Satu kelompok rata-rata mampu menjual pasir hingga 15 truk per hari. Setiap satu truk menampung 6-8 meter kubik. Dari hasil penjualan pasir, setiap orang bisa membawa pulang uang Rp 150.000-Rp 200.000 per hari.
Kendil menggambarkan, kemajuan ekonomi warga bisa diukur dari jumlah kendaraan milik warga. ”Sebelum erupsi 2010, hanya ada dua mobil dan beberapa sepeda motor. Sekarang, hampir setiap rumah paling tidak memiliki dua sepeda motor. Sementara jumlah mobil bertambah menjadi lebih dari 30 unit,” imbuhnya.
Membaiknya perekonomian kampung pascaerupsi itu terdengar sampai ke telinga warga Dusun Trono di perantauan. Salah satunya Parno (27), yang sempat merantau di Kalimantan Timur. Ia pun akhirnya memilih pulang kampung dan tidak pernah ingin merantau lagi.
”Ternyata, cari uang di kampung lebih mudah. Selain itu, paling nyaman, ya, memang di kampung sendiri,” ucap Parno.
Seperti halnya Parno, warga Dusun Trono menghidupi prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, mereka berikhtiar mempertahankan tempat tinggalnya dalam kondisi apa pun.Merapi tetaplah rumah yang selalu dirindukan dalam kondisi baik ataupun buruk. Mereka percaya, Merapi tidak akan melahirkan musibah tanpa mengirim berkah.