”Maggot” Kian Berjaya, dari Pengurai Sampah sampai Penghasil ”Cuan”
”Maggot” yang merupakan larva lalat ”black soldier fly” atau BSF tidak hanya membantu mengurai sampah, tetapi juga bisa mendatangkan keuntungan. Sayangnya, budidaya BSF belum banyak dilirik orang.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Ajeng Ria (34) menemani anaknya, Kinanthi (9)—yang menempuh pendidikan homeschooling—mengamati maggot di rumahnya di Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Larva lalat tentara hitam (black soldier fly) itu keluar dari sisa-sisa makanan yang ada di rumah mereka.
Ajeng dan Kinanthi kemudian memilih membiarkan organisme pengurai sampah itu tumbuh sambil terus dilihat perkembangannya. ”Kami punya metode pendidikan studi alam. Konsepnya, kami langsung mengamati, salah satunya mengamati maggot,” ujarnya.
Sejauh ini Ajeng mengetahui fungsi maggot tak lebih merupakan belatung, mahluk detitrivor (pengurai) yang berada di bagian paling bawah dari rantai makanan. Itu pun dia tahu dari sukarelawan asing yang datang ke tempatnya.
Selama beberapa tahun terakhir, sebelum pandemi, Ajeng memang menyediakan penginapan cuma-cuma bagi para backpacker asing yang tengah berwisata ke Malang. Imbalannya, sang backpacker mengajarkan sesuatu kepada anak-anak di lingkungan setempat, seperti belajar bahasa asing.
” Setelah itu, saya baru tahu, maggot ternyata punya nilai ekonomis. Banyak teman saya bilang, maggot bisa dikembangbiakkan. Artinya, ia punya nilai lebih dari sekadar membantu pelestarian lingkungan,” ucapnya, awal November lalu.
Salah satu petani di Kabupaten Malang yang sudah mengembangbiakkan black soldier fly (BSF) adalah Basiri (47), warga Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran. Basiri memanfaatkan pekarangan rumahnya yang cukup luas untuk mengembangbiakkan larva—yang bagi sebagian orang menggelikan—di sela-sela pertanian hidroponik dan organik yang ia kembangkan sejak tahun 2014 lalu.
Basiri mulai budidaya BSF sejak awal pandemi Covid-19. Hasilnya lumayan, setiap minggu ia bisa memanen 50 kilogram (kg) maggot dari 12 kotak (biopon) yang ada. Maggot itu kemudian ia manfaatkan untuk pakan ikan.
Selain bertani, ia juga mengembangkan kolam, baik secara minapadi maupun di kolam hidroganik bertingkat. Yang dia pelihara bukan hanya ikan konsumsi, seperti lele dan nila, melainkan juga ikan hias, seperti koi.
Basiri mulai mengembangbiakkan maggot dengan cara membeli bibit kepada teman. ”Awalnya saya hanya beli 20 gram telur, lalu ditetaskan sendiri. Kalau sudah beranak pinak, kami tidak perlu lagi beli bibit. Tidak susah memijahkannya. Hanya membiarkan lalat BSF bertelur, kemudian kami tetaskan,” ujarnya.
Keberadaan maggot cukup membantu memenuhi kebutuhan pakan ikan di kolam milik Basiri. Jika sebelumnya dia harus membeli pakan ikan buatan pabrik, setelah membudidayakan maggot, ketergantungan terhadap pakan pabrikan bisa dikurangi. Dia juga mengembangkan azola, tanaman air, sebagai makanan tambahan untuk ikan.
”Kalau ikan sudah besar, dibutuhkan 100 kg maggot per minggu. Sekarang, saya baru bisa memproduksi sekitar 50 kg sehingga kekurangannya yang 50 kg masih harus saya beli dari orang lain,” tuturnya. Saat ini, harga maggot segar di Malang berkisar Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.
Di Kabupaten Malang baru ada beberapa orang yang mengembangkan serangga terbang ini. Padahal, jika dilihat, kandungan nutrisi dalam larva tersebut cukup banyak. Menurut laman Koloni BSF Indonesia, maggot, antara lain, mengandung 41-42 persen protein kasar, 4,18-5,1 persen kalsium, dan 31-35 persen ekstrak eter.
Salah satu warga Malang yang sudah berhasil mengembangbiakkan maggot adalah Farid Rahman (42). Farid memanfaatkan pekarangan di samping rumahnya di Desa Tambakasri, Kecamatan Tajinan, untuk beternak maggot. Hal itu dilakukan sejak dua tahun lalu.
Farid memanfaatkan kandang dengan luas 15 meter x 6 meter dengan jumlah bak biopon sebanyak 27 kotak. Setiap hari, pria lulusan sekolah menengah kejuruan itu bisa memanen sekitar 50 kg larva. Jika kondisi sedang optimal, dirinya bisa panen setiap hari dengan volume mencapai 50-70 kg per kotak.
”Awalnya saya ingin beternak bebek, lalu mencari pakan alternatif, ketemunya maggot. Bibit awal maggot saya beli dari Bogor melalui media sosial karena di Malang saat itu belum ada,” ujarnya, Kamis (12/11/2020).
Farid menjual maggot segar dengan harga Rp 6.000 per kg untuk pelanggan dan Rp 7.000 per kg untuk umum. Konsumennya adalah peternak ikan, penghobi burung berkicau, sampai mereka yang memiliki kegemaran memancing dan butuh umpan. Mereka tidak saja berasal dari Malang, tetapi juga luar daerah.
Farid mengatakan, tidak ada kesulitan memelihara maggot. Siklus hidup lalat BSF cukup singkat, hanya berkisar 30-35 hari, mulai dari telur sampai dewasa dan bertelur kembali. BSF juga lebih bersih dibandingkan lalat sampah yang pada umumnya menganggu karena hinggap di meja makan.
Pakan BSF cukup murah dan mudah diperoleh. Mereka makan sampah organik, baik sisa-sisa tumbuhan mapun hewan. Farid mendapatkan sampah tidak hanya dari rumah sendiri, tetapi juga rumah-rumah tetangga yang bersedia memberikan sampahnya secara cuma-cuma.
”Kendalanya paling hama, tikus. Selain itu, soal kontinuitas barang juga masih menjadi tantangan. Saya tidak pernah menyetok karena selalu habis dibeli konsumen,” ucapnya.
Sebulan terakhir, Farid bekerja sama dengan pihak desa setempat. Nantinya sampah-sampah organik yang ada di Desa Tambakasri akan diarahkan kepada Farid. Sejauh ini, pihak desa telah membantu mesin cacah dan membangun kandang.
Mentor Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Malang, Teguh Gunadi, mengatakan, potensi pengembangbiakan BSF masih sangat besar. Sejauh ini, produksi maggot masih jauh lebih kecil dibandingkan permintaan.
Kebutuhan maggot untuk Malang Raya diperkirakan mencapai 4 ton per hari. Sementara produksinya belum ada 1 persen. ”Malang ini strategis karena wilayahnya berada di tengah-tengah daerah peternakan. Ada Blitar sebagai penghasil koi, Lumajang juga sentra peternakan,” ujar Teguh.
Adapun Jawa Timur masih kalah start dibandingkan Jawa Barat yang telah memulai budidaya sejak 2016. Budidaya maggot di Jawa Barat sudah sampai kelas industri besar, sedangkan di Jawa Timur masih kelas menengah.
Kebutuhan maggot untuk Malang Raya diperkirakan mencapai 4 ton per hari. Sementara produksinya belum ada 1 persen.
Menurut Teguh, masih banyak orang yang belum berpikir soal pakan untuk ternak ikan dan hewan lain. Akibatnya, biaya yang mereka keluarkan untuk membeli pakan cukup besar. Padahal, dengan membudidayakan BSF, mereka bisa mendapatkan pakan yang lebih menguntungkan.
Maggot tidak hanya murah, tetapi juga berperan menjaga lingkungan. Hal itu yang mendorong Polbangtan mendampingi Farid dalam rangka meningkatkan kualitas produknya.