Kisah Warga Dusun Pencar yang Terpencar akibat Erupsi Gunung Merapi
Keluarga dia selamat semua. Namun, ternak-ternak di kandang mati karena hangus terbakar dan ”mlonyoh”. Tiga hari setelahnya, dia memberanikan diri untuk menengok rumah.
Oleh
Melati Mewangi
·3 menit baca
BOYOLALI, KOMPAS — Dahsyatnya erupsi Merapi pada 1954 pernah meluluhlantakkan sebuah dusun di Desa Klakah, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Kini, dusun berjarak sekitar 2 kilometer dari Gunung Merapi ini tak lagi menjadi permukiman warga. Meski tidak ada penanda fisik bekas medan lahar, trauma itu masih melekat kuat.
Dusun itu bernama Pencar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencar memiliki arti memencar, berpisah ke mana-mana (tidak berkumpul atau berkelompok). Dulunya, jarak satu rumah warga dengan lainnya memang tidak berdekatan atau berpencar. Saat ini, warga dusun juga sudah berpencar menuju desa lain tak jauh dari asalnya.
Ditemui di tempat pengungsian sementara Desa Jrakah, Sabtu (21/11/2020), Waginem (82) duduk bersama ketiga temannya. Sambil menatap ke arah ”Eyang” Merapi, dia kembali pada ingatan lawasnya tentang peristiwa mencekam pada Senin (18/1/1954) siang. Kala itu, dia masih berumur 16 tahun.
Rumah keluarganya masuk dalam Dusun Pencar yang berjarak sekitar 2 kilometer dari puncak Merapi. Tepat di belakang rumah berdinding anyaman bambu itu terdapat sebuah kandang yang dihuni tiga sapi dan tujuh kambing. Suatu pagi sebelum peristiwa erupsi, Waginem muda masih mencari rumput untuk pakan ternak di tanah lapang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Saat kembali ke rumah, langit mulai gelap dan berwarna keunguan. Suara gemuruh terus terdengar dan gerah dia rasakan di dalam rumah. Petir dan kilat bersaut-sautan dari atas. Hujan abu pun turun. Tak selang lama, dia segera berlari ke luar rumah menggandeng ketiga adiknya yang masih berusia balita.
Alih-alih membawa uang dan perhiasan, saking paniknya, sebungkus nasi bekal yang belum sempat disantap justru terbawa. Berkejaran dengan waktu, mereka berlari kencang menuju balai desa. Adiknya terus menangis dan ketakutan melihat awan panas dari kejauhan.
Keluarga dia selamat semua. Namun, ternak-ternak di kandang mati karena hangus terbakar dan mlonyoh. Tiga hari setelahnya, dia memberanikan diri menengok rumah. Ditemani petugas, dia mengikuti jejak yang dilalui mereka. Kepul asap dari dalam tanah masih menguap saat tongkat bambu ditusukkan ke dalam. Rumah itu tak berbekas, menjadi abu di atas tanah.
Dia juga kehilangan beberapa teman bermain yang meninggal karena erupsi itu. ”Saya takut betul kalau mengingat kejadian itu. Akhirnya, rumah keluarga pindah ke Desa Jrakah. Rumah lama menjadi lahan pertanian saja,” kenangnya, menggunakan bahasa jawa halus.
Sebuah jalan selebar lebih kurang 2,5 meter tak jauh dari Dusun Sumber, Desa Klakah, diyakini menjadi medan lahar erupsi Merapi tahun 1954. Namun, tidak ada monumen khusus yang menunjukkan peristiwa dahsyat itu pernah terjadi.
Di sisi kanan dan kiri jalan digunakan sebagai lahan pertanian dan area pemakaman. Beberapa pepunden atau makam tanpa nama juga tersebar di antara lahan pertanian. Berdasarkan catatan Kompas, ada sebanyak 60 warga Dusun Pencar yang meninggal karena awan panas dari Gunung Merapi tahun 1954.
Tinggal Menyebar
Ngatemin (91), warga Dusun Klakah Nduwur, turut menjadi korban dalam tragedi tersebut. Dia dan keluarganya berhasil meninggalkan rumah dan mengungsi ke balai desa. Akan tetapi, tak sedikit tetangganya yang tak sempat menyelamatkan diri. Mereka ditemukan hangus terbakar di dalam rumah dan sekitar jalan dusun.
Kepala Desa Klakah Marwoto mengatakan, warga yang sempat menyelamatkan diri menyebar tinggal di desa-desa sekitar. Yang tersisa dari dusun tersebut adalah makam-makam tua dan lahan pertanian yang sangat subur. Korban dan saksi sejarahnya sudah pada sepuh-sepuh, sebagian besar tinggal keturunan yang bermukim di desa-desa tetangga.
Peristiwa itu memberikan pelajaran bagi sebagian warga untuk tetap waspada dan mengikuti imbauan untuk mengungsi. Sebab, bencana erupsi Merapi sulit diprediksi kapan terjadi. Saat ini, beberapa pengungsi dari kelompok rentan memilih tidur di pengungsian sementara karena mengingat pengalaman erupsi sebelum-sebelumnya.