Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Ponorogo 2020 akan berlangsung pada 9 Desember 2020. Warga akan memilih kepala daerah yang mampu membangkitkan ekonomi kreatif sehingga perekonomian lokal pun menjadi lebih bergairah.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Ekonomi kreatif berbasis budaya berpotensi dikembangkan sebagai tumpuan masa depan masyarakat di kota reog, Ponorogo, Jawa Timur. Namun, butuh strategi jitu menangkap peluang tersebut. Hal itu menjadi tantangan calon kepala daerah yang tengah berkontestasi dalam Pemilihan Kepala Daerah Ponogoro, 9 Desember 2020.
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Rido Kurnianto, dalam buku Seni Reog Ponorogo, menuliskan, nama besar dan popularitas seni reog telah melahirkan citra bagi Kabupaten Ponorogo sebagai ”Kota Reog”. Ketika menyebut Ponorogo, yang terpikirkan pertama kali adalah seni reog. Begitu pula sebaliknya, ketika menyebut reog, orang akan langsung mengasosiasikannya dengan Ponorogo.
Nuansa Kota Reog semakin kental dengan hadirnya simbol-simbol identitas kultural di sejumlah sudut kota. Contohnya, penanda kota berwujud patung tokoh reog, Kelana Sewandono, dan tujuh harimau, serta Dewi Songgolangit yang dipajang di alun-alun kota pusat aktivitas masyarakat Ponorogo.
Jiwa reog dihidupkan melalui pertunjukan-pertunjukan yang digelar di tingkat desa hingga festival berskala nasional. Selain reog bulan purnama, setiap tanggal 11 setiap bulan, setiap desa diwajibkan menggelar pentas secara rutin. Itu untuk mendorong desa-desa menghidupkan kembali kelompok kesenian reognya.
Dinas Pariwisata Ponorogo mencatat, hingga 2019 ada 357 kelompok reog yang tersebar di 307 desa dan kelurahan. Lebih dari 60 persennya produktif berkegiatan. Sementara itu, 40 persen sisanya masih perlu dorongan berbagai pihak.
”Barongan seberat 35 kilogram hingga 60 kg, misalnya, harganya berkisar Rp 35 juta hingga ratusan juta rupiah. Apabila digunakan latihan rutin, setiap dua tahun bulu-bulu meraknya harus diganti,” ujar Wardoyo (55), salah satu perajin barongan reog.
Di sisi lain, reog sebagai seni pertunjukan belum berdampak pada kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Reog masih terus dihidupi oleh para senimannya. Padahal, agar reog bisa hidup berkelanjutan, budaya ini harus bisa diandalkan sebagai sumber ”penghidupan”.
Berkaca pada Bali, hampir setiap seni budaya yang menjadi identitas kultural masyarakat dapat dikemas menjadi industri kreatif dan berdaya ungkit terhadap sektor pariwisata. Untuk menjawab tantangan itulah, diperlukan strategi dari pemimpin yang akan menjadi nakhoda Ponorogo lima tahun ke depan.
Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo telah menetapkan dua pasangan calon di pilkada tahun ini. Mereka adalah pasangan Sugiri SancokoLisdyarita (nomor urut satu) dan pasangan petahana, Ipong Muchlissoni-Bambang Tri Wahono (nomor urut dua).
Reog sebagai seni pertunjukan belum berdampak pada kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Reog masih terus dihidupi oleh para senimannya. Padahal, agar reog bisa hidup berkelanjutan, budaya ini harus bisa diandalkan sebagai sumber ”penghidupan”
Sugiri berlatar belakang politisi berpasangan dengan Lisdyarita yang pengusaha. Mereka diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Dalam Pilkada 2015, Sugiri menjadi rival terkuat Ipong.
Sementara Ipong berlatar belakang politisi dan pengusaha didampingi Bambang, mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Ponorogo. Mereka diusung Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Menurut Sugiri, reog merupakan budaya adiluhung yang harus dijaga kelestariannya. Meski demikian, reog tidak boleh berhenti pada seni pertunjukan, tetapi harus berkembang menjadi pendulang ekonomi. Salah satu caranya, reog harus menjadi pelecut industri pariwisata.
”Kami ingin Ponorogo punya monumen reog seperti halnya Bali punya Garuda Wisnu Kencana (GWK). Di bawah monumen ada museum yang menatahkan sejarah reog, seperti apa sosok Kelono Sewandono, Kerajaan Bantarangin, dan Pecut Samandiman, dan sebagainya, sehingga anak cucu kelak tetap mengenal budayanya,” tutur Sugiri.
Museum menjadi sarana edukasi bagi generasi muda. Di museum juga akan dipentaskan beragam varian reog secara bergiliran setiap hari. Sementara itu, di pelataran museum dibangun gerai yang menjadi etalase produk-produk khas Ponorogo, seperti batik dan aneka kerajinan bermotif reog.
Sugiri menambahkan, kesenian reog juga harus dipadukan dengan pesona wisata alam, seperti Telaga Ngebel. Agar lebih menarik, destinasi wisata tersebut bisa dilengkapi atraksi seperti air mancur menari. Akses jalan menuju lokasi wisata juga diperlebar, fasilitas pendukung, seperti terminal atau kawasan parkir kendaraan, akan dibangun.
Pengunjung direncanakan difasilitasi shuttle bus untuk menuju ke telaga yang lokasinya berada di lereng Gunung Wilis ini. Agar lebih berkembang pesat, Sugiri ingin mengintegrasikan beragam destinasi wisata di sekitar Wilis, misalnya wisata edukasi di kampung peternak sapi perah Desa Pudak.
Selain sarana dan prasarana, yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya di Ponorogo adalah pendampingan terhadap para pelaku yang berkecimpung di dalamnya, seperti seniman reog, perajin alat musik, pembuat kostum, dan perajin pernik-pernik lainnya.
”Kami akan mendatangkan para ahli yang berkompeten di bidangnya untuk mendampingi para pelaku ekonomi kreatif ini agar mereka dapat maju dan lebih sejahtera,” kata Sugiri.
Sementara itu, Ipong Muchlissoni mengatakan, untuk menjadikan budaya sebagai daya tarik wisata, diperlukan kalender kegiatan yang bisa dijadikan acuan oleh wisatawan. Dia mencontohkan, gebyar reog desa rutin digelar pada tanggal 11 setiap bulan. Kegiatan budaya akan ditingkatkan dengan menggelar atraksi reog secara bergiliran di 307 desa dan kelurahan.
Tidak hanya itu, untuk menjadikan budaya sebagai basis pengembangan industri pariwisata, pihaknya akan memperbanyak festival lokal, nasional, bahkan internasional. Ipong juga akan membangun museum reog. Dalam masa pemerintahannya, yang terealisasi baru pembangunan sentra industri kecil sebagai etalase produk kerajinan berbasis reog.
Menurut Ipong, tantangan menghidupkan kembali reog di desa-desa tidak mudah. Ketika mengambil kebijakan mewajibkan pementasan reog di desa tanggal 11 setiap bulan, dia tidak bertujuan menyusun kalender kegiatan semata. Lebih dari itu, dia ingin memastikan setiap desa memiliki kelompok reog yang didukung oleh sumber daya manusia serta sarana prasarana yang memadai.
Setelah memastikan setiap desa memiliki kelompok reog, pihaknya akan memberikan kesempatan mereka untuk tampil secara bergiliran. Sebagai petahana, dia akan melanjutkan program yang sudah berjalan ditambah program yang tertunda. Di antaranya, membangun desa digital untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0, termasuk mengembangkan ekonomi kreatif di desa-desa.
Pilkada yang saat ini memasuki tahapan kampanye merupakan sarana untuk mengulik rencana pembangunan ekonomi kreatif berbasis identitas budaya Ponorogo. Program yang ditawarkan oleh setiap calon setidaknya bisa dijadikan referensi meskipun masih perlu dielaborasi lagi.
Meskipun demikian, pilihan tetap di tangan warok-warok, sebutan untuk warga Ponorogo. Siapakah calon pemimpin yang dianggap lebih mampu menangkap peluang ekonomi kreatif yang berkembang di balik identitas kultural masyarakat di wilayah mataraman ini?