Pandemi berdampak terhadap UMKM di Malang dan daerah lainnya di Indonesia. Pihak perbankan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah berupaya mendorong agar UMKM bisa bangkit kembali meski perlahan.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Usaha mikro, kecil, menengah di Malang Raya dan sekitarnya, di Jawa Timur, didorong untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Secara umum, baik di tingkat nasional maupun Jawa Timur, ada tren peningkatan geliat UMKM pada triwulan III kali ini.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang Azka Subhan A mengatakan, sejumlah upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong UMKM. Salah satunya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dari dana PEN yang hampir mencapai Rp 700 triliun, sebanyak Rp 123 triliun di antaranya untuk UMKM.
”Perkembangan ekonomi terakhir, titik yang terburuk sudah dilalui. Jadi, sudah balik (kurvanya) meskipun masih minus 3,5 persen secara nasional. Mudah-mudahan di Triwulan IV menuju positif dan 2021 sudah positif pertumbuhannya,” ujarnya.
Azka mengatakan hal itu saat menggelar pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) seri III-Display Produk UMKM di Malang, Jumat (20/11/2020). Pameran diikuti 14 UMKM binaan BI, mulai dari batik hingga makanan olahan dari Malang Raya, Pasuruan, dan Probolinggo. Rangkaian pameran dilakukan dengan standar protokol kesehatan.
KKI merupakan upaya untuk meningkatkan akses pasar UMKM. Melalui event yang digelar sejak 2016 ini, UMKM binaan BI didorong untuk melakukan inovasi secara berkesinambungan, memperbaiki kualitas, dan memanfaatkan platform digital agar bisa menembus pasar yang lebih luas, termasuk ekspor.
Azka mengatakan, pertumbuhan ekonomi secara nasional dan regional meningkat meski masih minus. Jika triwulan II pertumbuhan nasional minus 5,32, pada triwulan III naik menjadi 3,49. Sementara di Jawa Timur dari minus 5,9 naik menjadi 3,75. ”Jadi, ada tren naik. Kita optimistis triwulan IV dan 2021 bisa membaik kembali,” katanya.
Menurut Azka, untuk membangkitkan kembali UMKM memang butuh waktu mengingat tahun 2020 ini UMKM mengalami dampak signifikan akibat pandemi. Kondisi ini berbeda dengan krisis moneter 1998 dan krisis global 2008, yang mana UMKM kala itu menjadi kartu penyelamat.
”Jadi pelan-pelan (bangkitnya). Yang menjadi persoalan jika dari suplai (produk UMKM) didorong. Namun, di sisi lain, permintaan masyarakat, daya beli, dan pendapatan masyarakat masih rendah. Itu juga menjadi masalah,” katanya.
Wali Kota Malang Sutiaji yang hadir pada kesempatan itu mengatakan, pihaknya mewajibkan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menyerap produk UMKM. Serapan itu dilakukan, baik menggunakan dana anggaran pendapatan belanja daerah maupun nasional. Setelah belanja ke UMKM, pihaknya akan menyasar pasar tradisional.
”Ini makin memberikan ruang yang bebas kepada usaha kecil menengah dan UMKM untuk bangkit. OPD dan dinas terkait yang melakukan pembelajaran pakai APBN ataupun APBD. ’Ini, lho, tak kasih untuk belanja,’. Ini dibolehkan untuk tumbuh kembang UMKM,” katanya.
Menurut Sutiaji, pihaknya juga akan memasukkan produk UMKM ke marketplaces. Saat ini, di Kota Malang terdapat 73 persen orang yang melek teknologi informasi (TI). Sisanya masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Untuk itu, pihaknya membutuhkan pendampingan dan kolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk perbankan dan komunitas masyarakat.
”Sudah ada 10 pasar dan direplika menjadi 16 pasar untuk melek IT. Nanti didata untuk memasukkan produk mereka ke marketplaces,” katanya.
Selain Sutiaji, turut hadir pada kesempatan ini Kepala Otoritas Jasa Keuangan Malang Sugiarto Kasmuri dan Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang Wahyu Setianto.
Sementara itu, Nurita Iza Rosdiany (54), pemilik UMKM batik Nurita Batik dari Cangkringmalang, Beji, Pasuruan, mengatakan, selama pandemi, permintaan konsumen memang agak menurun. Saat ini, pesanan lebih banyak berupa seragam instansi. Mereka memesan batik dengan motif sesuai bidang kerja masing-masing.
Dengan harga kain batik mulai dari Rp 150.000-Rp 500.000 per lembar untuk batik cap dan Rp 1 juta untuk batik tulis, pangsa pasar Nurita Batik masih wilayah Nusantara.
”Tantangannya sekarang banyak perajin batik sehingga harus bersaing. Strateginya, saya mulai menggunakan jalur online, pasang status di media sosial, dan mengikuti selera konsumen,” ujar Nurita yang menjadi binaan BI sejak 2014.