Hunian tetap menjadi harapan para penyintas bencana banjir bandang Luwu Utara. Di tengah ketidakpastian kapan hunian tetap bisa didapatkan dan datangnya musim hujan, sebagian pengungsi mulai kembali ke rumah lama.
Oleh
RENY SRI AYU
·4 menit baca
Kamis (12/11/2020) siang, Udin Battangan (77) menengok rumahnya di Desa Radda, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Seorang diri, dia kemudian membersihkan rumahnya dari sampah yang tidak bisa lagi ditempati sejak diterjang banjir bandang pada Juli lalu itu.
Rumah Udin menjadi satu dari ribuan rumah yang terdampak banjir bandang di kabupaten yang berada sekitar 450 kilometer sebelah utara Kota Makassar tersebut. Rumah yang telah ia tempati hampir selama 10 tahun dan berada lebih dari 100 meter dari bibir Sungai Radda itu kini terendam lumpur kering setebal 2 meter.
Rumah yang terendam lumpur kering, batang pohon yang berserak, dan timbunan berbagai material yang tidak beraturan akibat banjir sekitar empat bulan lalu tersebut saat ini menjadi pemandangan porak poranda di kanan-kiri Sungai Radda, Rongkong, dan Masamba di Luwu Utara.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Utara, banjir bandang pada Juli lalu itu merusak lebih dari 3.000 rumah di 24 desa. Bencana tersebut juga membuat lebih dari 4.000 keluarga dengan 13.400 jiwa mengungsi.
Banjir bandang di Luwu Utara merupakan satu dari sekitar 900 banjir yang terjadi di Tanah Air pada 1 Januari hingga 20 November 2020. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada periode itu terjadi lebih dari 2.535 bencana terkait cuaca (hidrometeorologi) yang membuat 5,5 juta jiwa mengungsi.
Sampai sekarang tidak ada kejelasan kapan kami bisa mendapatkan hunian tetap. Bahkan, hunian itu belum dibangun. (Udin)
Tidak setiap hari Udin datang menengok rumahnya di Desa Radda. Jika merasa rindu dan merasa penat di rumah sewa yang kini ditinggalinya, ia biasanya baru datang untuk mencari teduh. Kerap kali, jika kepanasan di rumah sewanya dan tak bisa ke rumahnya di Radda, ia tidur di pelataran masjid. ”Kalau di rumah sewa susah tidur. Sangat panas dan sumpek, apalagi untuk kami bertujuh,” kata pensiunan guru tersebut.
Tiga bulan sudah ia tinggal di rumah itu bersama anak dan menantu serta empat cucunya. Dua dari empat cucunya adalah yatim piatu yang sejak kecil dirawat Udin. Kedua orangtua mereka sudah meninggal.
Rumah yang ia sewa Rp 700.000 per bulan itu hanya memiliki dua kamar, sebuah ruang tamu sempit, dan dapur kecil. Ia tak mampu mencari kontrakan yang lebih besar. Sepetak sawah dan kebun kakaonya tidak berbekas akibat ”dicaplok” lumpur. Gaji pensiunannya tidak sampai Rp 2 juta per bulan.
Udin memang telah mendapat bantuan uang kontrak atau dana tunggu hunian (DTH) dari pemerintah Rp 500.000 per bulan. Namun, itu tidak cukup.
Hal yang sama dirasakan Amir KM (57), penyintas dari Dusun Satek, Kelurahan Bone, Masamba. Ia tinggal di hunian sementara di Dusun Bossi, Kelurahan Kapuna, bersama 20 keluarga lainnya. ”Rumah saya tak berbekas, di bantaran sungai. Saya tentu berharap segera ada hunian tetap. Di hunian sementara ini, air bersih tidak ada. Kami bahkan tidak punya perabotan, terutama untuk memasak. Kebun tak bisa lagi digarap,” tuturnya.
Nekat kembali
Terdesak keadaan, pikiran Udin mulai liar. Ia berniat merobohkan sisa rumahnya di Radda, lalu mengambil bahan yang bisa digunakan untuk dipakai membuat pondok di bekas bangunan yang tertimbun. ”Sampai sekarang tak ada kejelasan kapan kami bisa mendapat hunian tetap,” katanya.
Bukan hanya Udin dan Amir yang menanti hunian tetap, melainkan juga ribuan warga lain korban bencana itu.
Kepala Pelaksana BPBD Luwu Utara Muslim Muchtar mengakui belum ada hunian tetap yang dibangun. ”Keputusannya adalah langsung membangun hunian tetap, bukan sementara. Namun, sampai saat ini masih dalam pembebasan lahan,” katanya.
Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Adi Maulana, mengatakan, semestinya pemerintah segera menuntaskan pembangunan hunian tetap agar warga bisa hidup normal kembali. Pembenahan kawasan pascabanjir dan pemulihan kawasan hulu sungai sangat mutlak dibutuhkan untuk menekan risiko terulangnya bencana serupa.
Perhitungan sementara, miliaran kubik material kini tertimbun di Sungai Radda, Rongkong, dan Masamba. Di Sungai Masamba, misalnya, jarak vertikal sungai dengan jembatan saat ini hanya tersisa 2 meter dari sebelumnya 8-10 meter. ”Artinya, daya dukung sungai tak mampu lagi menampung air jika ada hujan dengan intensitas besar,” kata Adi.
Di tengah musim hujan saat ini, pemetaan dan pemonitoran longsor di hulu juga belum dilakukan. Padahal, material longsor di wilayah pegunungan itu jadi penyebab banjir bandang.
Jangankan hitungan bulan pascabencana, ribuan warga pengungsi banjir bandang pada Juni 2019 di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pun belum sepenuhnya tertangani. Hal serupa dialami warga di Kabupaten Jayapura, Papua, yang menjadi korban banjir bandang dari Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Maret 2019.
Bagi penyintas yang penuh keterbatasan, tinggal di rumah sewaan atau kembali ke rumah lama sama-sama tidak nyaman dan berisiko. Di tengah musim hujan yang mulai datang, Udin dan banyak korban banjir bandang lainnya memilih kembali ke lokasi lama, rumah di mana bencana telah merenggutnya.