Lombok Utara Melepas Jerat Status Daerah Tertinggal
Pemimpin Lombok Utara lima tahun ke depan punya tugas berat untuk melepas kabupaten ini dari status daerah tertinggal. Tugas mereka kian berat karena bersamaan dengan pemulihan pascagempa 2018 dan pandemi.
Lombok Utara saat ini menjadi satu-satunya kabupaten dengan status daerah tertinggal di Nusa Tenggara Barat atau NTB. Keluar dari jerat status itu menjadi pekerjaan rumah bagi siapa pun yang memimpin kabupaten termuda di NTB itu lima tahun ke depan. Tantangan kian berat karena, pada saat yang sama, Lombok Utara juga masih dalam pemulihan pascagempa 2018 dan kini ditambah pandemi.
Pada pilkada serentak, 9 Desember 2020, dua pasangan calon akan bertarung untuk memperebutkan dukungan dari 172.326 calon pemilih di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Mereka adalah pasangan Djohan Sjamsu-Danny Karter Febrianto Ridwan dan pasangan Najmul Akhyar-Suardi.
Pasangan itu, terutama calon bupati, bukanlah wajah baru. Djohan adalah Bupati KLU periode 2010-2015. Sementara Najmul adalah wakil Djohan kala itu dan sekarang menjadi calon petahana yang memimpin KLU periode 2015-2020.
Baca juga: Warga Gili Trawangan Mulai Berbenah
Siapa pun yang terpilih, pengalaman keduanya pernah memimpin KLU, bahkan secara bersama-sama, tentu jadi modal besar. Mereka tentu sudah mengetahui persoalan KLU sehingga tidak perlu memulai dari awal dalam merancang program terbaik.
Jika bicara KLU, baik Djohan maupun Najmul, pasti tahu bahwa kabupaten itu hingga saat ini menjadi satu-satunya daerah dengan status tertinggal di NTB. Status itu bahkan telah disandang KLU ketika Djohan dan Najmul menjadi bupati dan wakil bupati, hingga saat ini.
Pada Mei 2020, Presiden Joko Widodo meneken Perpres Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Dari delapan kabupaten di NTB yang sebelumnya menyandang status daerah tertinggal, hanya tersisa KLU. Tujuh lainnya, yakni Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, dan Bima, berhasil melepas diri dari status itu.
Daerah tertinggal adalah daerah yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Penetapan itu berdasarkan sejumlah kriteria perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Selain itu, ada sejumlah indikator. Termasuk tiga indikator utama, yakni persentase penduduk miskin, indeks pembangunan manusia (IPM), dan pertumbuhan ekonomi.
Pada 2010, persentase kemiskinan di KLU mencapai 43,14 persen atau sekitar 86.340 jiwa. Mengambil istilah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) KLU Heryanto, persentase yang tinggi itu adalah warisan dari Lombok Barat.
Meski menurunkan 1 persen sulit, dalam perjalanannya selama sembilan tahun sejak 2010, angka kemiskinan di KLU berhasil diturunkan sebesar 14,11 persen. Pada 2019, berdasarkan data Badan Pusat Statistik KLU, angka kemiskinan di sana sebesar 29,03 persen.
Baca juga: Optimistis Pariwisata akan Pulih
Capaian itu, tentu bagian dari kepemimpinan, baik Djohan maupun Najmul. Salah satu di antara keduanya, yang lima tahun ke depan memimpin KLU bersama pasangan masing-masing, tinggal meningkatkan kualitas program yang sudah dijalankan dan melahirkan terobosan-terobosan baru.
Keberhasilan menurunkan angka kemiskinan, kata Heryanto, adalah hasil dari pendekatan ekonomi inklusif yang mereka gunakan, yakni program pemberdayaan masyarakat miskin dengan tujuan mengatrol kesejahteraan mereka. Termasuk mendorong agar gap antara yang kaya dan miskin tidak jauh.
Akan tetapi, menurunkan persentase kemiskinan KLU yang saat ini masih paling tinggi di antara sepuluh kabupaten kota di NTB tidak cukup. KLU juga harus meningkatkan indikator lain, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) KLU.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Lombok Utara Muhadi mengatakan, IPM Lombok Utara pada 2019 berada pada angka 64,49 persen atau berada dalam kategori sedang. Hanya saja, itu berada di bawah angka provinsi yang mencapai 68,14 persen. Juga paling rendah di NTB.
IPM termasuk berkaitan dengan pendidikan. Menurut data BPS KLU, pada 2019 angka rata-rata lama sekolah di KLU adalah 5,84 tahun dan angka harapan lama sekolah adalah 12,71 tahun.
Suhadi mengatakan, masih rendahnya indikator pendidikan merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah untuk memacu pembangunan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Terobosan
Pengajar ekonomi Universitas Mataram, M Firmansyah, menyebutkan, Lombok Utara sebenarnya unik. Sebagai daerah pemekaran, Lombok Utara memiliki angka kemiskinan paling tinggi, tetapi pengangguran paling rendah di NTB. Data BPS NTB menyebutkan, pada 2019 pengangguran di Lombok Utara mencapai 2.383 orang.
”Artinya, masyarakat bekerja, tetapi belum mampu meningkatkan perekonomiannya. Kehidupan masyarakat di sana relatif apa adanya sehingga sesuai standar BPS masuk kategori miskin,” kata Firmansyah.
Oleh karena itu, kata Firmansyah, perlu terobosan untuk meningkatkan kapasitas perekonomian masyarakat. Hal itu tidak mustahil diwujudkan, apalagi jika melihat potensi yang dimiliki Lombok Utara.
Lombok Utara mempunyai potensi sektor pertanian yang sangat besar. Bahkan, pada 2019, berkontribusi paling besar terhadap PDRB daerah itu yang mencapai 34 persen.
”Oleh karena itu, perlu industrialisasi pertanian dalam arti luas. Harus ada strategi atau terobosan membangun industri menengah besar karena bahan baku sudah memadai,” kata Firmansyah.
Selain pertanian, Lombok Utara memiliki potensi pariwisata yang besar. Apalagi, ada kawasan tiga gili yang menjadi ikon pariwisata Lombok. Belum lagi potensi pariwisata di wilayah daratan.
”Pariwisata seharusnya bisa mendorong tumbuhnya ekonomi lokal, termasuk pertanian. Maka, perlu ada komitmen untuk mengintegrasikan potensi-potensi itu,” kata Firmansyah.
Konsep itu sebenarnya juga telah mulai dijalankan di KLU, yakni pariwisata sebagai faktor pengungkit sektor lain. Pertanian, misalnya, didorong bisa memasok kebutuhan pariwisata sehingga tidak perlu mendatangkan dari luar.
Menurut Heryanto, konsep besar itu diharapkan bisa melahirkan simbiosis mutualisme antara pelaku pariwisata dan petani. Maka, mereka mulai menggencarkan hortikultura, bahkan membuat pasarnya.
Sejalan dengan itu, tidak hanya gili, kawasan wisata di darat juga didorong. Misalnya, lewat desa wisata. Akan tetapi, gempa 2018 membuat hal itu tidak berjalan maksimal.
Gempa dan pandemi
Gempa bumi 2018 memang memberi dampak besar bagi KLU. Total kerugian masyarakat KLU karena bencana itu mencapai Rp 9,9 triliun. Dampak lainnya, persentase kemiskinan meningkat sekitar 2 persen.
Saat ini, pemulihan masih terus berjalan. Tidak hanya pembangunan fisik rumah warga ataupun perkantoran, tetapi juga sosial ekonomi masyarakat.
Guru Besar Ilmu Geologi Teknik, Geoteknik, dan Mekanika Batuan Fakultas Teknik Universitas Mataram Didi Supriadi Agustawijaya mengatakan, pemimpin KLU yang terpilih harus bisa mempercepat rehab rekon rumah tahan gempa.
Saat ini, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, masih ada belasan ribu rumah tahan gempa yang belum dibangun. Tidak sedikit juga rumah yang sedang dibangun terhenti di tengah jalan.
”Rumah saya baru sampai fondasi dan tidak dilanjutkan karena aplikator kabur. Saya berharap ini bisa selesai sebelum akhir tahun,” kata Ribadi (40),warga Sesait, Kecamatan Kayangan, yang sampai saat ini masih tinggal di hunian sementara.
Pembangunan rumah dan infrastruktur juga harus mengacu pada standar yang ada. Apalagi, menurut Didi, berdasarkan penelitian mereka, gempa seperti 2018 diprediksikan terjadi dalam periode yang cukup pendek. Gempa Magnitudo 6, misalnya, diprediksikan terjadi dalam periode 20 tahun, sementara yang bermagnitudo 7,5 dalam 40 tahun.
”Selain itu, perlu ada mitigasi bencana, baik struktural maupun kultural. Mitigasi struktural di mana organisasi perangkat daerah punya standar operasional prosedur terkait kebencanaan. Itu harus diatur dalam peraturan daerah,” kata Didi.
Sementara mitigasi kultural, yang juga dipayungi perda, terkait pendidikan kebencanaan. Hal itu juga harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Husaini, staf Yayasan Sheep Indonesia di Nusa Tenggara Barat (NTB), yayasan yang sampai saat ini masih mengelola program rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) di Lombok Utara, menambahkan, mitigasi penting. Jika tidak ada pengetahuan tentang kebencanaan, kondisi serupa (dampak parah gempa) akan mungkin terjadi kembali.
Selain itu, data zonasi juga harus ada sehingga masyarakat tahu apakah tempat dia membangun aman atau tidak. Dengan kata lain, menurut Husaini, pengarusutamaan pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian dalam pembangunan Lombok Utara ke depan.
Selain gempa, merebaknya pandemi adalah pukulan lain bagi KLU. Apalagi, sektor pariwisata yang menjadi salah satu penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar juga ikut terdampak. Itu karena kawasan Gili yang menjadi ikon pariwisata KLU sepi.
Lima tahun bukan waktu yang lama. Pemimpin KLU terpilih harus benar-benar memanfaatkanya untuk memenuhi janji politik sekaligus menjawab persoalan-persoalan KLU yang otomatis dapat mengatrol cita-cita besar keluar dari ketertinggalan.