Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil siap memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal Polri. Pemanggilan ini terkait kerumunan massa yang dihadiri Pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab di Kabupaten Bogor, pekan lalu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil siap memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal Polri. Pemanggilan ini terkait kerumunan massa yang dihadiri Pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab di Kabupaten Bogor, pekan lalu.
Kamil telah menerima surat pemanggilan, Rabu (18/11/2020) sore. Namun, ia memastikan pemanggilan itu bukan pemeriksaan. Hal itu ditujukan untuk memberikan klarifikasi terkait kerumunan di Bogor tersebut.
”Besok (Jumat) saya akan hadir (di Bareskrim Polri). Saya ditemani Biro Hukum (Pemerintah Provinsi Jabar). Mungkin banyak pertanyaan terkait peraturan gubernur yang berhubungan dengan penegakan protokol kesehatan Covid-19,” ujarnya, di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (19/11/2020).
Sebelumnya, polisi juga telah meminta penjelasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait kerumunan massa saat pernikahan putri Rizieq di Petamburan, Jakarta. Anies memberikan keterangan di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Selasa (17/11/2020).
Menurut Kamil, sistem kewenangan pemerintahan di DKI Jakarta dan Jabar berbeda. Sebab, di luar Jakarta, kewenangan teknis berada pada bupati/wali kota.
”Ada ribuan kegiatan setiap tahun di Jabar yang dikelola oleh bupati/wali kota. Hubungan antara bupati/wali kota dan gubernur bersifat koordinasi,” ujarnya.
Ridwan Kamil memastikan pemanggilan itu bukan pemeriksaan, melainkan untuk memberikan klarifikasi terkait kerumunan di Bogor.
Kamil tidak berkomentar banyak terkait Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Dia berjanji akan memberikan tanggapan setelah memberikan klarifikasi di Bareskrim Polri.
”Saya akan bahas besok (Jumat). Ini saling terkait. Harus dilihat secara komprehensif. Adakah perilaku tercela kepala daerah yang melanggar hukum? Biasanya pemberhentian itu dalam defenisi tersebut,” jelasnya.
Kamil mengatakan, kerumunan bisa terjadi dalam berbagai kegiatan, salah satunya demonstrasi. Sejumlah demonstrasi yang menimbulkan kerumunan telah terjadi sebelumnya.
”Bagaimana dengan kerumunan demonstrasi? Masak setiap ada demonstrasi kepala daerahnya yang harus bertanggung jawab?” ujarnya.
Terkait kerumunan di sejumlah daerah yang melanggar protokol kesehatan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menginstruksikan kepala daerah menegakkan protokol kesehatan di wilayah masing-masing. Jika instruksi dilanggar, kepala daerah bisa diberhentikan (Kompas, 19/11/2020).
Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020, kepala daerah diminta menegakkan secara konsisten protokol kesehatan Covid-19 dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis. Adapun penindakan, termasuk pembubaran kerumunan, dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.
Instruksi ketiga, kepala daerah harus menjadi teladan. Ini termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.
Di butir selanjutnya, Mendagri mengingatkan kepala daerah yang melanggar aturan perundang-undangan, terutama terkait penanganan Covid-19, dapat diberhentikan. Sanksi ini mengacu pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Pasal 78 UU Pemda berisi sanksi pemberhentian bagi kepala daerah-wakil kepala daerah yang tak menaati ketentuan perundang-undangan. Ketentuan yang dimaksud termasuk soal penegakan protokol kesehatan yang tak hanya tertuang di undang-undang, tetapi juga peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.