Empat Nyawa Melayang di Banjarpanepen, Si Sulung Sebatang Kara
Empat nyawa melayang direnggut longsor di Desa Banjarpanepen, Banyumas, Jawa Tengah. Kesedihan membayangi warga desa. Lebih dari itu, ancaman longsor susulan masih perlu diwaspasai dan dimitigasi.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Tangis Natalis Sigit Widianto (24) pecah ketika dua peti berisi jenazah kedua adiknya, Lukas (13) dan Yudas (8), diturunkan ke dalam liang lahat, Rabu (18/11/2020). Matanya sayu menatap lubang makam. Air matanya berlinang. Dia tersungkur di dekat pusara sang ibunda, Sugiarti (45), yang dimakamkan sehari sebelumnya. Di dekatnya, menganga lubang baru yang disiapkan untuk jasad ayahnya yang ditemukan Rabu sore. Longsor merenggut keluarganya, kini si sulung sebatang kara.
Tebing setinggi lebih dari 300 meter runtuh menimpa kawasan RT 002 RW 001 Grumbul Kalicawang, Desa Banjarpenapen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa dini hari. Tiga rumah rusak, satu di antaranya hancur. Di sanalah pasangan suami istri, Basuki (55) dan Sugiarti (45), bersama dua anaknya, Lukas dan Yudas, tertimbun. Natalis selamat dari musibah karena malam itu sedang tidak di rumah.
”Kejadian sekitar pukul 02.00, saya buka korden dan melihat ada tumpukan kayu dan tanah tinggi. Pintu tidak bisa dibuka karena tertahan tanah. Saya dan dua anak saya langsung lari lompat jendela,” kata Sri Kuntari (43), adik Basuki yang rumahnya rusak pada bagian samping.
Rumah Sri dengan Basuki hanya berjarak sekitar 100 meter. Namun, saat itu Sri tidak dapat melihat bagaimana kondisi rumah Basuki karena listrik padam. Di tengah kepanikan, ia bergegas lari menuju rumah saudaranya yang aman. ”Saya baru bisa lihat kondisi rumah kakak saya hancur pukul 04.30,” tuturnya.
Sri bersama kedua anaknya yang masih SMP dan anak balita memang belum tidur malam itu. Mereka baru pulang dari rumah orangtuanya sekitar pukul 22.00. Hujan deras sejak pukul 23.00 serta listrik padam juga membuat Sri gelisah. Saat kejadian, ia tidak mendengar suara gemuruh tanah karena suaranya kalah dengan derasnya arus sungai di belakang rumahnya. ”Setiap kali hujan, saya tidak bisa jauh dari senter. Saat itu saya mendengar suara seng di luar rumah,” ujarnya.
Sri dan Natalis tidak menyangka akan kehilangan orang terdekatnya dengan cara mengerikan. ”Kakak saya baik, juga dengan anak-anak. Saya terakhir kali ngobrol dengan keluarga kakak, kalau tidak Kamis, ya, Jumat. Ngobrolin ini hujan terus, kali ini bisa banjir besar. Kalau banjir gede, bisa ada banjir bandang. Begitu kata kakak saya,” ujar Sri sambil menyeka air matanya.
Sehari-hari Basuki menderes kelapa. Bersama istrinya, mereka membuat gula merah. Sang istri beberapa tahun lalu pernah menjadi tenaga kerja wanita di Brunei Darussalam. ”Pak Basuki orangnya baik. Di lingkungan juga aktif, ikut ronda dan juga arisan warga,” tutur Ketua RT 002 RW 001 Kristiyanto.
Ronda sempat diaktifkan kembali ketika awal pandemi Covid-19. Belakangan, ronda tidak digiatkan karena kesibukan warga. Padahal, ancaman longsor di kawasan berbukit ini cukup tinggi. ”Saat Covid-19 itu, ada kegiatan ronda rutin. Jadwalnya ada, tetapi kan situasional. Kalau pas ada keperluan mendesak, kita ada ronda. Pas malam itu tidak ada ronda,” kata Kristiyanto.
Kepala Desa Banjarpanepen Mujiono menyampaikan, puluhan tahun dia tinggal di desa itu, belum pernah ada kejadian tanah longsor. Sejumlah kearifan lokal dan juga peraturan desa tentang perlindungan satwa dan penghijauan telah ditetapkan sejak 2008.
Sanksi bagi warga yang menebang satu pohon di kawasan perlindungan air didenda menanam 2.000 pohon. ”Tanaman keras di sini ada lengkap. Longsor ini diakibatkan oleh hujan deras yang luar biasa sejak malam hingga pagi. Air sungai bahkan meluap sampai jembatan,” tutur Mujiono.
Akibat longsor ini, enam rumah yang dihuni 12 orang yang tinggal di sekitar area longsor terpaksa mengungsi. ”Sementara ini mereka mengungsi ke tempat aman karena dikhawatirkan ada longsor susulan mengingat hujan masih terus turun,” paparnya.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat Sekretariat Daerah Kabupaten Banyumas Didi Rudwianto yang juga memiliki latar belakang pendidikan ilmu teknik geologi menyampaikan, dari hasil observasinya, kejadian ini hampir mirip longsor yang terjadi di Desa Kemawi, Kecamatan Somagede, tahun 2009 yang merenggut enam korban dan longsor di Watuagung, Kecamatan Tambak. ”Ini sama-sama kejadian tanah longsor di Pegunungan Serayu Selatan yang jenis batuannya hampir sama, yaitu batuan tanah,” katanya.
Didi mengatakan, longsor terjadi karena lokasinya berada di lereng bukit dan sekitar lembah yang di bawahnya terdapat aliran sungai. ”Kondisi ini cukup terjal, kemiringannya sekitar 60 derajat dan banyak bongkahan batu. Artinya, banyak batu besar yang menyusun pegunungan ini. Batu ini tadinya tertutup tanah, tapi akibat bergulirnya waktu bertahun-tahun dan curah hujan yang ekstrem membuat tanah-tanah lapisannya hilang. Batuan ini tidak punya pengikat satu sama lain,” paparnya.
Tanaman keras yang mengikat tanah pun tidak kuasa menahan kikisan air sehingga banyak pohon di sekitar lokasi longsor bertumbangan. ”Kemiringan lereng yang tinggi dan curah hujan yang tinggi akhirnya antarbatuan menjadi bidang gelincir. Batu besar itu bisa lari lebih dari 75 meter,” tuturnya.
Atas peristiwa ini, lanjut Didi, pemerintah daerah akan melaporkannya kepada Badan Geologi di Bandung untuk mendapatkan kajian apakah wilayah ini masih layak untuk dijadikan tempat tinggal atau tidak. ”Seperti warga di Watuagung, mereka rela untuk relokasi. Tanahnya tetap milik mereka, boleh untuk bercocok tanam, tapi tidak boleh untuk tempat tinggal,” katanya.
Didi mengatakan, tempat relokasi akan dikoordinasikan dengan pemerintah desa dan dalam waktu dekat, tempat itu harus dikosongkan karena posisi longsor membentuk tapal kuda sehingga terdapat potensi longsor susulan. ”Jika ada hujan lebih dari 2 jam, ini bisa ada longsoran susulan,” ujarnya.
Komandan Kompi 3 Batalyon B Pelopor Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Satu Siswadi Jamal menyampaikan, hingga Rabu siang, tim gabungan masih mencari jenazah Basuki. Tim terkendala kondisi medan yang curam dan keterbatasan alat. ”Kendala di lapangan peralatan, seperti linggis dan cangkul, terbatas. Selain itu, selang besar untuk mengurai tanah hanya dua buah,” papar Siswadi.
Jenazah Basuki baru dapat ditemukan pukul 16.40 pada kedalaman material longsor 1,5 meter.
Bersama larutnya kesedihan Natalis Sigit yang kini sebatang kara, warga desa turut berdoa memohon kedamaian jiwa para korban sembari berharap bencana ini tidak terulang kembali.
Mendung masih menaungi Desa Banjarpanepen. Beberapa saat, gerimis lalu menderas menimpa tanah merah, dan membasahi jalanan desa berbatu, menyatu dalam gemuruh Sungai Gedung Gede. Gemuruhnya seolah terus mengingatkan warga untuk waspada bahwa ancaman bencana masih ada.