Warga lansia, anak balita, dan ibu hamil merupakan kelompok masyarakat pertama yang harus mengungsi ketika bencana. Bagi warga lansia, pengungsian tak ubahnya seperti pengasingan.
Oleh
KRISTI UTAMI/PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Di Kabupaten Magelang, warga lansia, anak balita, dan ibu hamil, yang bermukim kurang dari 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi, diimbau mengungsi sejak 6 November 2020. Dari ketiga golongan itu, warga lansia adalah yang paling rumit. Bagi mereka, pengungsian tak ubahnya pengasingan yang sepi dan membosankan.
Pada Sabtu (14/11/2020), asap tebal membubung setinggi 50 meter dari puncak Merapi. Sepanjang hari itu terjadi 59 kali gempa guguran yang menandakan aktivitas vulkanik yang tinggi. Gemuruh dari perut bumi itu sudah cukup untuk membuat orang kebanyakan lari tunggang langgang.
Namun, Karyo Sukijan (75), warga Dusun Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun, masih saja sibuk menugal ladang seluas 1/4 hektar untuk ditanami sawi hijau, kol, dan cabai. Ia seperti tak mengenal takut. Padahal, lokasi itu hanya berjarak sekitar 4,5 km dari puncak Merapi.
Selama di sini, kegiatannya cuma tidur sama mengobrol saja. Tapi, badan saya rasanya sakit semua. (Sudi)
Sebenarnya, ia sudah mengungsi sejak 6 November ke Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, yang berjarak 30 km dari puncak Merapi. Namun, setiap pagi ia pulang ke desa untuk menggarap ladang lalu sorenya kembali lagi ke pengungsian.
”Ya, mau bagaimana lagi, kerja di ladang ini sudah menjadi bagian hidup saya. Bosan sekali kalau terus menerus berdiam diri di pengungsian,” ujar Karyo.
Sebenarnya, ia sadar usahanya menanam sayuran itu akan sia-sia bila abu letusan Merapi menimpa ladangnya. ”Ladang ini tetap harus saya garap daripada ditumbuhi rumput. Soal yang lain saya serahkan kepada yang Maha Kuasa,” ucapnya.
Selain Babadan I, ada delapan dusun lain di tiga desa yang diimbau untuk mengungsikan warga lansia, anak balita, dan ibu hamil. Salah satunya adalah Dusun Batur Ngisor, Desa Ngargomulyo. Namun, hingga 15 November 2020, dari 44 lansia di dusun itu, baru sekitar sepertiganya yang sudah mengungsi.
Di jalanan Dusun Batur Ngisor yang berliku dan curam terlihat aktivitas warga masih berjalan normal. Para lansia lalu-lalang menggendong kayu bakar dengan langkah berat dan terbungkuk-bungkuk. Ada juga lansia lain yang sedang sibuk mengolah ladang.
Saat ditemui, Kardi dan istrinya tengah memanen singkong di ladangnya yang berjarak sekitar kurang dari 5 kilometer dari puncak Merapi. Setelah singkong dipanen, mereka berencana menanam cabai meskipun aktivitas Merapi tengah meningkat.
”Kami ini orang kecil, tetap harus bertani supaya bisa makan. Kami pasrah kalau nanti tanaman kami mati terkena hujan abu, yang penting saat ini berusaha dulu,” ujarnya.
Kardi menuturkan telah mengemasi surat-surat berharga untuk dibawa mengungsi jika seandainya status Gunung Merapi dari Siaga meningkat menjadi Awas. Ia juga sudah berencana untuk menjual semua ternaknya, dua lembu, jika nanti ia harus mengungsi.
”Sebetulnya kalau dijual waktu erupsi seperti ini harganya menjadi sangat rendah. Waktu erupsi 2010, dua lembu hanya laku Rp 5 juta dari harga normalnya Rp 20 juta per ekor,” ucap Kardi.
Bosan
Perubahan aktivitas yang drastis dirasakan oleh sebagian besar lansia di pengungsian. Di desa asalnya, sehari-hari mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan harus membunuh waktu dengan mengobrol tiduran di pengungsian.
”Selama di sini, kegiatannya cuma tidur sama mengobrol saja. Tapi, badan saya rasanya sakit semua. Mungkin karena saya sudah biasa bekerja terus disuruh diam, jadi otot-ototnya kaku,” kata Sudi (60), warga Dusun Babadan II, Desa Paten, yang mengungsi di Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan.
Sudi mengatakan, dirinya selalu berladang setiap pagi dan sore. Selain mengolah ladang, mencari pakan untuk sapinya. Selama ditinggal mengungsi, sapi milik Sudi diurus keponakannya.
Ia ingin kembali ke desanya agar biasa beraktivitas seperti biasanya. ”Tapi, saya juga tahu risikonya. Jadi, nurut saja sama pemerintah,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Camat Dukun Amin Sudrajat mengatakan, baru sepertiga dari total lansia yang sudah mengungsi. Sisany, masih beraktivitas di desa, seperti mengurus ternak dan mengurus tanaman di dusunnya masing-masing.
”Karena sifatnya hanya imbauan, kami tidak bisa melarang. Nanti, kalau ada peningkatan status menjadi Awas, semuanya kami wajibkan untuk mengungsi,” kata Amin.
Hingga 14 November, total warga lansia di sembilan dusun di Kawasan Rawan Bencana III Kecamatan Dukun adalah 684 orang. Dari jumlah tersebut, warga lansia yang telah mengungsi baru 194 orang.
Bupati Magelang Zaenal mengingatkan, warga di KRB III untuk waspada dan mengikuti anjuran pemerintah desa. Warga diimbau mempersiapkan segala sesuatu seperti, surat-surat berharga.
”Berdasarkan rekomendasi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi, ada sembilan dusun di tiga desa yang harus dievakuasi. Sementara ini, baru kelompok rentannya yang sudah diungsikan. Harapannya, kami bisa segera mengevakuasi yang lain juga ke tempat yang aman,” ucap Zaenal.