Dinilai Belum Gawat, Warga Tegalmulyo Klaten Mengungsi Hanya Saat Malam
Warga tiga dukuh lereng Gunung Merapi di Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih beraktivitas normal. Mereka hanya menempati pengungsian saat malam hari.
Oleh
Mohamad Final Daeng
·3 menit baca
KLATEN, KOMPAS — Warga tiga dukuh atau dusun lereng Gunung Merapi di Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih beraktivitas normal dan hanya menempati pengungsian saat malam. Mereka meyakini ancaman Merapi belum genting karena belum menunjukkan tanda-tanda yang biasanya muncul, seperti titik api diam dan guguran lava.
Ketiga dukuh yang masuk dalam kawasan rawan bencana erupsi Merapi di Tegalmulyo adalah Pajegan, Canguk, dan Sumur. Dukuh-dukuh dalam radius 5 kilometer dari puncak itu memiliki total penduduk 226 jiwa.
Dari pantauan Kompas, Selasa (17/11/2020) siang, aktivitas warga masih normal. Mayoritas warga di daerah itu bertani hortikultura. Sebagian warga tampak bekerja di ladang sayur, bunga, dan cabai di sepanjang jalan utama desa. Di latar belakang, puncak Merapi terlihat sama-samar di balik kabut.
Nyardi (32), warga Dukuh Sumur, bahkan baru mulai menanami ladang seluas 1.500 meter persegi dengan cabai keriting. Dia memilih tak mengungsi ke balai desa yang menjadi posko pengungsian utama karena harus bekerja menggarap ladangnya itu.
”Hanya istri dan anak yang tidur di pengungsian saat malam. Saat siang, semua warga kembali ke rumah untuk bekerja. Kalau tidak bekerja, nanti malah susah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Nyardi.
Hal serupa juga diungkapkan Sarwono (68), warga Dukuh Canguk. Warga yang masuk kategori kelompok rentan ini tetap bekerja di ladang sayuran dan merawat tiga ekor sapinya. ”Setelah Isya baru berangkat ke pengungsian. Pagi hari sudah kembali lagi ke dukuh,” katanya.
Menurut Sarwono dan Nyardi, saat ini kondisi Merapi masih aman. Hal ini karena belum tampak tanda-tanda seperti yang biasanya ditunjukkan gunung berapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut saat akan erupsi. ”Biasanya ada api menyala di puncak dan guguran merah (lava). Sekarang belum ada, hujan abu saja belum ada,” ujar Sarwono.
Warga ketiga dukuh itu juga belum ada yang mengungsikan ternak. Hal itu berkaca dari pengalaman tahun 2006 dan 2010 saat dampak erupsi tak sampai mengancam ternak. ”Tahun 2010, hanya empat rumah yang mengungsikan ternaknya karena posisinya paling atas,” ucap Nyardi.
Ditemui secara terpisah, Kepala Desa Tegalmulyo Sutarno mengatakan, setiap malam, sekitar 100 warga, terutama dari kelompok rentan, bermalam di pengungsian balai desa. Untuk berjaga-jaga, jika suatu saat perlu mengevakuasi semua warga, telah disiagakan armada angkutan di setiap dukuh dalam zona bahaya erupsi.
”Angkutan itu berupa pikap dan truk yang sewaktu-waktu siap mengevakuasi warga. Ada juga sistem ronda 24 jam oleh masyarakat untuk memantau situasi Merapi,” kata Sutarno.
Sejauh ini, tiga barak pengungsian di balai desa dinilai masih mencukupi untuk menampung seluruh pengungsi dari tiga dukuh. Hal itu juga mempertimbangkan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19.
Namun, jika dalam perkembangannya masih dibutuhkan tambahan tempat, menurut Sutarno, pihaknya telah menyiapkan sejumlah lokasi lain. Saat ini yang dapat digunakan adalah dua gedung sekolah dasar, PAUD, dan sejumlah rumah kosong di desa tersebut.