Kelindan Investasi dan Pertanian Jadi Tantangan Pembangunan Sleman
Alih fungsi lahan pertanian terus terjadi seiring maraknya investasi di Kabupaten Sleman. Kelindan ketersediaan lahan pangan dan pengembangan kawasan komersial mesti disikapi lebih bijak demi pembangunan berkelanjutan.
Alih fungsi lahan pertanian terus terjadi seiring maraknya investasi di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Ketersediaan lahan pangan dan pengembangan kawasan komersial mesti disikapi lebih bijak agar pembangunan daerah berjalan seimbang.
Badan Pusat Statistik Sleman mencatat, lahan sawah menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013, luas lahan sawah mencapai 24.774 hektar. Luasan itu terus berkurang dari tahun ke tahun hingga pada 2018 seluas 24.517,36 hektar. Data lain pada ”Kabupaten Sleman dalam Angka 2019”, yang menggunakan metode penghitungan yang berbeda, total lahan sawah pada 2018 hanya tersisa 18.137 hektar.
Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Sleman Heru Saptono mengatakan, alih fungsi lahan pertanian di Sleman rata-rata kurang dari 100 hektar per tahun. ”Alih fungsi lahan ada yang mengajukan izin dan yang tidak. Yang tidak kami ketahui adalah yang tidak melalui mekanisme perizinan. Ini tantangan bagi kami,” kata Heru, Kamis (5/11/2020).
Ia berpendapat, alih fungsi lahan sebagai sebuah keniscayaan, khususnya alih fungsi menjadi permukiman. Ini dipicu kian padatnya wilayah Kota Yogyakarta akibat pertumbuhan penduduk. Sleman sebagai daerah penyangga turut menjadi sasaran permukiman bagi para penduduk.
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Sleman Muhammad Sugandi mengakui, alih fungsi lahan pertanian terus terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, alih fungsi lahan tercatat sebesar 75,76 hektar. Pada 2018, alih fungsi lahan meningkat menjadi 86,07 hektar dan pada 2019 menjadi 87,8 hektar.
”Ini data dari yang mengajukan izin. Peruntukannya macam-macam. Mulai dari perumahan, pertokoan, hingga gudang,” ujar Sugandi.
Persoalan alih fungsi lahan menjadi hal krusial di Sleman. Pemangku kepentingan perlu menaruh perhatian khusus karena ada risiko besar jika alih fungsi tidak dikendalikan.
Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Sutaryono, mengungkapkan, persoalan alih fungsi lahan menjadi hal krusial di Sleman. Pemangku kepentingan perlu menaruh perhatian khusus karena ada risiko besar jika alih fungsi tidak dikendalikan.
”Dari perspektif lingkungan, Kabupaten Sleman mempunyai luasan 48,73 persen zona resapan air di DI Yogyakarta. Jika itu semakin berkurang, bahkan sawah semakin hilang, ada potensi banjir yang meningkat. Sementara jika musim kemarau, ancaman kekeringan juga semakin tinggi,” katanya.
Ketahanan pangan juga menjadi rentetan masalah berikutnya. ”Ancaman paling nyata itu ketidakmampuan daerah menyediakan produksi pangan untuk kebutuhan wilayahnya,” kata Sutaryono.
Terkait dengan hal itu, Heru mengungkapkan, Sleman selama ini surplus beras dan mampu menyuplai kebutuhan beras bagi DIY hingga 67.000 ton per tahun. Kondisi ini menunjukkan potensi besar dari sektor pertanian di daerah Sleman. Namun, kondisi itu dimungkinkan memburuk jika alih fungsi lahan tidak terkendali.
Upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian dilakukan lewat penerbitan peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan. Walakin, menurut Sutaryono, kepastian dijalankannya peraturan itu harus dijamin. Tanpa ada kepastian penerapan aturan, perlindungan lahan pertanian hanya isapan jempol belaka.
Baca juga: Yogyakarta Buka Izin Hotel Bintang 4 dan 5
Penanaman modal
Di lain sisi, penanaman modal terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Kondisi ini membuat kawasan itu mengalami perkembangan pesat. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPMPPT) Sleman mencatat, investasi dalam negeri yang ditanamkan pada 2016 sebesar Rp 3,37 triliun. Investasi terus meningkat, yakni pada 2017 Rp 3,89 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 5,5 triliun, dan 2019 sebesar Rp 6,47 triliun.
”Investasi yang dilakukan ini ada dalam beberapa sektor. Terbanyak memang berada dalam sektor properti, pariwisata (termasuk perhotelan), hingga perdagangan jasa,” kata Kepala Bidang Penanaman Modal DPMPPT Sleman Arjunandir.
Arjunandir menilai, besarnya nilai investasi yang ditanamkan itu disebabkan banyaknya perguruan tinggi di Sleman, baik perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Bahkan, salah satu perguruan tinggi ternama, yakni Universitas Gadjah Mada. Adanya perguruan tinggi mendorong tumbuhnya hunian, termasuk indekos.
Baca juga: Mengapa Yogyakarta Butuh Bandara Baru?
Tidak hanya sebagai daerah tujuan pendidikan mahasiswa, Sleman dikenal pula sebagai daerah tujuan wisata. Sejumlah destinasi wisata ternama ada di Sleman, mulai dari Candi Prambanan, Tebing Breksi, hingga kawasan wisata lereng Gunung Merapi.
Dinas Pariwisata Sleman mencatat, dari 2014-2018, tingkat realisasi kunjungan wisatawan selalu lebih dari 100 persen. Misalnya, pada 2018, kunjungan wisatawan domestik mencapai 8,2 juta kunjungan. Jumlah itu meningkat 15 persen dari tahun sebelumnya.
Kondisi serupa berlaku bagi kunjungan wisatawan asing yang mencapai 307.705 orang pada 2018. Angka tersebut meningkat sekitar 20 persen dari setahun sebelumnya.
Tren berkembangnya pariwisata di Sleman diikuti dengan tumbuhnya sejumlah desa wisata. Saat ini, total terdapat 47 desa wisata. Sebagian besar desa wisata menawarkan keindahan pemandangan alam dan pengalaman tinggal di desa. Entah dengan menjadi petani ataupun ikut beternak di kandang.
Baca juga: Sejumlah Destinasi Wisata di Lereng Merapi Tutup Sementara
”Desa wisata muncul karena ada tren back to nature. Wisatawan belajar hidup di desa karena urbanisasi terlalu tinggi di kota-kota. Destinasi wisata di perkotaan juga sudah tumpah ruah sehingga wisatawan mencari alternatif wisata lain. Salah satunya diperoleh lewat desa wisata, di mana lahan pertanian juga menjadi daya tarik wisata,” kata M Baiquni, pakar pariwisata berkelanjutan UGM.
Menurut Baiquni, desa wisata mampu menggeliatkan perekonomian warga, khususnya yang berada pada tingkatan akar rumput. Lewat desa wisata, muncul peluang usaha baru berbasis kearifan lokal, baik dalam bentuk kerajinan maupun makanan dan minuman tradisional. Aktivitas berbasis desa itu akan menghasilkan pariwisata yang berkelanjutan karena kearifan lokal yang mengutamakan kelestarian alam menjadi prioritas.
Baca juga: Lahan Pertanian di Sleman Terus Menyusut
Kontestasi pilkada
Problem pembangunan di Sleman, yakni kelindan antara investasi dan ketersediaan lahan pertanian, perlu menjadi perhatian tiga pasangan calon yang bersaing dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020. Mereka ialah pasangan calon Danang Wicaksana Sulistya-Agus Choliq, Sri Muslimatun-Amin Purnama, dan Kustini Sri Purnomo-Danang Maharsa.
Danang dan Agus memiliki latar belakang politisi. Danang menjabat Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Gerindra Bidang Informasi Strategis, sedangkan Agus menjabat Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB) Sleman. Mereka diusung tiga partai politik, yakni Gerindra, PKB, dan PPP, dengan total 15 kursi di DPRD Sleman.
Problem pembangunan di Sleman, yakni kelindan antara investasi dan ketersediaan lahan pertanian, perlu menjadi perhatian tiga pasangan calon yang bersaing dalam pemilihan kepala daerah 2020.
Pasangan tersebut menawarkan konsep kerja kolaborasi lintas sektoral. Isu lingkungan dan kebudayaan jadi salah satu perhatian utama. Mereka berharap mampu berkolaborasi memecahkan persoalan yang ada agar mampu mengembangkan potensi wisata, ekonomi, dan budaya yang dimiliki daerah.
Pesaingnya, Sri Muslimatun, adalah Wakil Bupati Sleman periode 2016-2021. Dalam kontestasi ini, ia maju sebagai calon bupati didampingi Amin, yang juga pernah menjadi anggota DPRD Sleman. Pasangan tersebut diusung tiga parpol, yakni PKS, Golkar, dan Nasdem, yang mempunyai 14 kursi di DPRD Sleman.
Dalam debat publik putaran ketiga antarpasangan calon bupati dan wakil bupati Sleman, Kamis (12/11), Muslimatun berjanji akan menggunakan pendekatan pembangunan yang melibatkan semua masyarakat Sleman sebagai pelaku pembangunan mulai dari dusun. Masyarakat akan dilibatkan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
Adapun kandidat bupati Sleman, Kustini, adalah istri dari Bupati Sleman periode 2016-2021, Sri Purnomo. Pasangannya, Danang Maharsa, adalah anggota DPRD Sleman dari Fraksi PDI-P periode 2019-2024. Pasangan ini diusung PDI-P dan PAN dengan 21 kursi di DPRD Sleman.
Langkah Kustini yang mencalonkan diri banyak disorot karena dinilai sebagai upaya melanggengkan politik dinasti Sri Purnomo. Pandangan itu ditampik Kustini. Menurut dia, pilkada telah menggunakan mekanisme politik yang demokratis dan masyarakat yang nantinya akan menentukan siapa kepala daerahnya sendiri.
Pasangan Kustini-Maharsa berambisi menciptakan masyarakat yang cerdas, berdaya saing, dan memiliki semangat saling menghargai. Mereka berharap dapat menyelesaikan permasalahan di Sleman, dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki daerah. Sektor ekonomi kreatif juga menjadi sasaran untuk dikembangkan mendatang.
Tantangan yang akan dihadapi pemimpin terpilih di Sleman ke depan tidaklah mudah. Alih fungsi lahan menjadi salah satu persoalan krusial yang perlu dicari jalan keluarnya. Penyediaan lahan permukiman dan ketahanan pangan menjadi rentetan persoalan yang harus dihadapi dari alih fungsi lahan.
Di sisi lain, pertumbuhan investasi juga menjadi hal yang tak terelakkan. Pemimpin dituntut menyeimbangkan tarikan kepentingan di sektor pertanian dan pertumbuhan investasi. Dengan demikian, potensi daerah dapat dikembangkan secara optimal dan manfaatnya dirasakan rakyat.