Beban Ganda Mengungsi Kala Pandemi
Di masa pagebluk, pengungsian tak cukup sekadar menjadi tempat berlindung warga dari bencana, tetapi seharusnya juga sekaligus menjadi tempat aman dari penularan Covid-19.
Persiapan pengungsian pada masa bencana erupsi Merapi kali ini lebih matang daripada ketika erupsi besar terakhir pada 2010. Namun, di masa pagebluk, pengungsian tak cukup sekadar menjadi tempat berlindung warga dari bencana, tetapi juga jadi tempat aman dari penularan Covid-19.
Sehari setelah Merapi dinaikkan statusnya dari Waspada (II) menjadi Siaga (III) pada 5 November, masyarakat di kawasan rawan bencana III Kabupaten Magelang, Jateng, terutama kaum rentan, mulai diungsikan. Mereka terdiri atas warga lanjut usia, anak balita, ibu hamil, dan penyandang disabilitas.
Setibanya di tempat pengungsian, mereka diwajibkan memakai masker, diminta mencuci tangan dengan sabun, dan diperiksa suhu tubuhnya. Tak hanya itu, ratusan pengungsi di berbagai titik itu dites cepat untuk menekan risiko penyebaran Covid-19. Selama mengungsi, mereka ditempatkan di dalam bilik-bilik tripleks untuk mempertahankan jarak fisik antarpengungsi.
Budaya setempat yang guyup membuat mereka sulit dipisahkan dari kebiasaan kumpul-kumpul. (Sudarto)
Selama di pengungsian pula, pengungsi selalu diingatkan menerapkan protokol kesehatan ketat. Di Balai Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan misalnya, sosialisasi protokol kesehatan dilakukan kepada anak-anak melalui permainan dan pengajian. Sebelum melakukan dua kegiatan itu, anak-anak diminta mencuci tangan dengan sabun. Tak hanya itu, masker juga harus dipakai untuk mencegah penyebaran Covid-19.
”Sebelum memulai dan mengakhiri kegiatan, kami selalu mengajak anak-anak untuk menyanyikan lagu-lagu tentang cuci tangan. Pengetahuan itu kami sampaikan melalui lagu dan cerita agar pesannya bisa ditangkap dengan lebih mudah untuk anak-anak,” kata Eka Bakti, sukarelawan dari Universitas Muhammadiyah Magelang, Minggu (8/11/2020).
Kendati kegiatan itu dilakukan rutin setiap hari, masih ada anak-anak yang lupa memakai masker saat berkegiatan. Sukarelawan dan anak-anak itu lalu membuat perjanjian, sebelum semua memakai masker kegiatan tidak akan dimulai.
”Itu cara kami menerapkan disiplin protokol kesehatan kepada anak-anak. Hal ini kami lakukan demi kebaikan bersama. Anak-anak aman bermain dengan kami dan begitu pula sebaliknya,” ujar Eka.
Tak hanya anak-anak, sebagian orang dewasa di pengungsian juga tidak bisa menerapkan protokol kesehatan ketat terus menerus. Memakai masker, misalnya, sering kali tidak dilakukan dengan alasan pengap, lupa memakai masker, atau masker sedang dicuci.
Parinem (75), pengungsi asal Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, misalnya, mengaku kesulitan bernapas jika memakai masker. Untuk itu, ia lebih sering tidak memakai masker, baik saat beraktivitas di dalam bilik maupun di luar bilik. Di dalam bilik, Parinem tinggal bersama tiga lansia lainnya.
”Kalau pakai masker napasnya tidak lega, saya kurang nyaman. Mungkin karena tidak biasa,” kata Parinem saat ditemui di Pengungsian Balai Desa Deyangan.
Salah satu sukarelawan di pengungsian Balai Desa Deyangan, Tio (22), juga terpantu tidak memakai masker, Jumat (13/11/2020) siang. Tio beralasan, ia lupa memakai kembali maskernya setelah makan. ”Saya bawa masker, tapi ketinggalan di atas motor. Tadi habis makan, terus buru-buru jadi lupa tidak dipakai lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Santi (36), pengungsi di pengungsian Balai Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, juga terpantau tidak memakai masker, Jumat pagi. ”Maskernya sedang di cuci. Maklum cuma punya dua, yang satu belum kering dan yang satu belum dicuci,” ucapnya.
Berkerumun
Peristiwa serupa juga terjadi di pengungsian Balai Desa Mertoyudan. Hanya sebagian kecil dari total 187 pengungsi di sana yang mematuhi protokol kesehatan. Di mana-mana masih terlihat pengungsi berkerumun dan tidak menggunakan masker.
Ibu-ibu dan lansia duduk bercangkung dengan lima atau enam orang lain untuk mengobrol, sementara anak-anak bermain kejar-kejaran di depan lokasi pengungsian. Yang menyendiri dan beristirahat tenang di dalam bilik hanya para ibu yang tengah hamil besar.
Rubiyatun (28), pengungsi dari Dusun Babadan II, Kecamatan Dukun, merasa kepanasan dan pengap apabila mengenakan masker di dalam ruangan. Juga karena lokasi pengungsian itu hanya ditempati warga dari satu dusun, ia merasa yakin pengungsi lain tidak ada yang mengidap Covid-19.
Menurut Kepala Dusun Babadan II Sudarno, semua warga yang mengungsi sudah mendapat bantuan masker. Sabun dan air untuk cuci tangan juga disediakan di setiap pintu masuk. Meski demikian, ia mengakui, tetap sulit mengawasi kepatuhan warga agar patuh mengenakan masker dan jaga jarak.
”Relawan di sini terus-menerus mengingatkan warga agar mematuhi protokol kesehatan. Namun, budaya setempat yang guyup membuat mereka sulit dipisahkan dari kebiasaan kumpul-kumpul,” ujar Sudarno, Sabtu (14/11/2020).
Meskipun ada kelemahan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan, setidaknya penentuan lokasi pengungsian kali ini jauh lebih matang daripada 2010. Sudarno menuturkan, pada erupsi Merapi sebelumnya mereka harus tiga kali berpindah tempat pengungsian.
”Tahun 2010 kami harus pindah-pindah lokasi pengungsian, dari sebelumnya yang berjarak 15 km, terus 20 km, terakhir 30 km. Kalau sekarang sudah mending, langsung diungsikan ke Mertoyudan yang jaraknya 30 km dari puncak,” kata Sudarno.
Satu hal yang masih sama dari setiap peristiwa pengungsian adalah kebiasaan warga yang sering meninggalkan pengungsian untuk berladang dan beternak. Salah satu pengungsi, Sudi (60), mengatakan, dirinya bosan jika sepanjang waktu harus berdiam diri selama puluhan hari di lokasi pengungsian.
Warga memang dapat meninggalkan pengungsian untuk pulang pada pagi hari dan kembali pada sore hari. Saat akan meninggalkan lokasi pengungsian, warga harus melapor kepada pengawas di pengungsian. Lalu, saat kembali, warga harus melapor kembali untuk dicek suhu tubuhnya.
Untuk mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah pengungsian, Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang melakukan tes cepat kepada ratusan pengungsi dan sukarelawan di sejumlah tempat. Pengungsi dan sukarelawan yang dinyatakan nonreaktif berdasarkan tes cepat dites usap di Rumah Sakit Umum Daerah Merah Putih Magelang.
Berdasar hasil tes cepat, sembilan orang dinyatakan reaktif. Mereka kemudian dikarantina di RSUD Merah Putih sembari menunggu hasil tes usap. Dari tes usap diketahui, tujuh orang dinyatakan negatif Covid-19. Adapun dua lainnya masih menunggu hasil tes.
”Pada Jumat (6/11/2020) lalu, kami telah melakukan tes cepat kepada para pengungsi. Mulai hari ini, tes cepat kami lakukan kepada sukarelawan di berbagai pengungsian,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Retno Indriastuti, Kamis (12/11/2020).
Baca juga: Sebagian Warga Lansia di Kawasan Rawan Erupsi Merapi Enggan Mengungsi
Dalam tes cepat di pengungsian Balai Desa Deyangan, Kamis siang, sejumlah sukarelawan memilih tidak ikut tes cepat. Mereka langsung berduyung-duyung meninggalkan pengungsian saat petugas berbaju hazmat turun dari ambulans. ”Pergi saja, kalau hasilnya positif, bahaya,” ujar salah satu dari mereka sebelum meninggalkan pengungsian.
”Kami akan mengedukasi relawan agar mau dites cepat. Nantinya, hasil tes cepat itu bisa dibawa misalnya dia berpindah dari pengungsian satu ke pengungsian lainnya,” imbuh Retno.
Mengungsi kala pandemi membutuhkan komitmen besar dari warga serta pemerintah. Longgarnya pengawasan protokol kesehatan di sejumlah titik pengungsian harus segera disikapi bersama dengan merumuskan peraturan yang jelas dan tegas.
Baca juga: Laju Deformasi Merapi Meningkat, Potensi Bahaya Belum Berubah