Penambangan Pasir Merapi Masih Beroperasi, Warga Terdesak Kebutuhan
Di tengah imbauan untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir, khususnya di sempadan dan badan Kali Woro, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih ada petambang yang beroperasi.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
KLATEN, KOMPAS — Di tengah imbauan untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir, khususnya di sempadan dan badan Kali Woro, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih ada petambang yang beroperasi. Kondisi ini memunculkan risiko bahaya mengingat status Gunung Merapi di hulu kali itu telah memasuki Siaga (Level III). Petambang mengaku tak punya alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dari pantauan, Kamis (12/11/2020), aktivitas penambangan pasir terlihat di badan dan sempadan Kali Woro di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang. Sebagian petambang bahkan menambang di dalam radius 5 kilometer dari puncak Merapi, yang telah ditetapkan sebagai zona bahaya erupsi sejak 5 November lalu.
Para petambang melakukan penambangan secara manual di kali tersebut. Truk-truk pengangkut pasir pun lalu lalang di wilayah itu. Kali Woro merupakan salah satu jalur lintasan material erupsi Merapi sehingga dipenuhi pasir dan batu. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pada Rabu (11/11/2020) menyebutkan Kali Woro sebagai salah satu kemungkinan arah luncuran awan panas jika erupsi Merapi terjadi.
Slamet (30), warga Dusun Ngipiksari, Balerante, mengatakan, dirinya terpaksa masih menambang pasir karena hanya itu sumber penghasilannya. Ngipiksari merupakan salah satu dari empat dusun yang masuk radius bahaya erupsi Merapi di Balerante. ”Sebenarnya kalau dibilang khawatir (bahaya Merapi), ya, tentu khawatir. Tapi, kalau tidak menambang, keluarga saya mau makan apa?” ujarnya.
Menurut Slamet, di lokasi penambangan di Ngipiksari saat ini masih banyak yang menambang meski tak seramai seperti saat kondisi Merapi normal. ”Sekitar 100 orang masih menambang. Waktu kondisi normal bisa sampai 200-an orang,” katanya.
Sekitar 100 orang masih menambang. Waktu kondisi normal bisa sampai 200-an orang.
Para petambang manual bekerja secara berkelompok. Slamet biasanya bekerja bersama 2-3 rekan. Pasir hasil penambangan langsung dimuat ke dalam truk. Setiap terisi penuh satu truk (satu rit), para petambang dibayar borongan Rp 450.000. Uang itu lalu dibagi rata kepada setiap anggota kelompok. ”Dalam sehari bisa dapat 1-2 rit,” ucap Slamet.
Ditemui secara terpisah, Sekretaris Desa Balerante Basuki mengakui masih adanya aktivitas penambangan di Kali Woro. Hal ini terjadi meski sudah ada imbauan dari pemerintah untuk menghentikan penambangan, khususnya dalam radius bahaya 5 km dari puncak Merapi sejak status meningkat jadi Siaga pada 5 November.
Menurut Basuki, sejumlah petambang manual masih beroperasi, termasuk di dalam radius bahaya, karena pekerjaan itu menjadi sandaran hidup masyarakat. Namun, ia menambahkan, jika kondisi Merapi semakin kritis, pemerintah desa akan bertindak tegas menertibkan semua petambang.
Selain itu, hilir mudik truk-truk pengangkut pasir juga dinilai berpotensi mengganggu proses evakuasi jika erupsi terjadi. ”Laju kendaraan angkutan untuk evakuasi penduduk bisa terhambat oleh truk-truk ini karena akses jalan sempit,” katanya.
Tambahan pengungsi
Terkait pengungsian, Basuki mengatakan, hingga pencatatan terakhir pada Rabu malam, sebanyak 126 orang telah mengungsi di Balai Desa Balerante yang difungsikan sebagai tempat evakuasi sementara untuk wilayah tersebut. Jumlah ini bertambah dari sehari sebelumnya yang mencapai 88 orang.
Para pengungsi berasal dari empat dusun yang masuk dalam kawasan rawan bencana Merapi di Balerante, yakni Sambungrejo, Ngipiksari, Gondang, dan Sukorejo. Total penduduk di keempat dusun itu adalah 509 jiwa. Saat ini, prioritas warga yang diungsikan adalah kelompok rentan, yakni warga lanjut usia, ibu hamil, anak-anak, dan warga yang sakit.
Basuki mengatakan, jika balai desa penuh, pihaknya telah menyiapkan bangunan SDN 2 Balerante sebagai lokasi pengungsian tambahan. Lokasi itu bersebelahan dengan balai desa. Selain itu, telah didirikan pula satu tenda besar yang bisa dipakai untuk pengungsian di halaman sekolah itu.
”Kalau nanti belum cukup juga, kami akan arahkan pengungsi ke barak pengungsian di desa tetangga di Kebondalem Lor,” ujarnya.