Ekspedisi Econusa Bantu Atasi Kerentanan di Kepulauan Maluku
Yayasan Econusa yang menggelar ekspedisi di Kepulauan Maluku mengungkapkan berbagai kerentanan yang tengah terjadi, seperti kesehatan, pangan, dan lingkungan. Ekspedisi itu membantu mencari solusi bersama masyarakat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
HARUKU, KOMPAS — Yayasan Econusa menggelar ekspedisi dengan mendatangi sejumlah wilayah di Kepulauan Maluku yang terdiri dari Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Ekspedisi bertujuan mengidentifikasi sekaligus berusaha memberikan jalan keluar atas sejumlah kerentanan yang dihadapi masyarakat kepulauan.
Ekspedisi dimulai pada 31 Oktober 2020 dengan menyusuri wilayah Maluku Utara. Sebanyak 8 titik didatangi. Sementara untuk wilayah Maluku dimulai pada 8 November dengan titik tolak di Tulehu, Pulau Ambon. Pada Selasa (10/11/2020), tim ekspedisi tiba di Desa Haruku, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
Perjalanan selanjutnya ke Pulau Nusalaut dan berakhir di Kepulauan Banda dengan mendatangi sejumlah pulau di sana, seperti Run, Ai, Hatta, dan Naira. Di Maluku, total delapan titik yang didatangi. Ekspedisi yang menggunakan kapal pinisi itu akan berakhir pada 16 November 2020.
Chief Executive Officer Yayasan Econusa Bustar Maitar, di Haruku, mengatakan, di beberapa titik yang telah dilewati tim ekspedisi tersebut, pihaknya menemukan tiga kategori kerentanan, yakni kesehatan, pangan, dan lingkungan. ”Masalah kesehatan memang terjadi sejak dulu, kemudian untuk ketahanan pangan dan lingkungan belakangan ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Di sejumlah desa, tidak ada petugas kesehatan. Fasilitas kesehatan pun hampir tidak ada. Pada masa pandemi Covid-19, masyarakat di perdesaan banyak yang belum memahami protokol Covid-19. ”Bahkan, di salah satu puskesmas, petugas belum tahu bagaimana cara menggunakan alat rapid test (tes cepat Covid-19),” kata Bustar.
Menurut dia, kondisi tersebut sudah berlangsung lama. Perhatian terhadap pelayanan kesehatan bagi warga di kepulauan tidak banyak berubah sejak dulu. Dalam ekspedisi tersebut, mereka mengajak dokter dan perawat memberikan pengobatan dan sosialisasi kesehatan. Mereka juga menyerahkan bantuan alat pelindung diri Covid-19.
Sementara, untuk kerentanan pangan, Econusa pernah terlibat dalam pendampingan masyarakat di Desa Samo, Kabupaten Halmahera Selatan. Tahun lalu, warga desa yang sudah 25 tahun tidak menanam padi, diajak kembali menanam padi. Mereka tidak lagi menanam padi lantaran hadirnya bantuan beras dari pemerintah. Juga banyak beras murah di pasaran.
Econusa lalu membantu menghadirkan enam jenis bibit padi dari Halmahera Timur. Masyarakat diminta menanam padi. Tahun ini, mereka memanen padi yang kemudian dikonversi menjadi 2,5 ton beras. ”Hasil panen ini menyelamatkan warga sebab selama masa pandemi, kapal yang biasa jual beras tidak masuk ke desa itu,” ujar Bustar. Desa itu kembali disinggahi pada ekspedisi kali ini.
Adapun kerusakan lingkungan semakin masif. Di Halmahera, misalnya, areal pertanian masyarakat diambil alih perusahaan dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat kehilangan lahan dan dipaksa menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Hutan juga dibabat kemudian dibakar. Ketersediaan air di daerah itu kini merosot.
Di Maluku, kerusakan lingkungan yang paling disoroti adalah untuk wilayah perairan. Ini mencakup sampah dan penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti potasium, bom, dan pukat harimau. Di sejumlah pesisir terdapat kerusakan terumbu karang yang sangat parah. Masyarakat didorong ikut menjaga lingkungan demi keberlanjutan sumber daya tersebut.
Di Desa Haruku, tim ekspedisi mendapati komunitas setempat yang aktif menjaga kelestarian lingkungan, baik di darat maupun di laut. Di sana terdapat pranata adat dengan tugas menjaga lingkungan yang dinamakan kewang. Pranata adat itu didukung penuh oleh pemerintah dan agama.
Eliza Kissya, Kepala Kewang Haruku, mengatakan, budaya menjadi kekuatan bagi mereka untuk menjaga kelestarian lingkungan di desa itu. Sejumlah apresiasi dan penghargaan telah mereka terima. Di antaranya, tahun 1985, Kewang Haruku diberi penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan dan Satyalencana Pembangunan tahun 1999.
Salah satu aturan yang diatur di desa itu adalah sekitar 1 kilometer perairan sepanjang kampung itu tidak boleh ada aktivitas menangkap ikan. Juga sungai yang membelah Haruku untuk sementara ”disasi”, artinya siapa pun dilarang mengambil ikan. Larangan itu berlaku dalam periode waktu tertentu.
Mereka membiarkan ekosistem kembali pulih hingga tiba saat yang tepat untuk dipanen. Setahun sekali dalam upacara adat, ikan-ikan di pesisir itu ”dipanggil” masuk ke badan sungai saat air laut sedang pasang maksimal. Setelah ikan masuk ke sungai, kewang mengumumkan kepada semua masyarakat bahwa mereka sudah boleh memanen ikan.
Pengumuman tanda dibukanya larangan sasi dilakukan pada malam hari ke seluruh penjuru kampung. Keesokan paginya, ikan dipanen. Ribuan orang turun ke sungai, tidak hanya warga Haruku. Jenis ikan yang paling banyak ditangkap adalah Trissina baelama atau dalam bahasa lokal disebut ikan lompa.
Gitaris band Slank, Ridho Hafiedz (46), yang ikut dalam ekspedisi itu, juga berpesan agar masyarakat pesisir terus menjaga kelestarian laut. Laut menjadi tumpuan hidup banyak orang mengingat sebagian besar wilayah Maluku terdiri atas laut. Selama ekspedisi, musisi berdarah Ambon itu melakukan transplantasi karang di sejumlah titik penyelaman.