Habib Luthfi : Agama, Nasionalisme, dan Ekonomi Pilar Pemberdayaan Umat
Habib Luthfi bin Yahya, ulama karistmatik serta tokoh kebangsaan, dianugerahi gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang komunikasi dakwah dan sejarah kebangsaan oleh Universitas Negeri Semarang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Komunikasi dakwah yang dikemas dalam tiga pilar, yakni agama, kebangsaan atau nasionalisme, serta perekonomian menjadi kunci pemberdayaan umat. Tiga serangkai tersebut akan berjalan paralel dengan cita-cita kemajuan bangsa.
Rais Aam Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya mengatakan hal tersebut saat penganugerahan dirinya sebagai doktor kehormatan (honoris causa) bidang komunikasi dakwah dan sejarah kebangsaan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes), di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (9/11/2020).
Habib Luthfi, lewat orasi ilmiah berjudul "Strategi Komunikasi Pembedayaan Umat dan Sejarah Kebangsaan" mengatakan, tiga elemen itu penting jika mengacu bahwa rasa nasionalisme pada bangsa cenderung mulai terkikis. Pengetahuan dan sejarah kebangsaan akan membentuk karakter cinta Tanah Air.
"Pemberdayaan umat akan menjadi cemerlang tatkala sejarah kebangsaan diberdayakan sebagai daya ungkit umat untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Rangkaian itu akan paralel pada (program) SDM unggul untuk Indonesia maju, yang digagas Presiden Joko Widodo," katanya.
Habib Luthfi menuturkan, di era media sosial, dengan semakin terbukanya informasi, penggunaan bahasa menentukan kondisi beragama, berbangsa, dan bernegara. Maraknya penyebaran kabar bohong atau hoaks serta ujaran kebencian akan membuat keadaan kacau.
Oleh karena itu, pendakwah, sebagai figur publik, perlu mengutamakan hal-hal yang tak menyimpang dari khazanah beragama dan bernegara. "Sebagaimana dicontohkan Nabi Besar Muhammad SAW, dakwah luar biasa ialah dakwah tanpa hunusan pedang atau senjata. Sebaliknya, yakni dakwah dengan kelembutan bahasa dan sikap," kata Habib Luthfi.
Pada akhirnya, kata Habib Luthfi, generasi penerus dituntut meneruskan warisan para leluhur bangsa. Sebab, sejak lama, leluhur bangsa telah mewujudkan kebhinekaan. Antara lain terbukti dengan terbangunnya Candi Borobudur dan Prambanan meski berbeda ideologi.
Habib Luhtfi, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, merupakan doktor kehormatan ke-7 Unnes. Rektor Unnes Fathur Rokhman menilai, Habib Luthfi memenuhi syarat untuk menerima gelar yang diproses melalui dialog dan pengkajian sekitar enam bulan.
"Beliau dikenal sebagai tokoh kebangsaan yang setiap orasi dan perilakunya menunjukkan semangat untuk merekatkan NKRI. Strategi komunikasi dakwah beliau juga luar biasa, serta memiliki kapasitas ketokohan dan keilmuan dalam bidang sejarah kebangsaan," ujar Fathur.
Presiden Joko Widodo, melalui tayangan video, menuturkan penghargaan akademik itu menjadi pengakuan dunia pendidikan tinggi terhadap kedalaman ilmu dan kontribusi Habib Luthfi dalam mencerdaskan dan memberdayakan umat, serta memperkokoh kebangsaan.
Menurut Presiden, Habib Luthfi merupakan ulama karismatik yang senantiasa menyerukan cinta Tanah Air dalam setiap ceramah serta sikapnya. "Habib Luthfi juga konsisten mensyiarkan dakwah Islam yang mengedepankan nilai-nilai patriotisme dan pemberdayaan ekonomi umat," kata Presiden.
Selain itu, lanjut Presiden, Habib Luthfi telah memberi contoh bagaimana semestinya tokoh agama berdakwah di tengah kemajemukan. Dengan dakwah secara persuasif, Habib Luthfi menjadi teladan dalam berdakwah dalam bingkai cinta Tanah air dan bangga berbangsa Indonesia.
Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengemukakan, Habib Luthfi mungkin bukan doktor peneliti. Namun, hampir seluruh perkataan, perbuatan, dan referensi yang diberikan kepada masyarakat sudah melebihi pemilik gelar doktor yang sebenarnya.
Ceramah-ceramah Habib Luthfi selalu menyejukkan dan penuh semangat nasionalisme. “Jarang sekali orang kayak beliau, yang juga konsisten. Enggak pernah meleset-meleset. Maka tepatlah kalau beliau mendapatkan anugerah tertinggi akademisi itu,” kata Ganjar.