Konsumen Berhak Komplain, Jangan Hanya Menerima dan Diam
Komplain terhadap layanan atau barang yang diterima merupakan hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang. Namun, tidak sedikit konsumen yang dirugikan memilih menerima dan diam ketimbang menuntut haknya.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Komplain terhadap layanan atau barang yang diterima merupakan hak konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang. Namun, tidak sedikit konsumen yang dirugikan lebih banyak memilih menerima dan diam ketimbang menuntut hak-haknya.
Budaya ’nrimo’ atau menerima dirasa masih menjadi salah satu ganjalan dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Oleh karena itu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional terus berupaya menyosialisasikan pentingnya komplain konsumen.
Hal itu mengemuka di sela-sela penandatanganan naskah kesepahaman antara Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Universitas Jember, Jumat (6/11/2020). Gagasan tersebut dilontarkan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Hambali.
Rizal mengatakan, dari data survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, skor mengenai pengetahuan konsumen akan haknya dan pengajuan komplain masih rendah. Padahal, aturan mengenai perlindungan konsumen sudah diundangkan sejak 1999 melalui Undang-Undang Nomor 8 mengenai Perlindungan Konsumen yang jelas menyatakan hak-hak konsumen dilindungi oleh negara.
”Jika uang kembalian sepuluh rupiah tidak diberikan, umumnya konsumen kita memaklumi atau nrimo saja. Padahal, jika diakumulasikan, jumlahnya besar juga. Mestinya konsumen berhak protes kepada penjual,” tutur Rizal.
Rizal menilai pengetahuan akan hak-hak konsumen di kalangan masyarakat Indonesia masih minim. Akibatnya, konsumen yang dirugikan lebih banyak memilih menerima ketimbang menuntut hak-haknya.
Rizal meyakinkan bahwa konsumen seharusnya tidak perlu ragu untuk mengajukan komplain. Pasalnya, pihaknya siap memberikan advokasi perlindungan konsumen. Hal itu tampak dalam sikap BPKN dalam kasus gagal bayar asuransi, kasus nasabah bank perkreditan rakyat yang tak bisa mengambil tabungannya hingga pengelola umrah yang gagal memberangkatkan jemaahnya.
”Kami juga bersinergi dengan aparat penegak hukum agar tak ragu menggunakan pasal-pasal yang memberikan hukuman pidana bagi produsen yang wan prestasi kepada konsumennya seperti Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai efek jera,” imbuhnya.
Oleh karena itu, guna menyosialisasikan dan meningkatkan kesadaran akan hak konsumen, BPKN terus berupaya menjalin kerja sama dengan banyak pihak, salah satunya kampus perguruan tinggi. Rizal berharap, Universitas Jember dapat mengambil peran sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kami juga bersinergi dengan aparat penegak hukum agar tak ragu menggunakan pasal-pasal yang memberikan hukuman pidana bagi produsen yang wanprestasi kepada konsumennya, seperti Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai efek jera.
Rektor Universitas Jember Iwan Taruna menyambut baik jalinan kerja sama tersebut. Ia mengatakan, Universitas Jember tidak akan hanya berhenti pada sosialisasi tentang hak-hak konsumen.
”Selain menyosialisasikan hak-hak konsumen, bentuk kerja sama yang bisa dilakukan bisa berupa riset dan kegiatan ilmiah lainnya. Kerja sama ini juga membuka peluang bagi mahasiswa Universitas Jember untuk magang untuk mendalami masalah perlindungan konsumen seperti yang diprogramkan dalam Kampus Merdeka.
Minat bekerja sama juga dilontarkan oleh beberapa dekan yang mengikuti kegiatan ini secara daring. Seperti yang disampaikan oleh Sutriono, Dekan Fakultas Pertanian yang tertarik mempertemukan Program Studi Agribisnis dengan BPKN RI.
”Beberapa rekan dosen dan mahasiswa sudah melakukan penelitian terkait perdagangan tembakau di Jember dan menemukan fakta di mana tembakau petani sering ditolak dengan alasan mutunya tidak sesuai dengan standar yang ada. Perlu perlindungan konsumen dalam kasus seperti ini agar petani tidak selalu jadi korban,” tuturnya.