Memacu Potensi Geoekonomi Kota Magelang
Kota Magelang di Jawa Tengah memiliki wilayah sempit dan minim potensi alam. Dua hal ini yang akan menjadi tantangan besar bagi jalannya pemerintahan baru pascapilkada serentak 2020.
Kota Magelang merupakan daerah mungil dan minim sumber daya alam di Jawa Tengah. Meski wilayahnya tersempit dari 34 kota/kabupaten lain, daerah ini menyimpan potensi geoekonomi karena letaknya strategis, menghubungkan kawasan utara dan selatan.
Tuti Cudara (45) bingung saat mencarikan rumah di Kota Magelang bagi Dea (20), anak semata wayangnya yang dua tahun lalu menikah dan kini sudah hamil empat bulan. Semua informasi sudah didatangi, tetapi hasilnya nihil. Ia menyerah dan akhirnya berpikir untuk mengoptimalkan rumahnya dengan membangun lantai dua sehingga ruangan pun bertambah.
”Karena rasanya tidak mungkin mencari lokasi dan bangunan baru, sebisa mungkin saya mengoptimalkan fungsi tanah dan bangunan yang sudah ada saja,” ujar Tuti, warga Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, yang sehari-hari berjualan sebagai pedagang jamu keliling, Rabu (4/11/2020).
Tuti sebenarnya kerap membantu kerabatnya mencari aset tanah atau rumah di seputaran Kota Magelang. Sekitar lima tahun lalu, dia masih bisa mendapatkan tanah di dekat pusat kota karena kebetulan pemilik tanah terdesak kebutuhan untuk membayar pinjaman di bank. Namun, jika pemilik rumah tidak terdesak kebutuhan, sangat sulit mendapatkan lahan di tengah kota.
”Intinya, untuk mendapatkan tanah atau rumah dengan harga terjangkau di tengah Kota Magelang, sepertinya harus ketemu orang yang kepepet dulu,” ujar Tuti disusul tawa.
Bukan hanya warga, kesulitan akibat sempitnya ruang gerak juga dirasakan pelaku usaha. General Manager Hotel Atria Magelang Lindawaty Muhlis menuturkan, meski memiliki 142 kamar, keterbatasan lahan membuat kapasitas parkir hanya terbatas untuk 70 kendaraan roda empat.
Akibatnya, saat okupansi hotel di ruas protokol Jalan Jenderal Sudirman tersebut mencapai 70 kamar atau sedang ada acara-acara tertentu, kesulitan parkir jadi keluhan tamu. ”Kami kerap meminta karyawan untuk tidak membawa mobil saat bekerja,” ujar Lindawaty.
Selain itu, manajemen Hotel Atria juga terpaksa menyewa lahan-lahan kosong dengan radius hingga 2 kilometer untuk dijadikan tempat parkir dadakan. Untuk mengantar jemput penumpang dari areal parkir ke hotel atau sebaliknya, Hotel Atria menyediakan mobil khusus.
Baca juga : Pemkot Magelang Lanjutkan Proyek Fisik Tanpa Ganggu Anggaran Covid-19
Selain masalah lahan, menurut Lindawaty, Kota Magelang juga minim potensi alam yang bisa menjadi pemikat kunjungan wisata. Wisata yang bisa dilakukan di kota sebatas berjalan-jalan di Gunung Tidar atau arung jeram di Sungai Elo-Progo bagian atas. Jika tamu menginginkan di luar itu, pihak hotel akan mengarahkan mereka menikmati paket wisata di wilayah Kabupaten Magelang yang memang memiliki lebih banyak destinasi.
Namun, agar tamu tetap bisa menikmati wisata dalam kota, sejumlah hotel termasuk Hotel Atria, kreatif menawarkan paket wisata bekerja sama dengan berbagai pihak.
”Kami tawarkan paket wisata mulai dari paket golf, jalan-jalan ke berbagai museum, hingga paket merasakan latihan kepemimpinan di Akmil (Akademi Militer). Karena potensi alam terbatas, kami pun harus kreatif,” ungkap Lindawaty.
Baca juga : Pembangunan Kota Magelang Jadi Bahan Saling Sindir dalam Debat Pertama
Keterbatasan lahan
Kota Magelang hanya memiliki luas wilayah 18,54 kilometer persegi atau sekitar 0,06 persen dari total wilayah Provinsi Jateng. Meski wilayahnya hanya secuplik, kota ini berperan menjadi wilayah penghubung atau transit bagi sejumlah daerah di sekitarnya.
Kota Magelang punya posisi strategis karena berada di jalur Semarang-Yogyakarta. Kota Magelang juga terhubung dengan Kabupaten Purworejo yang berada di jalur selatan dan Kabupaten Temanggung di jalur tengah. Daerah ini juga bisa tersambung dengan Kota Salatiga melalui jalur Kopeng di lereng Gunung Merbabu. Sebelum pandemi, seiring keberadaan sejumlah hotel berbintang dengan ruang pertemuan luas, Kota Magelang semakin kerap dijadikan lokasi rapat, lokakarya, maupun seminar di tingkat provinsi.
Seiring keberadaan sejumlah hotel berbintang dengan ruang pertemuan luas, Kota Magelang semakin kerap dijadikan lokasi rapat, lokakarya, maupun seminar di tingkat provinsi.
Selain itu, dengan posisi yang bertetangga dengan Kabupaten Magelang, Kota Magelang menjadi wilayah transit pendukung pengembangan kawasan Candi Borobudur sebagai salah satu destinasi super prioritas pemerintah. Kota ini juga memiliki peluang untuk berkembang pesat seiring rencana pemerintah mengaktifkan kembali jalur kereta api lama, Semarang-Yogyakarta via Magelang dan pembangunan jalan tol ruas Bawen-Yogyakarta, yang direncanakan memiliki pintu keluar di Magelang.
Meski memiliki posisi strategis, dengan areal yang sempit, masalah tata ruang diperkirakan semakin menjerat. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Magelang memprediksi Kota Magelang akan mengalami masalah kekurangan lahan.
”Pada 2031, Kota Magelang akan kekurangan lahan sekitar 200 hektar, termasuk untuk areal permukiman penduduk,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Magelang Yonas Nusantrawan Bolla.
Kekurangan areal tersebut diprediksi dengan memperhitungkan kemungkinan peningkatan jumlah penduduk yang pada tahun 2018 terdata sebanyak 132.662 orang dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 0,38 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, kepadatan penduduk Kota Magelang tahun 2019 mencapai 6.588 jiwa per kilometer persegi. Angka ini lebih tinggi ketimbang kepadatan penduduk di Kota Semarang, ibu kota Jateng, yakni 4.780 per kilometer persegi.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, Pemkot Magelang sudah berupaya mengantisipasi dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Magelang Nomor 2 Tahun 2020. Di dalamnya, termuat kelonggaran untuk membuat bangunan bertingkat, yang sebelumnya dibatasi tiga lantai untuk rumah tinggal, kini dilonggarkan menjadi empat lantai.
Di dalam perda itu, termuat kelonggaran untuk membuat bangunan bertingkat, yang sebelumnya dibatasi tiga lantai untuk rumah tinggal, kini dilonggarkan menjadi empat lantai.
Pemkot Magelang juga mulai membuka akses pembangunan apartemen hingga 10 lantai. Dengan kelonggaran tersebut, kebutuhan tempat tinggal bagi warga diharapkan bisa terpenuhi dengan bangunan vertikal. ”Satu-satunya pilihan memiliki rumah tapak adalah di wilayah Kabupaten Magelang,” ujar Yonas.
Keterbatasan lahan juga menjadi kendala pengembangan investasi di wilayah berjuluk ”Kota Sejuta Bunga” ini. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Magelang, sejak 2016 hingga pertengahan 2020, sedikitnya 10 investor membatalkan rencana investasi karena keterbatasan lahan. Kebanyakan hendak menanamkan modal di sektor properti, yakni hotel, restoran, dan rumah sakit.
Kepala Bidang Pengendalian, Pelaksanaan, dan Penanaman Modal DPMPTSP Kota Magelang Titik Hidayati mengatakan, pembatalan rencana investasi pernah diungkapkan langsung sebuah grup pengembang besar yang banyak beroperasi di Jakarta dan Surabaya. ”Meski semula sangat bersemangat berinvestasi di kawasan Alun-alun Magelang, pengembang itu tiba-tiba pesimistis karena luas areal yang tersedia kurang dari 0,5 hektar.”
Dari segi lokasi dinilai strategis, tetapi menurut mereka, luas lahan terbilang nanggung,” ujarnya.
Saat ini, aset lahan Pemkot Magelang yang masih bisa ditawarkan untuk penanaman investasi hanya 3,2 hektar dan tersebar di tiga lokasi. Titik mengatakan, pihaknya juga berupaya mendekati pihak swasta, baik pelaku usaha maupun orang pribadi yang memiliki aset tanah tak terpakai. Dengan persetujuan pemilik, aset tanah tersebut juga ditawarkan ke investor.
Bahkan, dalam sejumlah ajang promosi dan forum-forum bisnis di kota-kota, masalah lahan selalu jadi keluhan investor kendati program dan keringanan biaya yang ditawarkan pemerintah sudah menarik. ”Keterbatasan lahan ini memang membuat Kota Magelang seolah ’susah bergerak’,” kata Titik.
Baca juga : Sejuta Bunga demi ”Tuin van Java”
Kontestasi
Adapun Pilkada Kota Magelang 2020 diikuti dua pasangan calon (paslon). Paslon nomor urut 1, yakni Muchammad Nur Aziz-KH M Mansyur, diusung PKB (3 kursi), PKS (3), Golkar (3), dan Partai Demokrat (3). Duet pasangan dokter dan tokoh NU ini mengantongi total 12 kursi.
Selanjutnya, paslon nomor urut 2, yaitu Aji Setyawan dan Windarti Agustina. Keduanya diusung PDI-P dengan 9 kursi, Hanura (2), Perindo (1), dan Gerindra (1), atau total 13 kursi. Aroma politik dinasti erat dengan pasangan ini karena Aji, yang juga anggota DPRD Kota Magelang, adalah putra Wali Kota Magelang dua periode, Sigit Widyonindito (2010-2015 dan 2016-2021). Sementara pasangannya, Windarti Agustina, adalah Wakil Wali Kota Magelang petahana.
Baca juga : Riwayat Peradaban Garnisun Lembah Tidar
Kedua paslon sepakat, keterbatasan sumber daya alam jadi kendala pembangunan di Kota Magelang. Namun, menurut Nur Aziz, Kota Magelang tetap berpotensi maju dan berkembang. Dua hal yang bisa dikembangkan adalah sektor kesehatan dan pendidikan.
”Dengan membenahi dan melengkapi fasilitas di RSUD Tidar dan Universitas Tidar, Kota Magelang nantinya bisa jadi rujukan layanan kesehatan dan pendidikan,” ujarnya.
Sementara Aji Setyawan mengatakan, pihaknya hanya akan berusaha melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan dari pemerintah sebelumnya. Diakuinya, pembangunan daerah tak akan mudah, terutama karena alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat dipangkas untuk mengatasi pandemi Covid-19. Sementara Windarti menilai, Kota Magelang bisa mengembangkan semua potensinya menjadi kota jasa dan pendidikan.
Tantangan pemimpin baru Kota Magelang tak mudah. Di kota yang sempit, arah pembangunan semestinya lebih terfokus. Kolaborasi dengan pihak lain untuk mengatasi keterbatasan lahan bisa dijajaki. Yang pasti, mereka diharapkan mengubah tantangan menjadi peluang dengan mengoptimalkan posisi strategis wilayah.