19 Dugaan Kasus Pelanggaran Netralitas ASN di Kalbar Selama Masa Kampanye
Selama masa kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati di tujuh kabupaten di Kalimantan Barat, ada 19 dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara. Tiga kasus di antaranya sudah dinyatakan ada pelanggaran.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·2 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu Kalimantan Barat mencatat 19 dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara selama masa kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati di tujuh kabupaten yang menggelar pilkada. Akademisi mendorong pelanggar netralitas dikenai sanksi setimpal untuk memberi efek jera.
Sebanyak tujuh kabupaten di Kalimantan Barat menggelar pilkada serentak tahun ini. Tujuh kabupaten tersebut adalah Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi dan Sekadau, Bengkayang, Sambas, serta Ketapang.
Komisioner Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat, Faisal Riza, Selasa (3/11/2020), menuturkan, di masa kampanye, berdasarkan pengawasan di media sosial ada 19 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN. Dari jumlah itu, ada seorang ASN dan dua kepala desa yang dinyatakan melanggar netralitas.
”Satu ASN dan dua kepala desa di Ketapang tersebut telah kami nyatakan melanggar netralitas. Pelanggaran ASN telah diserahakan ke Komisi ASN. Untuk kepala desa rekomendasinya sudah diserahkan kepada Penjabat Bupati Ketapang,” ujar Faisal.
Mereka melanggar netralitas karena berfoto di media sosial yang menunjukkan dukungan kepada pasangan calon bupati dan wakil bupati. Proses verifikasinya dengan berbagai hal, misalnya mencocokkan foto di media sosial dengan data kepegawaiannya.
Penjabat Bupati Ketapang padahal sudah membuat surat edaran yang menekankan ASN harus netral. Namun, pelanggaran itu masih terjadi terutama di kecamatan dan desa karena diduga jauh dari jangkauan dan pengawasan.
Sementara untuk belasan dugaan pelanggaran netralitas ASN lainnya di berbagai wilayah masih dalam penelusuran. Pekan depan, Bawaslu Provinsi Kalbar akan melihat progres penelusuran di tingkat kabupaten. Namun, tren pelanggaran netralitas ASN diduga meningkat karena ada ternyata banyak temuan saat penelusuran.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jumadi, menilai, ada regulasi resmi yang mengatur soal netralitas ASN. Jika ada pelanggaran netralitas ASN dan terdapat bukti yang cukup, perlu ada sanksi hingga pemberhentian status sebagai ASN.
Menurut Jumadi, adanya temuan dugaan ketidaknetralan ASN kemungkinan dipicu tarikan emosional. Adapun pada level desa dan kecamatan ada pengaruh politik identitas. Selain itu, bisa jadi ada faktor janji-janji tertentu yang disampaikan salah satu pasangan calon kepada ASN.
”Janji-janji itu, misalnya, kalau si ASN bisa menjadi bagian tim sukses nanti ada kompensasi jabatan atau pindah dari tempat tugas jika salah satu pasangan calon kepala daerah menang dalam pilkada,” kata Jumadi.
Namun, Jumadi menekankan, apa pun bentuknya, ASN dilarang menjadi partisipan dalam kontestasi politik. Untuk itu, jika ada pelanggaran netralitas ASN, perlu ada pembelajaran dengan memberikan sanksi setimpal. Penyebabnya, ASN harus bersikap profesional. Jika ASN terlibat dalam politik, hal itu akan merusak profesionalisme mereka sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.