Universitas Sam Ratulangi Terima Hibah Kapal Eks Asing
Universitas Sam Ratulangi akan menerima sebuah kapal ikan eks asing sitaan negara senilai Rp 15 miliar demi menunjang kegiatan akademik.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Universitas Sam Ratulangi, Manado, akan menerima sebuah kapal ikan eks asing sitaan negara senilai Rp 15 miliar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan demi menunjang kegiatan akademik. Perubahan kebijakan ini, dari menenggelamkan menjadi menghibahkan kapal asing, diharapkan tak membuat pemerintah melunak dalam pemberantasan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.
Dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Jumat (23/10/2020), Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Grevo Gerung mengatakan, kapal diserahkan secara simbolis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Rabu (21/10/2020). Detail terkait jenis kapal, alat tangkap, dan ukuran kapal belum disepakati.
”Kapal perikanan sitaan itu untuk menunjang praktik mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, untuk penelitian juga. Jenis kapalnya nanti tergantung kami, mau ambil kapal yang mana di antara kapal sitaan. Apakah kapal pengangkut, penangkap, atau kapal lampu, tinggal kita lihat mana yang siap,” kata Grevo.
Kapal yang diminta Unsrat bernilai sekitar Rp 15 miliar dengan kualitas bagus dan fasilitas lengkap, termasuk alat tangkap. Ukuran kapal disebut cukup besar untuk berlayar di laut dalam ataupun laut lepas. Alat tangkap diharapkan dapat dimodifikasi sehingga mahasiswa dapat belajar menggunakan berbagai jenis secara langsung.
Unsrat pernah memiliki kapal perikanan pada dekade 1990-an, tetapi sudah rusak. ”Kami butuh kapal itu untuk kepentingan Unsrat karena harga kapal, kan, mahal. Jadi, kami lebih baik menerima apa yang disediakan pemerintah, tinggal kami maksimalkan,” ujar Grevo.
Dari segi akademik, menurut Grevo, keberadaan kapal ini dapat mendukung program Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar yang ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mahasiswa dapat menghabiskan satu semester di kapal untuk mendapatkan kemampuan praktis. Hasil perikanan yang ditangkap pun dapat dikelola sendiri oleh mahasiswa. Hal ini juga mendukung Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan.
Unsrat pun mendukung kebijakan pemerintah untuk menghibahkan kapal ke perguruan tinggi alih-alih menenggelamkannya. Asas manfaat kapal, terutama yang masih bagus, perlu diutamakan selama kapal-kapal itu telah disita negara melalui proses peradilan. Penenggelaman kapal dikhawatirkan malah mencemari laut dan merusak terumbu karang.
”Kalau kapal melakukan perlawanan saat mau ditangkap (ketika penindakan), ya, tembak saja. Kalau putusan pengadilan (kapal) dihancurkan, ya dihancurkan. Kalau disita, bisa kita manfaatkan,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, penyerahan kapal eks asing kepada perguruan tinggi merupakan kebijakan baru. Kapal-kapal yang sudah secara inkrah disita negara akan dapat membantu mahasiswa lebih memahami praktik perikanan, melampaui sekadar teori.
”Selama ini, yang menangkap ikan kebanyakan tidak berpendidikan formal sehingga hasilnya juga kurang memuaskan. Harapan kami, pola seperti ini dapat mencerdaskan bangsa. Mahasiswa-mahasiswa bisa menjadi pengusaha perikanan yang mengerti teknologi canggih sehingga bisa menyaingi pelaku usaha dengan kapal-kapal asing,” ujarnya.
Menurut Pung, sudah banyak perguruan tinggi yang menyatakan ketertarikan untuk menerima hibah kapal eks asing, termasuk Unsrat. Ia berharap semakin banyak perguruan tinggi yang mengajukan permohonan hibah kapal tersebut.
Jangan sampai diserahkan ke kampus lalu mangkrak karena ketidaksiapan kampus mengalokasikan anggaran.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M Abdi Suhufan menyampaikan, proses hukum kapal yang diserahkan ke perguruan tinggi harus sudah tuntas. Perguruan tinggi pun mesti menyiapkan anggaran operasional kapal itu, seperti biaya bahan bakar, logistik, dan pemeliharaan.
”Aspek keberlanjutannya harus diperhatikan betul. Jangan sampai diserahkan ke kampus lalu mangkrak karena ketidaksiapan kampus mengalokasikan anggaran,” kata Abdi.
Ia berharap perubahan kebijakan dari penenggelaman kapal menjadi penghibahan tetap diikuti penindakan tegas dan proses hukum terhadap kapal ikan asing yang masuk ke Indonesia. ”Pengawasan harus tetap konsisten, jangan kendur sehingga ada perubahan persepsi dunia internasional bahwa Indonesia sekarang lebih soft,” ujarnya.
Pengelola Fisher Center Bitung, Laode Hardiani, menambahkan, nelayan kecil mengkhawatirkan perubahan pendekatan pemerintah. Mereka khawatir ini akan diikuti pemberian izin perikanan kepada kapal dan nelayan asing di wilayah Indonesia. ”Nelayan yang kapalnya 5-10 gros ton khawatir karena selama ini wilayah perikanan mereka sudah lebih dekat dan hasilnya bagus,” ujarnya.
Hibah kapal, yang sempat diwacanakan akan diberikan kepada kelompok dan koperasi nelayan, juga ia sangsikan. Pembiayaan operasional sangat besar, sedangkan kompetensi sumber daya manusia untuk mengoperasikan dan merawat kapal masih relatif rendah. Sebab, kapal ikan asing umumnya memiliki teknologi yang lebih canggih.
Hardiani juga meminta pemerintah tetap mengawasi penggunaan hibah kapal. ”Kapal hibah dari KKP kepada koperasi nelayan saja banyak yang mangkrak. Ada juga yang malah menyewakannya untuk jadi lahan bisnis baru,” katanya.