Ribuan Anak Terpapar Paham Radikalisme, Butuh Penanganan Semua Pihak
Sekitar 1.800 anak Indonesia dari sekitar 500 anggota Negara Islam di Irak dan Suriah sudah terpapar paham radikalisme. Mengatasi generasi muda seperti ini menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama keluarga dekat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sekitar 1.800 anak Indonesia dari sekitar 500 anggota Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS warga Indonesia terpapar paham radikalisme. Selain itu, masih ada ribuan anak yang juga terpengaruh paham radikal dari pihak lain karena salah mengajarkan ajaran tertentu. Mengatasi generasi muda seperti ini menjadi tanggung jawab semua komponen masyarakat, terutama keluarga dekat dan perlu penanganan cepat termasuk rehabilitasi sosial dan psikologi anak.
Hal ini dikemukakan staf Bidang Perlindungan Anak Korban Stigmatisasi dan Jaringan Terorisme Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Hasan, dalam ”Forum Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Anak Korban Stigmatisasi Jaringan Terorisme” di Kupang, Kamis (22/10/2020). Anak yang dimaksud dalam pembahasan terkait pengaruh terorisme, usia 3-24 tahun. Kelompok ini sangat rentan terhadap pengaruh paham radikalisme atau terorisme.
Paling tidak, menurut Hasan, saat ini ada sekitar 1.800 anak dari 500 warga Indonesia yang diduga masuk jaringan teroris ISIS dan terpapar paham radikal ini.
”Mereka telah diberi stigma sebagai anak-anak kelompok teroris sehingga perlu segera diselamatkan agar kembali menjadi anak-anak yang cinta NKRI, Pancasila, dan kebinekaan,” ujarnya.
Jumlah ini diambil dari data 500 WNI anggota ISIS yang diduga telah berada di Indonesia. Mereka semua itu telah menikah dan memiliki anak, yang saat ini ada dalam penguasaan mereka. Belum termasuk ribuan anak yang terpapar radikalisme dari sekolah dan guru agama yang salah mengajarkan agama.
Contoh kasus terorisme yang melibatkan anak, seperti peristiwa bom terhadap tiga gereja dan Polrestabes Surabaya pada 13-14 Mei 2018. Dalam kasus itu, tujuh anak dirawat di RS Bhayangkara Polda Jawa Timur, tiga anak terduga teroris di dusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris ditangkap di Jalan Sikatan, dan satu anak terlibat dalam aksi bom di depan Kantor Polrestabes Surabaya.
Ia mengatakan, perlu ada perlindungan hukum terhadap anak-anak dari kelompok terduga teroris ini. Menangani anak-anak ini bukan hanya pemerintah dan pemda, melainkan juga semua komponen masyarakat. Bagi anak-anak yang berasal dari orangtua yang telah bergabung dalam organisasi ISIS, pembinaan sebagian besar diserahkan kepada pemda, tokoh agama, lembaga keagamaan, dan keluarga dekat yang memiliki pemahaman kuat tentang NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga bukan kelompok teroris, diingatkan agar sejak awal harus menjaga, melindungi, dan mengawasi anak-anak agar tidak terpengaruh atau terpapar paham radikalisme dari kelompok yang salah memahami agama tertentu.
Perilaku setiap anak di rumah perlu dipantau dan diawasi. Jika terjadi perubahan sikap dan perilaku mendadak terhadap orangtua, anggota keluarga, atau orang sekitar dengan cara menutup diri di dalam kamar, fokus pada media sosial, dan sering bentrok dengan orangtua, itu pertanda anak sudah terpapar paham radikal.
”Paham radikal bisa mereka dapatkan dari sekolah, asrama, kegiatan keagamaan dari tokoh agama atau orang lain yang salah mengajarkan agama, teman-teman yang sudah terpapar lebih awal, dan belajar sendiri dari media sosial,” kata Hasan.
Ketika mereka sudah terpapar paham radikalisme, orang-orang di luar kelompok mereka dianggap kafir dan harus disingkirkan, termasuk orangtua sekalipun. Sikap ini menurut Hasan berbahaya sehingga perlu diwaspadai sejak dini.
Stigmatisasi terhadap anak-anak ini berpengaruh buruk terhadap masa depan anak-anak itu. Tugas dan tanggung jawab negara dan seluruh komponen bangsa bagaimana mengembalikan anak-anak menghayati nilai-nilai agama secara baik dan benar.
Ia menegaskan, tidak ada agama yang mengajarkan pembunuhan, pembantaian, kebencian, permusuhan, dan sikap intoleran terhadap agama atau kelompok masyarakat lain. Semua agama mengajarkan tentang kebaikan, kebenaran, saling mengasihi, saling melindungi, dan saling menghormati satu sama lain.
Tanggung jawab pemerintah dan pemda terkait perlindungan anak dari terorisme, yakni menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperlihatkan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain, yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Pemerintah memberikan pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak secara benar.
Keluarga
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak Nusa Tenggara Timur Thelma Debora Sonya Bana, ketika membuka diskusi itu, mengatakan, tanggung jawab utama tumbuh kembang anak adalah orangtua dan anggota keluarga dekat. Orangtua paling dekat dengan anak sejak lahir sampai bertumbuh memasuki usia remaja dan dewasa.
Jadi apa yang diajarkan orangtua sejak dini akan tetap diingat dan dijalankan anak. Anak-anak masih berada pada tahap pencarian identitas, sebaiknya tetap ditangani orangtua. ”Jangan memercayakan kepada orang atau lembaga lain untuk diasuh, dibina, dan dididik, kecuali orang atau lembaga itu benar-benar memiliki pemahaman yang benar tentang agama tertentu, dan kebinekaan yang luas,” kata Thelma.
Ia mengatakan, NTT belum terungkap jaringan teroris secara terbuka atau anak-anak terlibat dalam kegiatan radikalisme, paham ISIS ini. Tetapi, stigmatisasi anak terkait orangtua sebagai koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan pelaku kejahatan lain tetap ada, terutama di kalangan rekan-rekan mereka. Ini juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak.
Perlu penanganan cepat, termasuk pengobatan dan rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial dan pencegahan penyakit dari gangguan kesehatan lain. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan, bantuan sosial bagi anak dari keluarga tidak mampu, edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nasionalisme, konseling bahaya terorisme, dan rehabilitasi sosial.