Empat pasangan calon bersaing menjadi wali kota Ternate, Maluku Utara, dalam pilkada tahun ini. Setumpuk problema mendera kota besar di pulau kecil itu, seperti krisis air bersih dan ancaman berbagai bencana alam.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Krisis air bersih pada masa depan dan ancaman bencana yang menghantui sepanjang waktu membuat galau 233.208 jiwa yang mendiami Kota Ternate, Maluku Utara. Momentum Pilkada 9 Desember 2020 sangat menentukan masa depan kota besar di pulau kecil itu. Salah pilih pemimpin, akan datang penyesalan yang tak berkesudahan.
Isu ancaman krisis air bersih di Kota Ternate semakin kencang disuarakan dalam lima tahun belakangan. Salah satu yang paling menonjol adalah sumber air tanah Ake Gaale di Kelurahan Sangaji. Mutu sumber air yang berada sekitar 100 meter dari pantai itu menurun akibat intrusi air laut. Volume pengambilan air tanah tidak seimbang dengan resapan air yang masuk ke tanah. Air yang semula tawar pun berubah menjadi payau.
Menurut laporan United States Agency for International Development (USAID), lembaga yang memayungi kajian kerentanan mata air Ake Gaale sepanjang Maret 2018 hingga Janunari 2019, sumber air itu mengalami penurunan debit sebesar 42 persen, yakni dari 130 liter per detik menjadi 75 liter per detik. Secara kualitas, air mengalami pencemaran akibat intrusi laut dan limbah domestik. Juga ditemukan bakteri e-coli dan unsur kimia organik.
Menurunnya debit air disebabkan menyusutnya kawasan imbuhan yang mendukung penyerapan air tanah selama 14 tahun terakhir. Kawasan hutan berkurang 47,40 persen, yakni dari 162,24 hektar menjadi 85,40 hektar. Di sisi lain, pembukaan kebun dan ladang meningkat 37 persen, yakni dari 171,01 hektar menjadi 234,90 hektar. Luas kawasan permukiman pun bertambah 25,70 persen, yakni dari 50,33 hektar menjadi 63,28 hektar.
Sumber air dari Ake Gaale merupakan satu dari tujuh sumber air yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Ternate. Total produksi 446 liter per detik. Masih mengutip laporan USAID, Ake Gaale melayani 7.213 sambungan rumah atau 25,3 persen dari total layanan PDAM. Di Kota Ternate belum semua warga mendapatkan layanan PDAM. Dari jumlah penduduk 233.208 jiwa tahun 2016, hanya 64,84 persen yang sudah terlayani.
Permasalahan air bersih tak hanya pada pemerataan pelayanan. Pelanggan yang rumahnya sudah terhubung dengan jaringan PDAM pun masih mengeluhkan buruknya pelayanan. ”Saya sudah dua hari ini belum dapat air, tidak tahu kapan. Setiap kali air keluar itu paling lama 12 jam,” ujar Saiful Djafar saat dihubungi pada Selasa (29/9/2020). Saiful merupakan warga Ternate yang pernah memimpin PDAM Ternate.
Menurut dia, Kota Ternate mengandalkan air tanah yang semakin hari semakin berkurang debitnya akibat semakin sempitnya daerah resapan. Daerah resapan berubah menjadi kebun, ladang, dan permukiman penduduk. Kini, satu-satunya jalan adalah membangun sumur resapan untuk menampung air hujan. Air hujan yang selama ini terbuang percuma ke laut bisa dimanfaatkan.
Curah hujan di Kota Ternate bisa mencapai 2.750 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan hingga 226 hari per tahun. Potensi hujan itu seharusnya menjadi modal untuk menambah air tanah melalui sumur resapan. ”Sumur resapan dibuat secara komunal di permukiman penduduk, tempat usaha, dan kawasan industri. Dan, paling penting adalah di instansi pemerintah agar menjadi contoh bagi masyarakat,” ujarnya.
Mitigasi bencana
Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Ternate Mahmud Ichi, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, air bersih menjadi masalah utama saat ini yang membuat galau warga Ternate. Ia menambahkan, selain air bersih, masih terdapat deretan masalah lain yang tidak bisa dianggap sepele, seperti penambangan berupa galian mineral nonlogam dan batuan yang terdapat di sejumlah sudut kota. Hasil tambang berupa pasir, kerikil, dan batu kali dikelola secara komersial.
Lokasi penambangan berada di darat yang terdiri dari wilayah perbukitan dan kali mati serta yang berada di pesisir pantai. Penambangan menyebabkan kerusakan lingkungan. Di darat, hal itu berpotensi memicu longsor dan banjir, sedangkan di pesisir menyebabkan abrasi. Banjir, longsor, dan abrasi menambah deretan potensi bencana di kota terbesar di Maluku Utara itu.
Kerentanan bencana berikutnya adalah gunung api Gamalama yang tetap aktif. Sejak letusan pertama kali terekam tahun 1530, hingga kini gunung dengan puncak tertinggi 1.715 meter di atas permukaan laut itu dalam status Waspada. Sewaktu-waktu status gunung naik level hingga terjadi letusan. Kota Ternate tepat berada di badan gunung itu. Warga pun membangun permukiman semakin mendekat ke arah puncak.
Kerentanan lainnya adalah gempa dan tsunami. Ternate yang sering dilanda gempa memiliki catatan tsunami masa lalu. Laut Maluku yang berada di sisi barat Pulau Ternate langganan dilanda gempa besar. Pada 15 November 2019 terjadi gempa dengan magnitudo 7,1 di Laut Maluku. Guncangannya terasa hingga Kota Ternate. BMKG sempat mengeluarkan peringatan tsunami. Tak ada korban jiwa.
Sayangnya, di pesisir Ternate kini lebih dominan bangunan beton. Di pusat kota tak ada sebatang pun mangrove yang bisa diandalkan untuk membentengi pesisir. ”Secara keseluruhan, Ternate memiliki tingkat kerawanan bencana sangat tinggi. Oleh karena itu, publik perlu mencermati calon kepala daerah mana yang punya misi terkait mitigasi bencana,” kata Ichi. Beban kerawanan bencana itu terlalu besar bagi Ternate yang luasnya hanya 111,80 kilometer persegi.
Beragam persoalan membuat masyarakat Ternate mulai memberi ruang bagi pertarungan gagasan empat pasangan kontestan yang sedang bersiasat merebut hati pemilih. Agaknya, isu politik identitas tak begitu menonjol apabila dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. ”Lebih terdengar pertarungan gagasan, seperti bagaimana menyelesaikan masalah air bersih,” kata Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Provinsi Maluku Utara Irman Saleh.
Menurut dia, pertarungan program para kontestan menjadi komoditas politik yang bakal laris ketimbang politik identitas, terutama isu kesukuan. Empat pasangan calon memiliki irisan kultural yang hampir sama. Karena itu, diperkirakan pemilih akan mencari calon dengan ide gagasan yang inovatif. Calon semacam itu berpeluang besar menang.
Empat pasangan dimaksud adalah Merlisa-Juhdi Taslim yang diusung 9 kursi DPRD, Mohammad Yamin Tawary-Abdullah Tahir diusung 8 kursi, Muhammad Hasan-Mohammad Asgar Saleh diusung 6 kursi, dan Tauhid Soleman-Jasri Usman diusung 7 kursi DPRD. Adapun syarat minimal pencalonan adalah enam kursi. Setiap pasangan memiliki basis sosial dan ekonomi yang kompetitif.
Tren pertarungan gagasan diharapkan terus terjaga hingga hari pemilihan tiba. Sudah terbukti, banyak pemimpin yang terpilih dari proses politik yang mengeksploitasi isu identitas gagal membawa kemajuan bagi daerah. Sebaliknya, politik identitas akan melahirkan perpecahan di tengah masyarakat yang berlangsung lama, bahkan hingga pilkada berakhir.
Herman Usman, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, juga mengakui bahwa isu politik identitas dalam pilkada Kota Ternate kali ini melemah. Selain pertarungan program, dia juga mendorong para calon dan tim sukses agar serius menggarap pemilih dari kalangan milenial. Suara milenial yang lebih kurang 50 persen menjadi tantangan bagi calon pemimpin untuk bisa meyakinkan mereka. Kalangan milenial mendambakan Ternate menjadi kota maju.
”Ternate di masa depan adalah Ternate yang bisa kembali mengukir sejarah kedigdayaannya sebagaimana yang pernah ada, tentu dengan format dan model yang berbeda. Semua ini kembali pada calon pemimpin yang mampu membuat terobosan dan kreativitas, terutama persoalan perkotaan, seperti sampah, air bersih, dan infrastruktur,” kata Usman.
Ternate memang pernah berjaya pada masa lalu. Posisinya yang strategis dalam hal perniagaan rempah-rempah, khususnya cengkeh, membuat Kesultanan Ternate pada abad ke-15 hingga ke-17 menjadi kekuatan besar di wilayah timur Indonesia. Kini, masa depan kota itu bakal ditentukan pada 9 Desember 2020 mendatang oleh 115.880 pemilih yang tersebar di 421 tempat pemungutan suara.