Kopi robusta Pagar Alam mendapat Sertifikat Indikasi Geografis dari Kemenkumham. Predikat ini menambah SIG yang sudah didapat oleh dua daerah lain di Sumatera Selatan, yakni SIG kopi robusta Empat Lawang dan Semendo.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kopi robusta Pagar Alam mendapat Sertifikat Indikasi Geografis atau SIG dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Predikat ini menambah SIG yang sudah didapatkan oleh dua daerah lain di Sumatera Selatan, yakni SIG kopi robusta Empat Lawang dan Semendo. Sertifikat ini diharapkan dapat mendorong pelaku dari hulu dan hilir untuk meningkatkan kualitas kopi yang mereka produksi.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian di Palembang, Senin (19/10/2020), menjelaskan, SIG ini akhirnya dikeluarkan setelah diajukan sekitar satu tahun lalu. ”Pengajuan kopi robusta Pagar Alam berbarengan dengan kopi robusta Lahat. Namun, baru kopi Pagar Alam yang diterbitkan SIG-nya. Mudah-mudahan kopi Lahat menyusul,” ujar Rudi.
Varietas unggul kopi robusta yang tercatat pada SIG kali ini berasal dari hasil seleksi pohon induk di Batu Belighe, Kelurahan Gunung Dempo, Kecamatan Pagar Alam Selatan, Sumsel. Berat biji bagian dalam kopi sekitar 31,30 gram dari 100 gram biji kopi. Adapun potensi rata-rata biji kopi sekitar 1,62 kilogram biji per pohon per tahun atau setara dengan 2,6 ton biji per hektar per tahun. ”Populasi kopi di daerah itu sekitar 1.600 tanaman dengan umur ekonomis tanaman mencapai 30 tahun,” ucap Rudi.
Keunggulan kopi robusta Pagar Alam adalah dapat beradaptasi pada kawasan tanam dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dengan tipe iklim A atau B (Schmidth & Ferguson). Dari segi rasa, kopi ini memiliki skor 81,25 sampai 82,50 (finerobusta) dengan karakter cita rasa spicy dan nutty. ”Kualitas hulu yang sudah baik ini akan lebih optimal lagi jika didukung dengan kekompakan di hilir,” ucap Rudi.
Keberadaan SIG ini menunjukkan sebuah varietas kopi telah memiliki ciri khas rasa yang tidak dimiliki kopi jenis lain. Dengan begitu, kecil kemungkinan daerah lain mengklaim hasil kopi dari daerah tersebut. ”Secara tidak langsung, SIG memberikan perlindungan kepada petani atas produk kopi yang dihasilkannya,” ucap Rudi.
Selain itu, ujar Rudi, SIG diharapkan juga akan memacu para petani untuk menghasilkan produk yang berkualitas, terutama dalam tahapan pengolahan pascapanen. Menurut Rudi, pengolahan pascapanen petani kopi di Sumsel belum merata. ”Perlu ada sosialisasi agar produk kopi yang mereka hasilkan terstandar. Butuh peran para pelaku usaha kopi untuk membinanya, terutama kaum milenial,” ungkap Rudi.
Pada 2019, lanjut Rudi, produksi kopi di Sumsel sekitar 191.081 ton dari luas lahan kopi 250.354 hektar. Daerah yang paling banyak memproduksi kopi di Sumsel ialah Kabupaten Empat Lawang (53.592 ton), Ogan Komering Ulu Selatan (49.458 ton), Muara Enim (26.309 ton), dan Lahat (21.600 ton). Adapun jumlah petani kopi yang ada di Sumsel mencapai 214.363 petani.
Perbaiki pengolahan
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed menyambut baik SIG ini. Kopi dari sejumlah daerah penghasil kopi juga sedang diajukan untuk diteliti, seperti Lahat, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Musi Rawas. Menurut dia, dengan adanya SIG ini, maka akan ada cerita di balik pengolahan kopi tersebut. ”Cerita inilah yang menjadi salah satu daya tarik bagi importir untuk mengambil kopi dari Sumsel,” ucapnya.
Namun, yang paling utama saat ini adalah memperbaiki pengolahan pascapanen sehingga predikat ini bisa terus dipertahankan. ”Dengan kualitas yang baik, tentu akan memengaruhi harga produk kopi itu sendiri,” ucapnya. Saat ini, harga kopi di tingkat petani untuk robusta sekitar Rp 18.000 per kg. Padahal, sebenarnya petani bisa dapat lebih dari itu, setidaknya Rp 22.000 per kg.
Ia menambahkan, jika diolah dengan baik, kualitas kopi asal Sumsel tak kalah dari kopi lain, misalnya Gayo. September 2020, Ketua Specialty Coffee Association of Indonesia Syafrudin menguji cita rasa 13 jenis kopi dari Sumatera Selatan. Beberapa kopi yang diuji kala itu seperti arabika Semendo, arabika Pagar Alam, kopi Benawa, kopi Lanang, kopi Jarai, kopi Rimba Candi, dan robusta Semendo.
Menurut dia, dari 13 jenis kopi itu, 12 jenis memiliki nilai baik, bahkan luar biasa. Menurut Syafrudin, ciri khas kopi arabika asal Sumsel memiliki tingkat keasaman medium to high. Terdapat jejak rasa asam jawa dan teh hijau serta rasanya bertahan lama di lidah (long end). Bahkan, kualitas rasa kopi Rimba Candi dari perkebunan Dempo Tengah Kota Pagar Alam itu setara dengan kopi Toraja dengan skor 84.
Untuk kopi robusta, Sumsel sudah terkenal menghasilkan kadar body kopi yang stabil serta sebagai fine robusta juga memiliki cita rasa berbeda, seperti robusta Semendo yang diproses dari biji merah (wine) memiliki cita rasa anggur, beri, dan squash.
Hanya saja, lanjut Zain, pengolahan pascapanen di Sumsel belum terstandar. ”Di Gayo, pengolahan di hulu dan hilir hanya satu pintu, jadi semua cita rasa bisa terjaga. Sementara di Sumsel banyak pintu dan belum terintegrasi sehingga cita rasanya berubah,” ucapnya. Padahal, cita rasa yang terjaga menjadi salah satu syarat dari importir agar kopi itu layak dipasarkan.