Serangan terhadap Masyarakat Adat Pubabu Memunculkan Konflik Horizontal
Serangan terhadap masyarakat adat Pubabu oleh desa tetangga, yakni Desa Polo dengan warga dari suku Nabuasa, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, merusak tatanan kekerabatan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Serangan terhadap masyarakat adat Pubabu oleh desa tetangga, yakni Desa Polo dengan warga dari suku Nabuasa, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, merusak tatanan kekerabatan. Empat desa di sekitar hutan adat Pubabu masih memiliki kekerabatan yang kuat sehingga kehadiran Pemerintah Provinsi NTT di lahan adat Pubabu berpotensi melahirkan konflik horizontal antarwarga.
Koordinator Masyarakat Adat Pubabu Niko Manao yang dihubungi di Soe, Minggu (18/10/2020), mengatakan, empat desa yang memiliki lahan adat yang sedang dikuasai Pemprov NTT memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Keempat desa itu ialah Polo, Oekam, Mio, dan Linamnutu. Mereka saling kawin-mawin antara suku dan desa sehingga hampir setiap adat memiliki hubungan keluarga satu sama lain.
Serangan warga Desa Polo dan suku Nabuasa terhadap masyarakat adat Pubabu pada Jumat (16/10/2020), menurut Manao, telah merusak tatanan kekerabatan yang ada. ”Mereka datang menyerang kami di lokasi pengungsian di dalam kawasan hutan Pubabu itu. Para pelaku itu anggota keluarga juga. Bahkan tiga orang yang menyerang istri saya yang sedang hamil tua, masih bersaudara. Kami kenal baik siapa-siapa yang menyerang itu,” tuturnya.
Serangan terhadap masyarakat sukut adat Pubabu itu menyebabkan sejumlah kerusakan. Lima unit rumah milik warga dibakar dan dirobohkan, 22 unit tenda darurat dihancurkan, dan empat masyarakat adat mengalami luka-luka. Para penyerang menggunakan kayu pentungan dan batu saat penyerangan berlangsung.
Makin cepat ditangani, itu jauh lebih baik. Membiarkan kasus tindak kriminal ini berlarut-larut berpotensi terjadi serangan balasan dari pihak yang merasa dirugikan.
Manao mengatakan, saat itu masyarakat di lokasi pengungsian sudah lari terpencar mengamankan diri. Sebagian ke arah hutan, sebagian bersembunyi ke gereja, dan ada yang mengungsi ke rumah anggota keluarga di desa tetangga. Harta benda warga ditinggalkan begitu saja sehingga dirusak dan hilang, seperti sepeda motor, buku tabungan, ijazah pendidikan, dan sejumlah uang tunai.
Koordinator Penasihat Hukum Masyarakat Adat Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Akhmad Bumi mengatakan, Jumat (16/10/2020) pagi hari, Kepala Kepolisian Daerah NTT Irjen Lotharia Latif, dan rombongan datang ke lokasi pengungsian warga Pubabu. Tujuannya, memberikan pengamanan sekaligus melakukan sosialiasi kepada warga agar tidak terjadi konflik horizontal dengan warga dari desa sekitar.
”Jika terjadi bentrokan antarwarga, bakal terjadi konflik berkepanjangan dan sulit didamaikan. Mari, semua pihak belajar dari pengalaman di wilayah lain selama ini,” katanya.
Pertemuan selesai pukul 12.00 Wita. Kapolda kembali ke Kupang dan warga kembali ke lokasi pengungsian. Bahkan ada yang mengumpulkan barang tersisa akibat pembongkaran sehari sebelumnya. Sekitar 40 menit kemudian, warga Desa Polo dan suku Nabuasa melakukan penyerangan terhadap pengungsi.
Salah satu rumah warga yang dibakar ialah milik Frans Sae. Di dalam rumah ini terdapat sejumlah dokumen penting, seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, ijazah sekolah anak, perabot rumah tangga, alat bengkel, dan uang tunai hasil pinjaman dari Koperasi Serviam senilai Rp 7 juta, BRI Rp 10 juta, dan tabungan Rp 1 juta. Saat itu, Frans bersama istri dan empat anak mengungsi ke hutan.
Empat pengungsi, masyarakat adat Pubabu, mengalami tindak kekerasan. Mereka ialah Maria Sae, Anida Manisa, Yori Seu, dan Ribka Banantuan. Mereka dipukul, ditendang, dan diinjak-injak oleh massa penyerang.
Penasihat hukum dan warga telah melaporkan kasus ini ke Polda NTT dan berharap polisi segera menindaklanjuti laporan itu. ”Makin cepat ditangani, itu jauh lebih baik. Membiarkan kasus tindak kriminal ini berlarut-larut berpotensi terjadi serangan balasan dari pihak yang merasa dirugikan,” katanya.
Pengamat sosial politik Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, kebijakan Pemprov NTT terhadap hutan adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, berpeluang menciptakan konflik horizontal antarwarga di sana. Pemerintah sebaiknya melindungi, mengayomi masyarakat, dan menghindari setiap kebijakan yang berpotensi melahirkan konflik antarwarga.
”Kehidupan masyarakat Timor Tengah Selatan secara ekonomi sangat memprihatinkan pada puncak kemarau seperti sekarang. Apalagi hidup sebagai pengungsi setelah rumah mereka digusur paksa oleh Pemprov NTT, yang mengklaim akan membangun kesejahteraan masyarakat setelah menguasai lahan 3.780 hektar itu,” ujar John.
Ia mengatakan, sejak 1982, Pemprov NTT telah menguasai lahan itu dengan alasan sama, yakni menyejahterakan masyarakat. Namun, selama 38 tahun menguasai lahan itu, masyarakat justru bertambah miskin. Sekarang alasan yang sama pun dilontarkan kembali.
”Pemda itu melayani masyarakat di kantor dan memberdayakan mereka melalui sejumlah program, bukan turun kerja kebun, menanam kelor, lamtoro, dan memelihara ternak untuk rakyat,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah NTT Willy Rihimoni menegaskan, pemprov tidak terlibat dalam serangan terhadap masyarakat di lokasi pengungsian, Jumat (16/10/2020).
Serangan itu datang atas kemauan masyarakat Desa Polo sendiri. Demikian pula bentrok antara petugas satpol PP dengan warga, Kamis (15/10/2020). Hal itu terjadi karena provokasi warga saat tim Pemprov NTT hendak melakukan penghijauan di lokasi tersebut.