Kajian Lingkungan Tetap Jadi Syarat Mutlak Pembangunan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkomitmen tetap menjaga kelestarian hutan di tengah ancaman kerusakan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK berkomitmen tetap menjaga kelestarian hutan di tengah ancaman kerusakan. Salah satunya adalah mempertahankan kajian lingkungan hidup strategis sebagai syarat mutlak untuk perencanaan pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno saat kuliah umum bertajuk ”Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia”. Acara yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sumatera pada Sabtu (17/10/2020) itu berlangsung secara daring dan diikuti sekitar 350 peserta.
Wiratno menjelaskan, kajian lingkungan hidup strategis akan tetap menjadi syarat mutlak untuk perencanaan pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan. ”Kami sedang menyiapkan satu tim yang terkait dengan KLHK yang membahas rencana peraturan pemerintah. Kajian lingkungan hidup strategis penting sekali menjadi syarat. Kita tentu tidak boleh mengorbankan konservasi dan hutan,” kata Wiratno.
Penjelasan itu disampaikan menanggapi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang telah disahkan pemerintah. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19/2004. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai atau pulau untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, ataupun ekonomi masyarakat setempat.
Menurut penjelasan di UU Kehutanan, tujuan menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen ini adalah karena Indonesia memiliki intensitas hujan yang tinggi yang berpotensi menyebabkan bencana banjir hingga sedimentasi.
Ketentuan di UU Kehutanan juga menegaskan agar persentase minimal tersebut tidak dikurangi meski dengan berbagai pertimbangan, seperti kondisi fisik, iklim, penduduk, ataupun keadaan warga di setiap daerah.
Meski demikian, dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dihapus. Sementara pengaturan persentase luas untuk mempertahankan kawasan hutan ini diserahkan kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).
Dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja dijelaskan, penghapusan minimal 30 persen dilakukan karena ketentuan tersebut dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, kawasan hutannya sudah berkurang lebih dari 30 persen. Oleh karena itu, penetapan persentase disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setiap daerah (Kompas, 10/10/2020).
Menurut Wiratno, KLHK akan tetap menerapkan strategi konservasi dengan membangun kesadaran kolektif sebagai basis utama. Pelibatan masyarakat di sekitar hutan dengan skema perhutanan sosial juga akan terus diperkuat. Strategi lain ialah menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Perguruan tinggi juga dinilai berperan penting dalam menjaga kelestarian alam. Dia mengapresiasi pendirian program studi di Institut Teknologi Sumatera yang mendukung program konservasi, antara lain Program Studi Rekayasa Kehutanan, Teknik Geologi, dan Sains Lingkungan Kelautan.
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Sumatera (Itera) Ofyar Z Tamin mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya konservasi dengan membangun Kebun Raya Itera seluas 75 hektar di kawasan kampus. Kawasan itu akan menjadi kawasan konservasi berbagai jenis tumbuhan khas Sumatera, mulai dari Aceh hingga Lampung. Selain itu, kawasan tersebut juga akan dikembangkan sebagai tempat penelitian.
Itera juga melakukan konservasi air dengan membangun delapan embung atau danau buatan di kawasan kampus. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan pusat studi dan inovasi yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam.