Lagi, Keributan Terjadi antara Masyarakat Adat Pubabu dan Pemprov NTT
Keributan kembali terjadi antara masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan rombongan dari Pemprov NTT ke lokasi tanah sengketa.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Keributan kembali terjadi antara masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan pemerintah provinsi setempat. Keributan yang mengarah pada bentrok fisik itu berawal dari upaya pemprov menanam lamtoro dan kelor di dalam lahan, yang menurut masyarakat adat Pubabu, masih dalam sengketa.
Lagi pula, Komnas HAM belum lama ini merekomendasikan agar semua pihak menghentikan semua aktivitas di lahan itu sampai persoalan status kepemilikan lahan selesai. Koordinator masyarakat adat Pubabu, Niko Manao, dihubungi di Pubabu, 25 kilometer dari Soe, Kamis (15/10/2020), mengatakan, rombongan Pemprov NTT terdiri dari staf Dinas Peternakan, Badan Aset dan Pendapatan Daerah, serta Satpol PP.
Dalam rombongan juga ada sejumlah anggota TNI yang mendatangi lahan yang masih dalam status sengketa. Kehadiran rombongan itu mengundang rasa ingin tahu masyarakat adat Pubabu.
Kami, masyarakat adat, menilai, lahan itu tidak boleh digarap atau dikuasai siapa pun sesuai rekomendasi dari Komnas HAM. (Niko Manao)
Menurut Manao, rombongan dari Pemprov NTT datang ke lokasi untuk melakukan aktivitas penanaman kelor, lamtoro, dan kegiatan lain di dalam lahan yang sedang disengketakan itu. Hal itu mengundang marah masyarakat Pubabu.
”Kami, masyarakat adat, menilai, lahan itu tidak boleh digarap atau dikuasai siapa pun sesuai rekomendasi dari Komnas HAM. Dalam surat rekomendasi Komnas HAM, September 2020, antara lain, menyebutkan, sebelum persoalan status tanah seluas 3.780 hektar itu selesai dibahas, lahan tidak boleh digarap atau dikuasai siapa pun,” kata Manao.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah Willy Rohimoni membantah telah melakukan penganiayaan terhadap masyarakat adat Pubabu. Masyarakat justru menyerang petugas gabungan dari pemprov. Akibatnya, salah satu staf pemprov mengalami memar di kepala. ”Kasus tindak kekerasan ini telah kami laporkan ke Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan,” kata Willy.
Ia menegaskan, pemprov telah mendapatkan lahan itu melalui raja Amanuban Selatan, tokoh agama, dan masyarakat adat setempat, Jumat (21/10/2020). Mereka justru mendesak pemprov segera mengelola lahan itu untuk kesejahteraan masyarakat.
Kasus tindak kekerasan ini telah kami laporkan ke Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan. (Willy Rohimino)
”Pemprov mengelola lahan itu karena punya dasar yang kuat, yakni sertifikat yang diterbitkan Badan Pertanahan NTT. Kalau sertifikat itu tidak diakui, siapa lagi yang kita akui dalam hal menerbitkan dokumen negara seperti dokumen pertanahan,” katanya.
Manao menambahkan, dalam keributan itu, beberapa masyarakat adat mengalami tindak kekerasan oleh satpol PP. Sejumlah perempuan mengalami luka-luka memar karena dipukul dan dicekik di leher, satu perempuan dibanting oleh seorang berpakaian preman dengan badan penuh tato yang masuk dalam rombongan Pemprov NTT. Mereka juga menjambak rambut beberapa perempuan sampai terjatuh.
Aksi kekerasan itu viral melalui video berdurasi lima menit tujuh detik. Dalam video itu kelompok masyarakat adat Pubabu mendatangi tim pemprov, kemudian terjadi keributan kedua pihak.
Desa tetangga
Keributan itu kembali terjadi, Kamis (15/10/2020). Kali ini pemprov mendatangkan masyarakat Desa Polo, desa tetangga dengan Linamnutu, untuk menyerang masyarakat adat Pubabu. Kehadiran masyarakat Desa Polo ini segera dilerai anggota TNI yang berjaga di lokasi sehingga tidak terjadi keributan.
Saat ini tenda-tenda darurat yang dibangun LSM bagi 310 masyarakat adat Pubabu telah dirusak saat kerusuhan dengan tim pemprov. Saat itu, masyarakat adat dikejar tim sehingga mereka lari terpencar ke hutan. Pada kesempatan itu tenda-tenda darurat itu dirusak sehingga tidak dapat digunakan lagi.
”Sekarang kami masih sembunyi di hutan. Tidak ada yang membela. Kami dianggap pembangkang hanya karena memperjuangkan tanah adat, warisan leluhur,” katanya.
Apa pun alasan dan cara yang diperankan pemprov, tetap tidak dibenarkan. Mereka tidak menghormati surat rekomendasi dari Komnas HAM. Rekomendasi Komnas HAM itu, menurut Manao, melalui suatu kesimpulan dan pertimbangan matang setelah tim Komnas HAM turun ke lapangan dan menemui semua pihak terkait.
Pemprov berpedoman pada sertifikat hak pakai lahan yang diterbitkan Badan Pertanahan Provinsi, ternyata sertifikat rekayasa, termasuk rekayasa nama raja dan tokoh adat yang diklaim pemprov telah menyerahkan tanah itu kepada pemprov untuk dikelola.
Padahal, tokoh adat yang diklaim pemprov bukan raja Kerajaan Amanuban Selatan karena sesungguhnya adalah Pina Nope. Jadi, orang yang mengakui diri raja lantas dilegalkan Pemprov NTT.
”Jangan memutarbalikkan fakta dan sejarah Kerajaan Amanuban Selatan hanya karena ingin menguasai tanah adat Pubabu. Bukti sejarah masih sangat kuat dan sulit direkayasa,”ujar Manao.