Belenggu Keterasingan Sungai dan Pinggiran Banjarmasin
Pemilihan Kepala Daerah Kota Banjarmasin 2020 diikuti empat pasangan calon. Siapa pun yang terpilih tak boleh melupakan jati diri Banjarmasin sebagai kota sungai. Penataan sungai dan pembangunan daerah pinggiran dinanti.
Julukan ”Kota Seribu Sungai” melekat pada Kota Banjarmasin lantaran kota ini banyak dilintasi sungai. Namun, sungai yang menjadi jati diri kota dan peradaban manusia, terlebih di pinggiran kota, masih terasing dalam pembangunan.
Sejumlah orang menunggu di dermaga kayu reyot di tepi Sungai Martapura, Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (12/10/2020). Mereka menunggu feri untuk menyeberang ke Pulau Bromo, pulau terluar di pinggiran kota.
”Sudah puluhan tahun begini. Akses ke tempat kami masih susah,” ujar Syarwani (58), warga Ujung Benteng, Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil.
Setiap kali menyeberang, warga yang mengendarai sepeda motor dikenai tarif Rp 3.000. Jika di atas pukul 22.00 Wita, tarif yang dikenakan bisa Rp 10.000. Sekitar 2.000 warga di Pulau Bromo harus mengeluarkan biaya itu jika ingin ke kota untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti belanja, sekolah, dan berobat.
”Tak ada puskesmas. Sekolah juga hanya SD,” katanya.
Baca juga: Wisata Sungai Martapura Kembali Bergeliat
Pulau Bromo yang diapit Sungai Martapura dan Sungai Barito masih terasing dari Kota Banjarmasin. Warga di sana belum menikmati jalan yang nyaman dan jembatan seperti warga kota lainnya. Sungai yang mereka lewati juga sangat dipengaruhi pasang surut air laut. Jembatan yang sejak lama dinantikan warga mulai dibangun pertengahan tahun ini.
Seiring perkembangan zaman, warga di pinggiran Kota ”Seribu Sungai” juga mendambakan akses transportasi darat yang nyaman untuk menunjang kelancaran mobilitas mereka. Transportasi sungai pada masa kini tidak praktis lagi dan susah menjangkau tempat-tempat yang letaknya jauh dari sungai.
Baca juga: Denyut Kehidupan Tepian Sungai Martapura Sebelum Tiba Pandemi
Pengajar Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri, Antasari Wardani, dalam artikelnya berjudul ”Problematika Sungai di Kota Seribu Sungai” (2019) menyebutkan tiga problem yang membuat Banjarmasin kini menjadi ”Kota Seribu Masalah”.
Pertama, hilangnya sungai karena perubahan menjadi permukiman penduduk. Kedua, kondisi sungai memprihatinkan karena kotor dan tercemar limbah dan sampah. Ketiga, sungai-sungai tidak bisa lagi difungsikan untuk menampung air hujan, sarana transportasi, dan wisata sungai.
Data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Banjarmasin menyebutkan, ada 174 sungai di Banjarmasin. Mayoritas berupa sungai kecil dengan lebar kurang dari 15 meter. Tiga sungai terbesar ialah Sungai Barito dengan lebar 725 meter, Sungai Martapura (211 meter), dan Sungai Alalak (188 meter).
Menurut Wakil Ketua Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) Banjarmasin Mohammad Ary, sungai-sungai mencerminkan wajah kota. Sungai Martapura kini menjadi sungai yang indah karena bantarannya sudah ditata. Sementara sungai lain, seperti Sungai Veteran, Sungai Kelayan, dan Sungai Kuin, masih perlu perhatian khusus.
Berbenah
Subhan Syarief dalam bukunya, Jika (Aku) Jadi Wali (Nya) Kota: Gagasan Sederhana Menata Banjarmasin Memasuki Abad Keenam (2016), mengatakan, Banjarmasin harus segera berbenah diri. Salah satunya bisa mulai dilakukan dengan merevitalisasi sungai.
”Revitalisasi sungai mempunyai filosofi utama memunculkan kembali harmonisasi antara kehidupan sungai dan kehidupan manusia, termasuk keberlangsungan hidup flora dan fauna ataupun biota khas sungai. Revitalisasi disertai peningkatan aspek kepentingan dan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya,” kata arsitek yang juga pengamat tata kota itu.
Tak dimungkiri, kota yang berusia 494 tahun dan berpenduduk 708.606 jiwa (2019) ini banyak berkembang. Itu ditandai tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan, perhotelan, dan restoran. Jalannya lebar dengan trotoar yang ramah disabilitas. Sungai Martapura yang melintasi pusat kota juga dipercantik dengan taman dan ruang terbuka hijau.
Baca juga: Berbagi Rezeki untuk Bertahan Hidup
Namun, berbagai kemajuan itu belum mampu menekan angka kemiskinan di Banjarmasin. Badan Pusat Statistik Banjarmasin mencatat, angka kemiskinan 2016-2019 menunjukkan progres yang tidak terlalu signifikan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019 menunjukkan, setelah turun dari 4,22 persen (2016) jadi 4,19 persen (2017) dan 4,18 persen (2018), angka kemiskinan justru meningkat menjadi 4,20 persen (2019).
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, Arief Budiman, mengatakan, potret kemiskinan Banjarmasin tampak dalam kehidupan warga di pinggiran kota ataupun bantaran sungai. Warga pinggiran kota umumnya bekerja sebagai petani, sedangkan warga di bantaran sungai umumnya bekerja sebagai buruh serabutan. ”Kehidupan mereka masih dalam tataran menengah ke bawah,” katanya.
Warga akan sulit lepas dari jerat kemiskinan tanpa adanya intervensi dari pemerintah dengan program-program tepat sasaran. Di samping memperbaiki infrastruktur sampai ke pinggiran kota dan menata daerah bantaran sungai, pemberdayaan ekonomi terhadap warga juga harus dilakukan. ”Lapangan kerja harus diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan warga,” ujarnya.
Konsisten
Menurut Mohammad Ary, visi pembangunan kota sungai dimulai pada era Wali Kota Effendi Ritonga (1984-1989). Hampir semua wali kota setelahnya juga berusaha mengembalikan konsep pemerintahan Hindia-Belanda pada abad ke-19 dalam menata Banjarmasin sebagai kota sungai.
”Seyogianya, siapa pun yang terpilih (sebagai wali kota) memiliki konsistensi kebijakan pada cita-cita Banjarmasin sebagai kota sungai,” katanya.
Pemilihan Wali Kota Banjarmasin tahun ini merupakan pertaruhan dalam pemulihan dampak pandemi Covid-19, serta komitmen dan konsistensi membangun kota sungai. Capaian dalam empat dekade terakhir masih jauh dari selesai.
Seyogianya, siapa pun yang terpilih (sebagai wali kota) memiliki konsistensi kebijakan pada cita-cita Banjarmasin sebagai kota sungai.
Ada empat kandidat yang memperebutkan suara 447.612 warga. Mereka ialah Abdul Haris Makkie-Ilham Nor, petahana Ibnu Sina-Arifin Noor, Khairul Saleh-Habib Muhammad Ali Al Habsyi, dan Ananda-Mushaffa Zakir.
Baca juga: KPU Kalsel Ajukan Tambahan Rp 55 Miliar untuk Pilkada
Sebagai petahana, Ibnu Sina memastikan akan melanjutkan program Banjarmasin Baiman (barasih wan nyaman atau bersih dan nyaman). ”Pembangunan infrastruktur yang sudah tampak hasilnya tetap dilanjutkan,” katanya.
Abdul Haris Makkie juga akan meningkatkan infrastruktur dan lingkungan perkotaan, antara lain penanganan kawasan kumuh dan peningkatan konektivitas moda transportasi darat dan sungai. ”Namun, sebelum itu, prioritas kami adalah mengatasi dampak ekonomi dan sosial akibat pandemi Covid-19,” kata Haris.
Khairul Saleh yang maju lewat jalur perseorangan bertekad menjadikan Banjarmasin sebagai daerah tujuan perdagangan dan jasa. ”Kami akan membuat semua pelayanan dan perizinan menjadi lebih cepat dan mudah,” katanya.
Tak ketinggalan, Ananda yang menjadi satu-satunya srikandi dalam pemilihan ini menawarkan empat program andalan, yaitu Betapih Bahalai (bertahan, pulih, bangkit, hingga Covid-19 selesai), Ember Tapasan (emak berdaya, tangguh, pandai, dan berpenghasilan), Gendong Ulun (gerakan dorong usaha lokal untuk naik kelas), serta Bapespa (bantuan pendidikan selama pandemi).
Siapa pun yang terpilih tak boleh melupakan jati diri Banjarmasin sebagai kota sungai. Kebijakan nyata untuk membuka belenggu keterasingan sungai dan daerah pinggiran Banjarmasin sangat dinanti warga.