Merindu ”Tapis Berseri” Jadi Kenyataan di Bandar Lampung
Kerusakan lingkungan membuat Bandar Lampung semakin jauh dari slogan kota tapis berseri. Pemilihan kepala daerah 2020 memberi harapan akan hadirnya pemimpin yang mampu mengatasi persoalan lingkungan.
Kerusakan lingkungan membuat Bandar Lampung kian jauh dari slogan ”Kota Tapis Berseri”. Pilkada 2020 memberi asa hadirnya pemimpin yang mampu mengatasi problem lingkungan dan membangun kota secara berkelanjutan.
Tumpukan sampah menjadi pemandangan biasa bagi nelayan di pesisir Kota Bandar Lampung. Saban hari, mereka harus memilah ikan di antara sampah plastik.
Sampah mengotori pesisir Bandar Lampung di sejumlah lokasi, mulai dari Kecamatan Bumiwaras hingga Kecamatan Panjang. Sampah didominasi bekas pembungkus makanan ringan dan mi instan. Ada juga ranting sampah kayu, sayuran, hingga daging busuk.
Kondisi perairan yang semakin kotor juga mengancam mata pencarian nelayan setempat. Hasil tangkapan menurun, sedangkan kebutuhan hidup semakin tinggi.
”Sekarang ini, susah mencari uang Rp 50.000 sehari dari melaut,” kata Lilik (56), nelayan yang sudah lebih dari 30 tahun mencari ikan di perairan Sukaraja, Kamis (8/10/2020).
Ketua Komunitas Nelayan Sukaraja Maryudi mengatakan, kawasan pantai Sukaraja mulai tercemar sampah plastik sejak tahun 2000-an. Sampah plastik berasal dari aliran sungai yang terbawa hingga ke laut.
Sebelum perairan tercemar sampah, nelayan masih mudah mencari ikan. Hasil tangkapan melimpah dan jenis beragam. Namun, kini beberapa jenis ikan, seperti simba dan kembung, sulit dicari.
Penumpukan sampah hanyalah satu dari berbagai problem lingkungan di Bandar Lampung. Persoalan krusial lainnya adalah pendangkalan sungai, pengerukan bukit, hingga minimnya ruang terbuka hijau.
Padahal, selama ini, Bandar Lampung dikenal sebagai ”Kota Tapis Berseri”. Slogan itu mencerminkan visi untuk menjadi kota yang tertib, aman, patuh, iman, sejahtera, bersih, sehat, rapi, dan indah.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, saat ini, ada 23 sungai di Bandar Lampung yang kualitasnya airnya sangat buruk. Selain mengalami pendangkalan dan penyempitan, sungai juga masih menjadi tempat pembuangan limbah.
Sebagian besar perbukitan di Kota Bandar Lampung juga rusak akibat aktivitas pertambangan ilegal. Dari 33 bukit, sebanyak 20 bukit dalam kondisi hancur. Sementara, kapasitas ruang terbuka hijau di Bandar Lmapung baru terpenuhi 11,08 persen. Kondisi itu jauh dari ideal yang semestinya minimal 20 persen.
Kerusakan lingkungan yang kian parah membuat Kota Bandar Lampung menjadi langganan banjir saat musim hujan. Saat kemarau, sejumlah daerah juga dilanda kekeringan.
Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri menilai, pemerintah daerah juga belum memiliki kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah. Selain persoalan penumpukan sampah di pesisir, pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bakung juga masih menggunakan sistem pembuangan terbuka.
Sebagian besar perbukitan di Kota Bandar Lampung juga rusak akibat aktivitas pertambangan ilegal. Dari 33 bukit, sebanyak 20 bukit dalam kondisi hancur. Sementara, kapasitas ruang terbuka hijau di Bandar Lmapung baru terpenuhi 11,08 persen. Kondisi itu jauh dari ideal yang semestinya minimal 20 persen.
Selain itu, sampah yang masuk ke TPA itu juga sudah melebihi kapasitas. Setiap hari, volume sampah mencapai 800-1.000 ton, lebih besar dari kapasitas TPA yang idealnya menampung 230 ton sampah per hari.
Berbagai persoalan lingkungan itu membuat Kota Bandar Lampung mendapat predikat kota besar terkotor dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019. Selama 11 tahun terakhir, Bandar Lampung juga tidak pernah meraih Penghargaan Adipura.
Ketua Pusat Studi Kota dan Daerah Universitas Bandar Lampung Ilham Malik mengatakan, akar persoalan lingkungan di Bandar Lampung adalah penataan ruang yang tidak memperhatikan fungsi dan konektivitas. Dia mencontohkan, dataran tinggi yang semestinya menjadi kawasan konservasi justru dijadikan permukiman dan pertambangan.
Lemahnya regulasi pemerintah membuat aktivitas pertambangan ilegal kian masif. Pembangunan permukiman dan tempat usaha juga kerap mengabaikan daya dukung lingkungan. Sejumlah hotel, misalnya, dibangun di kawasan perbukitan hingga daerah aliran sungai.
Ilham mengatakan, Kota Bandar Lampung memerlukan pemimpin yang mampu menyusun visi baru Kota Bandar Lampung hingga tahun 2045. Selain memperkuat posisi Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan dan jasa, kepala daerah juga harus mampu merancang kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
”Perubahan iklim membuat pembangunan kota berkelanjutan menjadi amat penting untuk mengantisipasi bencana. Jika tidak, banjir, longsor, hingga banjir rob akan terus menjadi ancaman di Bandar Lampung,” papar Ilham.
Baca juga : Banjir Rob Ancam Warga di Pesisir Teluk Lampung
Selain perbaikan lingkungan, Bandar Lampung juga membutuhkan sistem transportasi perkotaan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pengembangan bus rapid transit, kereta api perkotaan, angkutan air, hingga jalur sepeda dan pejalan kaki perlu dipikirkan.
Pacu infrastruktur
Terlepas dari sejumlah persoalan itu, Bandar Lampung satu dekade terakhir ini terus berbenah. Daerah seluas 197,22 kilometer persegi itu memacu pembangunan infrastruktur.
Setidaknya, ada 10 jembatan layang dan 1 jalan terowongan yang dibangun di Bandar Lampung. Aksesibilitas menuju Bandar Lampung pun kian terbuka, terutama sejak tol Trans-Sumatera yang menggubungkan Lampung dan Sumatera Selatan beroperasi penuh pada 2019. Aktivitas industri juga semakin bergairah.
Pembangunan nonfisik juga diupayakan pemerintah, antara lain, peningkatan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan masyarakat. Data Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung menunjukkan, Indeks Pembangunan Manusia meningkat dari 75,98 (2016) menjadi 77,33 (2019). Persentase kemiskinan menurun dari 10,15 persen (2016) menjadi 8,71 persen (2019). Tingkat pengangguran terbuka pun turun dari 8,1 persen (2017) menjadi 7,12 persen (2019).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya, menuturkan, kendati tingkat pengangguran terbuka menurun, persentase pengangguran di Bandar Lampung masih lebih tinggi dibandingkan Provinsi Lampung. Kondisi itu menunjukkan pengangguran di perkotaan masih menjadi masalah yang perlu dituntaskan.
Baca juga : Penanganan Sampah di Pesisir Teluk Lampung Perlu Penanganan Serius
Tingginya pengangguran memicu persoalan kriminalitas di Bandar Lampung. Saat ini, berbagai tindak kejahatan jalanan, seperti perampokan dan pencurian, masih kerap terjadi.
Untuk mengatasi pengangguran, pemerintah perlu membuat terobosan demi mendorong masuknya investasi di daerah. Di sisi lain, sumber daya manusia yang berkualitas harus disiapkan dengan memberikan pelatihan dan keterampilan kerja pada masyarakat, khususnya bagi anak-anak muda.
Dalam Pemilihan Wali Kota Bandar Lampung 2020, ada tiga pasang calon yang akan bersaing. Mereka ialah Rycko Menoza-Johan Sulaiman, Yusuf Kohar-Tulus Purnomo, dan Eva Dwiana-Deddy Amarullah. Semuanya diusung partai politik.
Pengamat politik dari Universitas Lampung, Robi Cahyadi Kurniawan, menilai, semua pasangan calon yang maju dalam pilkada Bandar Lampung memiliki peluang untuk menang. Persaingan bakal berlangsung ketat karena setiap pasangan memiliki basis massa.
Setiap kandidat dituntut menghadirkan solusi. Mereka harus kreatif dan peka terhadap krisis, mengingat siapa pun yang terpilih akan menghadapi problem berat di sektor ekonomi dan sosial akibat pandemi.