Pandemi Covid-19 Jadi Momen Membenahi Pariwisata Sumbar
Berkurangnya kunjungan wisata pada masa pandemi Covid-19 mesti dimanfaatkan sebagai momen untuk membenahi pariwisata di Sumatera Barat. Aksesibilitas dan kolaborasi antardaerah di Sumbar juga mesti diperbaiki.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Berkurangnya kunjungan wisata pada masa pandemi Covid-19 mesti dimanfaatkan sebagai momen untuk membenahi pariwisata di Sumatera Barat. Selain kelengkapan fasilitas di obyek dan destinasi wisata, aksesibilitas dan kolaborasi antarkabupaten/kota juga menjadi kendala dalam memaksimalkan potensi pariwisata di Sumbar.
Poin-poin tersebut mengemuka dalam webinar ”Masa Depan Dunia Pariwisata Sumatera Barat” yang diadakan oleh Minang Diaspora Network, Sabtu (10/10/2020). Seminar daring itu diikuti oleh pejabat pemerintah daerah, pegiat wisata, dan calon gubernur/wakil gubernur Sumbar dalam pilkada serentak 9 Desember 2020.
Pegiat pariwisata, Zuhrizul Chaniago, berpendapat, pandemi Covid-19 mestinya dimanfaatkan untuk membenahi pariwisata Sumbar. ”Kita punya waktu untuk membenahi pariwisata Sumbar agar benar-benar layak ditawarkan, baik kepada turis Nusantara maupun mancanegara,” kata Zuhrizul yang juga pengelola obyek wisata Lawang Park.
Menurut Zuhrizul, sebelum membenahi obyek dan destinasi wisata, pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota mesti menentukan segmen pasar yang disasar. Jika segmennya sudah ditetapkan, tinggal menyiapkan destinasi yang sesuai, misalnya pegunungan, pantai, dan sebagainya. Pelaku wisatanya juga mesti disiapkan dan tersertifikasi.
Zuhrizul melanjutkan, salah satu persoalan di Sumbar adalah tidak adanya destinasi wisata kelas dunia. Padahal, destinasi kelas dunia penting untuk menjadi motor penggerak. Destinasi kelas dunia bakal berdampak terhadap kunjungan ke destinasi wisata di daerah sekitarnya. Pemimpin Sumbar berikutnya harus menyiapkan hal itu.
Masalah lainnya adalah aksesibilitas antarkabupaten/kota. Kata Zuhrizul, keterhubungan antara satu daerah dan daerah lain memudahkan wisatawan untuk berkunjung. Misalnya, dengan akses transportasi yang baik, wisatawan dari Puncak Mandeh (Pesisir Selatan) bisa langsung menuju ke Danau Diatas dan Danau Dibawah (Solok) tanpa harus memutar ke Padang.
Anggota tim pelaksana Calendar of Event Kementerian Pariwisata, Raseno Arya, juga mengemukakan hal senada. Situasi pandemi Covid-19 harus dimanfaatkan pemangku kebijakan di Sumbar untuk membenahi destinasi wisata. ”Pemerintah provinsi harus buat tim percepatan recovery pariwisata Sumbar,” kata Raseno.
Selain itu, kata Raseno, keterhubungan destinasi wisata antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya juga harus diperbaiki. Wisatawan akan enggan datang jika waktu tempuh antara satu destinasi dan destinasi lainnya lebih dari dua jam.
Dari segi transportasi udara, misalnya, di Sumbar daratan baru ada satu bandara. Sementara di provinsi lain, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, punya lebih dari satu bandara. Sumbar semestinya bisa menghidupkan kembali lapangan terbang perintis yang dulu pernah ada di Kota Payakumbuh.
”Semestinya, diprogram lapangan terbang di Payakumbuh itu hidup kembali. Jika itu dibuat, kunjungan wisatawan akan terbagi ke daerah lainnya. Misalnya ada bandara di Payakumbuh, dampaknya besar bagi daerah Pasaman dan Limapuluh Kota. Ekonomi akan bergerak di sana,” ujar Raseno.
Kolaborasi
Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Sumbar Ian Hanafiah mengatakan, kolaborasi antarkabupaten/kota bertetangga dalam membangun pariwisata masih kurang. Gubernur terpilih nantinya diharapkan dapat merangkul seluruh bupati/wali kota di 19 kabupaten/kota agar bisa bekerja sama membangun pariwisata.
”Banyak kepala daerah tidak bisa sinergi dengan tetangganya. Kabupaten A tidak mau dukung kabupaten B. Kabupaten B tidak mau dukung kota A. Gubernur harus bisa merangkul ini. Tidak ada destinasi utama yang bisa berjalan sendiri. Harus didukung oleh yang lainnya,” kata Ian.
Ian menjelaskan, jika ada destinasi utama di kota A, kota B dan kota C yang dilewati oleh wisatawan juga harus dibangun. Dengan dukungan dari kota B dan kota C, kota A menjadi terbantu. Sebaliknya, kota B dan kota juga terangkat perekonomiannya oleh wisatawan yang berkunjung ke kota A. Setiap daerah bertetangga harus saling mengisi.
Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas Sari Lenggogeni berpendapat, komitmen kepala daerah sangat diharapkan dalam membangun pariwisata di Sumbar. Sejauh ini dari 19 kabupaten/kota, paling banyak tiga kepala daerah saja yang punya totalitas dalam menangani pariwisata.
Menurut Sari, keberlanjutan rencana pengembangan destinasi wisata menjadi persoalan di Sumbar. Dari pengalaman Sari saat terlibat dalam pengembangan destinasi, kebijakan berganti ketika kepala dinas pariwisata atau kepala daerah berganti. Rencana awal kemudian tidak dilanjutkan lagi oleh kepala dinas atau kepala daerah yang baru.
”Kami membantu pengembangan satu titik. Ketika kepala dinas berganti, pengembangan titik itu akhirnya tidak terjadi. Kedua, rencana induk pariwisata dalam satu kabupaten/kota menentukan destinasi prioritas X. Setelah kepala daerah berganti, X berganti sesuai dengan kampungnya (kepala daerah). Ini keberlanjutan yang tidak terbangun dalam kepariwisataan secara komprehensif,” kata Sari.
Sari melanjutkan, tiga komponen penting di daerah gagal paham dengan wewenang dan peran masing-masing. Masih ada ego sektoral antara pemerintah, industri, dan akademisi sehingga tidak ada sinergitas dan integritas. Setiap komponen itu ingin menunjukkan sebagai yang terbaik dan paling paling hebat.
Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Novrial mengakui, memang banyak di antara 19 kabupaten/kota di Sumbar berjalan sendiri-sendiri dalam membangun pariwisata. Karena tidak terintegrasi dengan baik, kalender wisata dan obyek wisata di antara kabupaten/kota itu tidak terhubung. Hal itu menjadi tantangan yang mesti dijawab dalam rencana pembangunan ke depan.
Novrial melanjutkan, dinas saat ini tengah menyusun pola perjalanan (travel pattern) wisata. Gambaran umum untuk daratan Sumbar dibagi jadi tiga kelompok besar, yaitu utara, timur, dan selatan.
Bagian utara, misalnya, Pariaman, Padang Pariaman, Bukittinggi, Agam, Pasaman, dan Pasaman Barat saling berkolaborasi. Bagian timur, kolaborasi antara Padang Panjang, Tanah Datar, Payakumbuh, dan Limapuluh Kota. Bagian selatan, kolaborasi antara Padang, Pesisir Selatan, Solok Selatan, Solok (kota dan kabupaten), Sijunjung, Sawahlunto, dan Dharmasraya.
Novrial mengatakan, sebenarnya sudah ada pemicu untuk memulai kolaborasi antardaerah itu. ”Dari segi pengakuan, kita punya Warisan Tambang Batubara Ombilin yang melibatkan tujuh kabupaten/kota. Jadi, kita sebetulnya sudah punya trigger atau pemicu untuk saling terikat dan berkolaborasi satu sama lain. Kuncinya travel pattern,” kata Novrial. Tujuh kabupaten/kota yang terlibat dalam warisan dunia itu adalah Sawahlunto, Kabupaten Solok, Kota Solok, Padang Panjang, Tanah Datar, Padang Pariaman, dan Padang.