Tambang Emas Ilegal Mengepung Ciletuh
Aktivitas tambang emas ilegal marak di kawasan Taman Bumi Ciletuh – Palabuhanratu, Jawa Barat. Emas diolah dengan bahan berbahaya dan limbahnya dibuang sembarangan.
SUKABUMI, KOMPAS – Kawasan Taman Bumi atau Geopark Ciletuh – Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dikepung tambang emas ilegal. Penelusuran Kompas mengungkap, bebatuan mengandung emas hasil penambangan kemudian diolah menggunakan merkuri dan sianida di rumah-rumah warga.
Batuan emas yang diolah warga diambil dari tambang-tambang rakyat dengan metode penambangan bawah tanah. Tambang berupa lubang-lubang sempit itu umumnya berada di lahan Perhutani, perusahaan perkebunan, atau perorangan yang mengelilingi Geopark Ciletuh – Palabuhanratu.
Salah satu tambang emas di dalam lahan Perhutani tampak di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Sukabumi. Tambang tak berizin di lokasi ini berupa lubang berdiameter sekitar 1 meter – 1,5 meter dengan kedalaman hingga 100 meter. Ada sekitar sepuluh lubang yang letaknya berdekatan
Baca juga : Tambang Emas Ilegal Ancam Taman Bumi Nasional Silokek
Kompas turut menyusuri salah satu lubang tambang itu hingga kedalaman 35 meter, awal September silam. Untuk masuk ke lubang pengap dan berlumpur tersebut, harus dengan cara membungkuk dan merangkak. Sesekali bahkan tiarap karena celah yang sempit. Tubuh hanya dapat berdiri saat masuk lorong vertikal.
Lubang tersebut belum menghasilkan emas karena air masih memenuhi dasar lubang. Sudah dua pekan terakhir, para petambang bekerja untuk menyedot air. “Kalau lubang belum kering, ya kami belum bisa mulai produksi,” ujar Uloh (55), koordinator petambang di lubang tersebut.
Tambang-tambang rakyat di kawasan Taman Bumi Ciletuh – Palabuhanratu tersebar di Kecamatan Ciemas, Simpenan, dan Waluran. Ribuan petambang dan pengolah emas, yang sebagian besar warga setempat, menyandarkan hidup dari pertambangan emas tanpa izin (PETI) tersebut.
Dede Kusdinar, pengurus Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Sukabumi, mengatakan, terdapat sekitar 70 lubang tambang emas di tiga kecamatan tersebut. Namun, warga setempat menyebutkan, ada ratusan lubang tambang rakyat yang masih beroperasi di tiga kecamatan ini.
Merkuri dan sianida
Bongkahan batuan dari tambang rakyat ilegal diolah menggunakan merkuri dan sianida untuk mengikat emas yang terkandung dalam bebatuan. Pengolahan emas tersebut dapat dengan mudah ditemui di pekarangan rumah warga di sejumlah desa di Kecamatan Ciemas, Simpenan, dan Waluran.
Terdapat dua teknik pengolahan emas rumahan yang lazim ditemui yakni, pengolahan yang menggunakan merkuri dengan memakai mesin gelundung dan pengolahan dengan cara merendam batuan emas dengan cairan sianida.
Ani (41), salah satu pengolah emas dengan gelundung di Desa Mekar Mukti, Kecamatan Waluran, mengakui, untuk mengolah batuan yang mengandung emas menggunakan beberapa tetes merkuri. Ani membeli merkuri seharga Rp 160 ribu per ons secara diam-diam dari tengkulak tempat dia menjual emasnya.
Adapun emas yang dijual Ani dihargai Rp 600 ribu hingga Rp 900 ribu per gram tergantung kadarnya. “Kalau pakai kuik (merkuri) itu suka 2 ons untuk seminggu,” ucap Ani, saat ditemui, awal September.
Limbah lumpur dari pengolahan emas milik Ani dibuang di tanah pekarangan rumahnya yang berjarak sekitar lima meter dari sumur air bersih. Saat musim hujan, lumpur juga mengalir ke parit menuju anak sungai Ciletuh.
Dedi (48), warga Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, bahkan mengolah emas dengan gelundung dan direndam sehingga menggunakan merkuri dan sianida sekaligus. Dia mengolah emas di samping sawah miliknya yang bersisian dengan Sungai Ciletuh. Limbah lumpur tersebut turut menggelontor ke dasar sawah dan mengalir ke sungai Ciletuh.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, merkuri dan sianida masuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Uji laboratorium
Berdasarkan hasil pengujian kualitas air Sungai Ciletuh di laboratorium yang dilakukan Kompas pada awal September lalu, konsentrasi logam berat merkuri di bagian hulu, tengah, dan hilir 0,0006 miligram per liter. Mengacu Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, batas baku mutu kadar merkuri di air sungai 0,002 mg/L. Artinya, kadar merkuri di Ciletuh masih di bawah baku mutu.
Kandungan merkuri di sedimen sungai pada bagian hulu, tengah, dan hilir juga masih di bawah ambang baku mutu yakni kurang dari 0,0005 mg/L. Adapun konsentrasi merkuri pada air sumur salah satu rumah warga di Desa Mekar Mukti, Waluran, menunjukkan di bawah 0,0005 mg/L.
Padahal, hasil pengujian dari peneliti Universitas Muhammadiyah Sukabumi terhadap kualitas air Sungai Ciletuh pada 2015 menunjukkan, konsentrasi merkuri di bagian hulu 0,013 mg/L di bagian tengah 0,027 mg/L, dan di hilir 0,022 mg/L. Dengan kata lain, kadar merkuri pada air di bagian tengah dan hilir sungai melampaui baku mutu yang ditentukan.
Salih Muharam, ahli kimia Universitas Muhammadiyah Sukabumi yang turut meneliti kandungan merkuri Sungai Ciletuh pada 2015, mengungkapkan, perbedaan tingkat konsentrasi merkuri pada 2015 dan tahun 2020 dipicu beberapa faktor yakni, periode pengujian air sungai yang berbeda musim (pada 2015 saat musim kemarau sedangkan pada 2020 sudah masuk musim hujan), prosedur pengambilan dan penanganan sampel air, dan waktu operasi pengolahan emas di sekitar sungai.
Selain itu, kata Salih, penetapan Ciletuh – Palabuhanratu sebagai geopark global juga ditengarai memengaruhi perbaikan lingkungan di kawasan tersebut, termasuk berkurangnya pengolahan emas. Namun, hal itu memerlukan data penunjang lain, seperti tren jumlah petambang liar dari tahun ke tahun, kondisi keanekaragaman hayati, dan survei kesehatan warga.
“Tanpa ada data penunjang tadi, maka kesimpulannya akan bias. Akan sangat keliru jika hasil merkuri di bawah baku mutu dianggap bahwa aktivitas tambang emas liar tidak menyebabkan pencemaran,” ujar Salih.
Berdampak
Limbah pengolahan emas yang dibuang sembarangan hingga mengalir ke Sungai Ciletuh diduga turut berdampak pada hasil panen sawah warga. Selama ini, air sungai Ciletuh dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari warga, termasuk untuk mengairi lahan pertanian.
Sumjana, Ketua Pos Penyuluhan Desa Mandrajaya Kecamatan Ciemas, mengungkapkan, sejak tambang emas ilegal mulai beroperasi dalam 15 tahun terakhir yang diikuti dengan banyaknya pengolahan emas rumahan, air Sungai Ciletuh menjadi keruh dan kerap berlumpur.
Baca juga : Hutan Lindung Batanghari Digasak Tambang Emas Ilegal
Alhasil, sawah di Desa Mandrajaya yang memanfaatkan air sungai Ciletuh hasil panennya anjlok. Desa Mandrajaya berada di hilir Sungai Ciletuh yang lokasinya sekitar dua kilometer dari laut. “Kalau biasanya dua kotak (800 meter persegi) bisa dapat 100 kilogram ini cuma 60 kilogram (gabah kering giling),” ujar Sumjana, saat ditemui di rumahnya, di Desa Mandrajaya.
Menurut Sumjana, petani biasanya memanfaatkan Sungai Ciletuh untuk mengairi sawah mereka saat musim kemarau tiba. Namun, karena air sungai keruh dan kerap mengering sejak ada tambang emas di bagian hulu membuat sawah yang biasanya ditanami padi dialihkan menjadi lahan palawija.
Tidak hanya di Sungai Ciletuh, para petani yang memanfaatkan air Sungai Cimarinjung juga mengeluhkan hal serupa. “Dulu memang airnya keruh. Tapi dua tahun terakhir airnya sudah bening. Hanya hasil panennya turun,” kata Kusoy, Ketua Kelompok Tani di Desa Ciemas, Kecamatan Ciemas.
Kusoy menjelaskan, hasil panen padi sawah dari musim tanam kedua yang sumber airnya dari kali hanya sekitar 6 ton gabah kering giling (GKG) per hektar atau turun dibandingkan lima tahun lalu yang masih 7,5 ton per hektar. Sebagai perbandingan, hasil panen musim tanam pertama yang dari air hujan tetap 7,5 ton GKG per hektar.
Jika pengolahan emas diduga berpengaruh pada pertanian, maka pembukaan lubang-lubang tambang emas rakyat diduga berdampak pada ketersediaan air bersih di Ciletuh. Sebab, pembukaan lubang-lubang baru untuk penambangan liar tersebut didahului dengan penyedotan air tanah besar-besaran.
Endang Sutisna, Ketua Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi), organisasi warga Ciletuh di bidang konservasi, mengakui, warga mulai kesulitan memperoleh air bersih dalam lima tahun terakhir. Embung dan mata air yang mengering saat musim kemarau membuat warga harus membeli air bersih.
Hal ini terjadi setelah adanya penambangan emas secara masif. “Dulu tidak pernah ada kekeringan disini, sekarang dua bulan kemarau saja sudah kering. Karena aktivitas pertambangan kan adanya di hulu ya. Mata air kan juga banyak di hulu. Mereka menyedot air untuk ditumpahkan lagi,” kata Endang yang juga warga Kecamatan Ciemas.
“Dulu tidak pernah ada kekeringan disini, sekarang dua bulan kemarau saja sudah kering. Karena aktivitas pertambangan kan adanya di hulu ya. Mata air kan juga banyak di hulu. Mereka menyedot air untuk ditumpahkan lagi,”
Guru besar Teknik Geologi Universitas Padjadjaran yang juga tim ahli Geopark Ciletuh – Palabuhan Ratu, Mega Fatimah Rosana, menilai, hal yang paling mengkhawatirkan dari keberadaan tambang emas ilegal adalah cara pengolahan yang berpotensi merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia.
“Yang jadi concern itu mengolahnya yang justru berbahaya. Mereka pakai merkuri dan kemudian direndam lagi dengan sianida. Limbahnya kemudian mereka buang begitu saja tanpa ada treatment,” ujar Mega.
Menurut Mega, aktivitas pertambangan liar, termasuk pengolahan emas yang berpotensi merusak lingkungan, dapat berpengaruh pada status Taman Bumi Ciletuh – Palabuhanratu yang sudah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO jika tidak ada upaya dari otoritas terkait untuk melindungi kawasan.
Baca juga : Tambang Emas Ilegal di Aceh Masih Beroperasi
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat Bambang Rianto mengatakan, kegiatan pertambangan tidak dilarang di dalam kawasan taman bumi, termasuk di Ciletuh. Wewenang penerbitan izin pertambangan ada di Dinas ESDM tingkat provinsi. “Hanya masalah estetika saja pada saat satu wilayah sedang dikonservasi (ada tambang). Tapi kita tidak boleh secara masif juga melarang, karena pertambangan ada terlebih dahulu,” kata Bambang.
Namun, Bambang mengakui, yang jadi permasalahan adalah keberadaan pertambangan rakyat yang tak berizin. Hal ini tidak hanya di Ciletuh, tetapi di banyak lokasi lain di Indonesia. “Karena mereka belum berizin, kita belum punya kewenangan untuk masuk ke situ. Wilayah ini sebetulnya sudah masuk aparat penegak hukum dan bisa kena pidana,” kata Bambang.
Pernah ditertibkan
Terkait dengan keberadaan tambang ilegal di kawasan Perhutani di Kecamatan Waluran, Cecep Suryaman dari bagian Komunikasi dan Pelaporan Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten mengatakan, pihak Perhutani Sukabumi sudah berkali-kali menertibkan penambang emas tanpa izin di lokasi tersebut. Tambang liar itu berada di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lengkong, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Hanjuang Barat.
Pada Januari 2020, pihak Perhutani bahkan melaporkan ke Polres Sukabumi. Lalu pada Agustus 2020 telah dilakukan operasi oleh polisi hutan dan petugas lapangan dan kembali melaporkannya pada Polres setempat.
Tidak hanya di lahan Perhutani, tambang emas ilegal juga diduga merambah lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di wilayah Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Reza, pegawai PTPN VIII, mengatakan, belum menerima laporan adanya tambang emas liar di dalam area PTPN VIII. Namun, pihaknya sudah bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Jabar sehingga jika ada temuan tambang liar di PTPN VIII dapat segera ditindaklanjuti oleh polisi.
Secara terpisah, Kepala Polres Sukabumi Ajun Komisaris Besar M Lukman Syarif tidak merespons panggilan telepon saat hendak dikonfirmasi mengenai maraknya tambang emas ilegal di Geopark Ciletuh-Palabuhanratu (ILO/IRE/NIA)