Sejumlah warga yang tinggal di sekitar Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, Jawa Barat, berinisiatif untuk terus menyerukan konservasi. Mereka ingin agar keanekaragaman hayati di Ciletuh tetap lestari.
Jaya Suganda (50) pernah mencoba bekerja di tambang rakyat ilegal. Namun, ia hanya bertahan selama sepekan. Hatinya memberontak menyaksikan praktik pertambangan yang bertentangan dengan prinsip konservasi lingkungan yang ia yakini.
Jaya bekerja sebagai guru di SD Negeri Cikole, Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Untuk menambah penghasilan, Jaya menjadi pemandu wisata di kawasan Taman Bumi atau Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Namun, saat pandemi Covid-19 melanda, taman bumi sepi pengunjung. Alhasil, Jaya tak lagi punya penghasilan tambahan. Ia kemudian menerima tawaran keponakannya untuk bekerja di sebuah pertambangan emas tanpa izin di sekitar taman bumi.
Jaya tergiur untuk menambah penghasilan di kala pandemi meskipun saat itu dirinya sudah tergabung dalam komunitas Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi), organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang konservasi di Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Selang sepekan kemudian, Jaya memutuskan berhenti. Dia tidak merasa tenang bekerja di tambang yang nyata-nyata merusak lingkungan. Meski singkat, ia belajar banyak mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan tambang ilegal dan berupaya memahami warga yang memilih untuk menjadi petambang atau gurandil.
”Banyak pekerja tambang yang hidupnya biasa saja, tidak kaya raya. Padahal, kerjanya berat, risiko tinggi. Tetapi karena kebutuhan, mereka kerja di sana,” kata Jaya di Puncak Manik, Desa Tamanjaya, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Minggu (6/9/2020).
Edukasi
Setelah berhenti bekerja di tambang, Jaya masih beberapa kali pergi ke areal tambang emas ilegal. Bukan untuk berburu emas, ia datang berburu batuan untuk selanjutnya menjadi bagian koleksi di Museum Konservasi Papsi. Koleksi itu merupakan bentuk edukasi kepada masyarakat akan kekayaan geologi di Ciletuh.
Museum Konservasi Papsi yang dikelola komunitas warga sudah mempunyai beragam koleksi batuan asli Ciletuh, seperti stalaktit, kuarsa, ametis, kalsedon, dan fosil kayu. Beberapa di antaranya dikumpulkan para dosen dan mahasiswa peneliti yang datang untuk meneliti kekayaan batuan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Pengumpulan koleksi batuan dan flora-fauna oleh Papsi merupakan bentuk perlawanan, tetapi tanpa konfrontasi terhadap maraknya tambang emas ilegal. Lewat museum konservasi, Papsi berupaya mengedukasi warga. Sebuah upaya yang tak mudah karena yang dihadapi adalah tetangga dan kerabat mereka sendiri.
Ketua Papsi Endang Sutisna mengakui, saat melakukan upaya konservasi, mereka harus berhadapan dengan masyarakat. Sebab, hanya segelintir warga di Geopark Ciletuh yang peduli akan kelestarian lingkungan. ”Kebanyakan orang itu ingin merusak. Kami selaku komunitas konservasi harus berhadapan dengan itu,” ujar Endang.
Selain edukasi lewat koleksi museum, Papsi juga gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama anak-anak sekolah dan guru. Papsi merekrut sejumlah guru untuk menjadi anggota komunitasnya. Dari total 40 anggota, delapan di antaranya guru, termasuk Jaya.
Salah satu kegiatan Papsi untuk menyosialisasikan konservasi kepada warga adalah melalui festival tahunan di Desa Tamanjaya, Ciemas, yang juga menjadi bagian dari pelestarian budaya warga di Sukabumi bagian selatan. Perhelatan ini juga diharapkan dapat menarik kunjungan wisatawan.
Selain itu, sejumlah anggota Papsi juga getol melakukan budidaya komoditas pertanian, seperti beras hitam, sayuran, dan buah-buahan tertentu. Upaya Papsi untuk mengedukasi masyarakat adalah bagian dari menjaga Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Kawasan yang sudah berstatus UNESCO Global Geopark sejak 2018 ini menjadi kebanggaan warga Ciletuh.
Namun, tak sedikit komentar sinis dari beberapa warga terhadap prinsip konservasi yang diusung Papsi. Akan tetapi, mereka tetap setia berjuang. Anggota Papsi masih harus menempuh jalan terjal untuk menggaungkan konservasi.