Demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja oleh ratusan mahasiswa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, ricuh, Kamis (8/10/2020). Kaca jendela Kantor DPRD Provinsi Kalbar pecah. Provokator kericuhan bukan mahasiswa.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Demonstrasi menolak Undang Undang Cipta Kerja oleh ratusan mahasiswa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (8/10/2020), ricuh. Kaca Kantor DPRD Provinsi Kalbar dilempar oleh oknum, lampu dirusak, tanaman dicabut, mahasiswa ada yang terluka akibat lemparan batu. Provokator kericuhan bukan dari mahasiswa.
Demonstrasi menolak Undang Undang (UU) Cipta Kerja di Pontianak diikuti ratusan mahasiswa dari berbagai aliansi. Demo berlangsung sekitar pukul 08.00 yang diawali orasi di depan Kantor Gubernur Kalimantan Barat. Massa kemudian beralih ke depan Kantor DPRD Provinsi Kalbar. Massa menurunkan bendera merah putih menjadi setengah tiang saat berada di depan Kantor DPRD Provinsi Kalbar.
Demonstrasi di depan Kantor DPRD Provinsi Kalbar tersebut awalnya berlangsung kondusif. Namun, saat anggota DPRD berupaya menemui mahasiswa, tiba-tiba dari kerumunan massa ada yang melemparkan botol air mineral ke arah anggota DPRD.
Menjelang pukul 12.00 suasana semakin panas. Massa ada yang membakar ban. Kemudian puncaknya sekitar pukul 12.00 ada oknum massa melempar kaca jendela kantor DPRD Provinsi Kalbar dengan batu yang diikuti sederatan lemparan ke arah gedung. Di lokasi tertentu, ada mahasiswa terluka di bagian kepala terkena lemparan batu.
Ada pula oknum massa yang mencabut tanaman di halaman Kantor DPRD Provinsi Kalbar. Lampu di sekitar dirusak, bahkan nyaris tumbang. Ada juga oknum yang mencoret di sejumlah bagian tembok dengan berbagai tulisan dan gambar-gambar yang vulgar. Aparat kepolisian pun berupaya mengatasi situasi dengan menggunakan gas air mata ke arah massa. Massa berhasil dikuasi dan mundur beberapa saat kemudian. Belasan hingga puluhan orang ditangkap, di antaranya diduga provokator.
Massa mundur, sehingga membuat Jalan A Yani Pontianak sempat ditutup beberapa saat karena ada kerumunan massa. Namun, penutupan itu tidak berlangsung lama setelah itu situasi kembali normal.
“Ada sekelompok oknum bukan mahasiswa, yang menjadi provokator. Provokator bukan bagian dari mahasiswa. Tadi mahasiswa bilang bahwa ada sekelompok orang yang berupaya memprovokasi mereka,” ungkap Wakil Direktur Sabhara Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Ajun Komisaris Besar Permadi.
Gubernur Kalbar Sutarmidji secara terpisah, menuturkan, ia sebagai Gubernur Kalbar ingin ada kondusivitas. UU Cipta Kerja pengesahannya kontroversi, terburu-buru. “Intinya, negara harus mendengar suara rakyat,” ujarnya.
Ia menilai, jika suatu UU mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat, UU tersebut harusnya dapat diterima. UU Cipta Kerja hendaknya dikaji, cocok atau tidak digunakan dalam negara yang hukumnya kadang belum ada kepastian yang berkeadilan.
“Saya tidak ingin pertentangan mengenai hal ini menjadikan daerah tidak kondusif. Apalagi, di tengah pandemi yang rentan sekarang ini,” kata Sutarmidji.
Gubernur Kalbar juga berencana meneruskan aspirasi masyarakat kepada presiden secara tertulis dalam waktu dekat. Sutarmidji merencanakan aspirasi tertulis itu akan dikirim secara resmi pada Jumat (9/10).
Intinya, negara harus mendengar suara rakyat (Gubernur Kalbar Sutarmidji)
Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pontianak Srilinus Lino, menuturkan, PMKRI tergabung dalam Aliansi Mahasiswa untuk Amanat Penderitaan Rakyat Kalbar. Terkait aksi yang berujung ricuh tersebut, pihaknya sangat yakin hal itu bukan dari aliansi mahasiswa.
“Kami sangat menyayangkan aksi yang awalnya berlangsung damai, tetapi ujung-ujungnya ricuh. Kami mengapresiasi rekan-rekan keamanan yang bisa menangani para pericuh dalam aksi tersebut,” kata Lino.
Pihaknya juga sangat berterima kasih kepada seluruh kader dan rekan-rekan mahasiswa yang dalam aksi kali ini sangat menunjukkan intelektualitas sebagai mahasiswa. Terkait UU Cipta Kerja, hal itu menunjukkan, pemerintah dan wakil rakyat gagal menjaga hak-hak rakyat dan lingkungan hidup.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pontianak Wandisius Pandi, menuturkan, ia memastikan kader GMNI yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat tidak terlibat dalam aksi anarkis tersebut. Setelah melihat situasi tidak kondusif, GMNI langsung menarik diri dari rombongan aksi.
Terkait UU Cipta Kerja, pihaknya menilai, UU tersebut terkesan dipaksakan karena disepakati oleh pemerintah dan DPR pada saat pandemi Covid-19. UU Cipta Kerja alat imperialis memasifkan perampasan hak buruh, kaum tani dan masa depan pemuda mahasiswa.