RUU Cipta Kerja Disahkan, Massa Gelar Demonstrasi di Jalan Gejayan, Yogyakarta
Massa menggelar demonstrasi di Jalan Gejayan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (5/10/2020) malam. Aksi demonstrasi itu digelar untuk memprotes pengesahan RUU Cipta Kerja.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak menggelar aksi demonstrasi di Jalan Gejayan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (5/10/2020) malam. Aksi demonstrasi itu digelar untuk memprotes pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU ) Cipta Kerja oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan pantauan Kompas, pada Senin sekitar pukul 19.00, massa tampak berkumpul di perempatan Gejayan. Mereka juga membakar ban di tengah perempatan tersebut sehingga api tampak menyala.
Selama aksi yang berlangsung sejak sekitar pukul 17.00 itu, petugas kepolisian juga terlihat berjaga-jaga di sekitar lokasi. Selain itu, saat aksi berlangsung, arus lalu-lintas di sekitar perempatan Gejayan juga dihentikan sementara waktu.
”Aksi ini merupakan respons kami terhadap pengesahan Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) yang membawa banyak ketidakbermanfaatan kepada masyarakat. Tapi pada akhirnya hari ini sudah disahkan menjadi undang-undang,” kata perwakilan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), Lusi, di lokasi aksi.
Selain karena substansinya bermasalah, Lusi mengatakan, ARB menolak RUU Cipta Kerja karena proses penyusunan RUU tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Bahkan, masukan dan kritik berbagai elemen masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja juga cenderung diabaikan.
”Kenapa Omnibus Law ini kami tolak karena dalam perumusannya tidak mengedepankan asas partisipasi publik serta tidak menerima kritik, masukan, dan gelombang protes dari rakyat yang telah dilancarkan sebelumnya,” ungkap Lusi.
Lusi menambahkan, ARB akan terus menolak RUU Cipta Kerja meskipun RUU itu sudah disahkan menjadi undang-undang. Oleh karena itu, ARB akan kembali menggelar aksi demonstrasi untuk menolak RUU Cipta Kerja.
”Kami dari ARB akan terus menolak Omnibus Law tanpa kompromi, baik itu melalui jalur litigasi maupun jalur nonlitigasi,” kata Lusi.
Ketegangan
Aksi tersebut juga diwarnai ketegangan antara peserta aksi dan sekelompok orang yang meminta para peserta aksi segera membubarkan diri. Berdasarkan pantauan Kompas, sekitar pukul 19.15, sekelompok orang terlihat mendatangi perempatan Gejayan yang menjadi lokasi aksi.
Begitu sampai di lokasi, mereka berteriak,-teriak meminta agar aksi segera bubar. Sempat terjadi adu mulut antara peserta aksi dan sekelompok orang tersebut. Namun, polisi yang berjaga di lokasi berhasil mencegah terjadinya bentrokan fisik di antara dua kubu.
Petugas kepolisian juga meminta peserta aksi membubarkan diri. Namun, permintaan tersebut ditolak para peserta aksi. Meski begitu, sekitar pukul 20.00, aksi di perempatan Gejayan itu tampak selesai. Arus lalu lintas pun kembali normal.
Kenapa Omnibus Law ini kami tolak karena dalam perumusannya tidak mengedepankan asas partisipasi publik serta tidak menerima kritik, masukan, dan gelombang protes dari rakyat yang telah dilancarkan sebelumnya.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Sleman Ajun Komisaris Besar Anton Firmanto menyatakan, aksi tersebut digelar secara mendadak. Anton menyebut, sebelum penyelenggaraan aksi itu, Polres Sleman tidak menerima pemberitahuan dari penyelenggara.
”Mereka menyelenggarakan kegiatannya secara dadakan. Untuk pemberitahuan, sama sekali tidak ada. Mereka dadakan berkumpul,” kata Anton.
Anton mengatakan, saat aksi itu berlangsung, petugas kepolisian beberapa kali mengimbau massa aksi agar segera membubarkan diri. Hal ini karena aksi tersebut digelar melebihi batas waktu unjuk rasa, yakni pukul 18.00.
”Kami beberapa mengeluarkan imbauan agar mereka segera membubarkan diri karena batas waktu unjuk rasa itu pukul 18.00. Personel yang dikerahkan untuk mengamankan aksi ini sekitar 150 orang,” kata Anton.